Latest Post

 


SANCAnews – Setelah kongres luar biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, tensi politik di internal partai itu semakin tinggi. Berbagai peristiwa politik susulan muncul akibat kekecewaan di antara kubu Moeldoko dan Agus Harimurti Yudhoyono, mulai dari isu santet sampai ancaman lapor ke polisi.

 

Di antara rentetan peristiwa yang belakangan menjadi perhatian, kubu Moeldoko mengancam akan melaporkan Sekretaris Majelis Tinggi Demokrat Andi Mallarangeng (kubu AHY) ke Polda Metro Jaya, Kamis (11/3/2021), sore, karena narasi yang disampaikan Andi mereka duga mengait-ngaitkan pemerintah dalam pusaran politik.

 

"Pencemaran nama baik serta menyeret-menyeret negara dalam persoalan ini. Dia bilang pemerintah, kepala pemerintahan siapa? Pak Jokowi. Berarti dia seret-seret Pak Jokowi dong," kata koordinator tim hukum Partai Demokrat kubu Moeldoko, Razman Nasution.

 

Pernyataan Andi disampaikan ketika dia berdialog di salah satu stasiun televisi swasta pada 8 Maret 2021.

 

Apa tanggapan Andi? 

Andi mempertanyakan bagian mana ucapannya yang menuduh pemerintah terlibat. Tapi kalau memang akan dilaporkan ke polisi, Andi mengatakan siap untuk menghadapi proses hukum.

 

"Hehehehe... Karena sudah tidak bisa lagi berkilah, tak bisa lagi ngeles, karena yang abal-abal sudah kelihatan sebagai yang abal-abal. Mungkin karena sudah kehabisan akal, tidak mampu lagi berdebat, argumen sudah habis dan rakyat pun sudah tahu akal-akalan mereka. Lalu kalap, mengancam mengadukan ke polisi," kata Andi.

 

Andi menduga, ancaman tersebut untuk membuat nyalinya menciut. Tapi dia menegaskan, "Kita akan lawan, every step of the way. Insyaallah kebenaran akan menang."

 

"Mungkin mereka pikir, dengan diancam kami akan bungkam, takut lalu nerimo KLB abal-abal dengan ketumnya yang abal-abal pula. Tidak, ancaman seperti ini tidak akan menyurutkan saya, kader Demokrat sejati, untuk melawan kezaliman, melawan begal politik yang mau mengambil alih secara paksa kepemimpinan partai kami," tulisnya Andi. [sc]


 


SANCAnews – Istana akan dianggap sebagai produsen konflik jika hasil Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilakukan sekelompok orang mengatasnamakan Partai Demokrat di Deliserdang disahkan.

 

Pengamat sosial politik, Muslim Arbi mengatakan bahwa pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD sebenarnya sudah cukup jelas untuk menjadi dasar bahwa kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) merupakan yang sah di Demokrat.

 

Sebab, Menko Mahfud mengatakan bahwa AD/ART terakhir yang diserahkan Partai Demokrat adalah tahun 2020. Sementara KLB Deliserdang berpegangan pada AD/ART 2005.

 

"Tetapi jika Jokowi membiarkan Menkumham Yasona Laoly mengesahkan Demokrat versi KLB, berarti ini ada unsur kesengajaan yang memang dikondisikan agar tercipta perpecahan dalam tubuh Demokrat menjadi legal," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (11/3).

 

Bahkan, sambung Muslim, jika Presiden Joko Widodo membiarkan konflik Demokrat yang melibatkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko berlarut-larut, maka itu bisa disebut sebagai upaya memperlemah daya kritis yang selama ini disuarakan partai berlambang mercy tersebut.

 

Artinya, Istana dengan sengaja menghendaki adanya konflik di tubuh Partai Demokrat, "Jika perpecahan ini dibiarkan dan dilegalkan, maka produsen konflik itu memang Istana. Dan Moeldoko hanya wayang Jokowi," kata Muslim. (*)


 


SANCAnews – Langkah kuda Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko dalam berpolitik harus diwaspadai Presiden Joko Widodo.

 

Pesan ini disampaikan pengamat sosial politik, Muslim Arbi yang yakin Presiden Jokowi kini sedang berat menimbang nasib Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar sekelompok orang mengatasnamakan Partai Demokrat dan menunjuk Moeldoko sebagai ketua umum.

 

Muslim Arbi mengingatkan bahwa pengesahan kepengurusan Moeldoko itu akan sangat berbahaya bagi Jokowi baik secara hukum maupun politik.

 

Sebab tidak menutup kemungkinan Moeldoko akan melakukan pengkhianatan kepada Jokowi di kemudian hari. Hal ini bercermin dari “pengkhianatan” mantan Panglima TNI itu kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah membesarkannya.

 

"Apakah KLB Moeldoko di kemudian hari tidak khianati Jokowi, seperti Moeldoko khianati SBY?" ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (11/3).

 

Sehingga, kata Muslim, satu-satunya solusi bagi Jokowi adalah, tidak memberikan peluang untuk Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly untuk mengesahkan Demokrat versi KLB.

 

"Maka solusinya Jokowi segera pecat Moeldoko dari KSP. Jika tidak asumsi publik tetap anggap Jokowi 'Korlap' untuk ambisi politiknya meraih tiga periode jadi Presiden. Dan Moeldoko sebagai wayang dan tumbal Jokowi saja," pungkasnya. []


 


SANCAnews – Pemerintah memastikan tidak ikut campur dalam urusan gerakan sepihak yang diklaim sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara (Sumut) beberapa waktu lalu.

 

Hingga saat ini pun pemerintah masih mengakui Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sah secara hukum sebagaimana terdaftar di Kemenkumham dan lembar negara.

 

Demikian disampaikan Menko Polhukam, Mahfud MD dalam acara Satu Meja The Forum KompasTV bertajuk "Demokrat Terbelah Istana Dimana?", Rabu malam (10/3).

 

"Dari sudut hukum, posisi pemerintah itu tidak melihat (Demokrat) terpecah karena apa? Karena sekarang secara resmi belum ada permintaan perubahan pengurus. Sampai hari ini (ketum Demokrat) masih AHY, pengurus-pengurus daerah juga masih yang terdaftar di KPU-KPU, Sipol Pemilu kan masih ada," tegas Mahfud MD.

 

Mahfud mengatakan, pemerintah masih berpedoman pada aturan UU terkait perubahan pengurus, sebagaimana keputusan Menkumham Nomor 34/2017 dan AD/ART Partai Demokrat, "Yang berlaku itu yang masih terdaftar di KPU sampai sekarang," tegasnya.

 

Atas dasar itu, Mahfud juga menegaskan manuver Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko adalah murni inisiatif pribadi tanpa intervensi Istana.

 

"Iya pasti dong (inisiatif Moeldoko). Kehadiran Pak Moeldoko, keterlibatannya di situ adalah inisiatif Pak Moeldoko," tegasnya.

 

"Saya tanya ke Pak Moeldoko, 'Pak Moeldoko, betul enggak Bapak tidak bercerita ke Pak Presiden?' ketawa dia. 'Saya memang bertemu Pak Presiden hari Kamis gitu ya, saya tidak ditanya juga, untuk apa juga kita cerita'. Itu aja," demikian Mahfud MD turut menirukan percakapan Moeldoko. (rmol)


 


SANCAnews – Permintaan bukti pelanggaran HAM berat atas tragedi tewasnya enam laskar FPI di KM 50 tol Jakarta Cikampek yang disampaikan pemerintah saat menerima kedatangan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) dianggap keliru.

 

Sebab menurut mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, bukti-bukti kasus KM 50 murni sebagai tugas negara.

 

"Mahfud MD salah besar tuntut rakyat (Amien Cs) bawa bukti KM 50. Soal cari bukti, itu urusan negara," kata Natalius Pigai kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis dini hari (11/3).

 

Negara, kata Pigai, wajib mencari bukti dugaan pelanggaran HAM berat seperti yang dituduhkan Amien Rais cs dengan mengerahkan penyidik baik dari Komnas HAM, kepolisian, maupun kejaksaan.

 

"Mereka itu sebagai state obligation. Nantinya, hasil Komnas HAM itu bisa diangkat sebagai (pelanggaran) HAM berat, tinggal (pemerintah) mau atau tidak," demikian Pigai.

 

Saat pertemuan dengan Presiden Joko Widodo yang turut dihadiri Mahfud MD, TP3 enam laskar FPI meminta peristiwa di Km 50 ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.

 

Namun Mahfud MD merespons bahwa tuduhan pelanggaran HAM berat harus disertai dengan bukti, bukan sebatas keyakinan.

 

Mereka yakin telah terjadi pelanggaran HAM berat. Saya katakan, pemerintah terbuka kalau ada bukti pelanggaran HAM beratnya. Mana, sampaikan sekarang. Atau nanti sampaikan menyusul kepada presiden," tegas Mahfud MD. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.