Latest Post

 


SANCAnews – Permasalahan yang dialami Partai Demokrat terkait kegiatan yang mengatasnamakan Kongres Luar Biasa (KLB) dengan mengangkat Moeldoko sebagai Ketua Umum Demokrat menunjukkan betapa mudahnya penguasa merebut kepemimpinan partai politik.

 

"Cukup bikin deklarasi tandingan, lalu rebutan keabsahan partai melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI, kelar urusan. Setelah itu, ribut di pengadilan, banding dan semacamnya dan dualisme tidak akan selesai," kata Politisi PKS, Hendro Susanto diberitakan Kantor Berita RMOLSumut, Senin (8/3).

 

Politisi yang kini menjabat Ketua Komisi A DPRD Sumatera Utara menjelaskan, campur tangan penguasa sangat besar pengaruhnya jika ingin 'mengacak-acak' partai politik yang tidak sejalan dengannya. Sebab, hingga saat ini keabsahan partai masih tetap beradap pada Kemenkumham yang pasti dipimpin oleh sosok dari penguasa.

 

"Karena itu, kedepan keabsahan partai jangan lagi di Kemenkumham RI. Sangat riskan karena posisi ini sangat politis tergantung siapa presidennya. Karena Menteri pada kementerian ini cenderung dari parpol partisan," ujarnya.

 

Salah satu solusi yang menurutnya tepat adalah dengan memberikan kewenangan keabsahan partai politik kepada lembaga independen seperti KPU. Namun dengan berbagai peraturan yang ketat.

 

"Keabsahan parpol sebaiknya diberikan ke KPU. Lembaga yang relatif independen, non partisan, keputusan politiknya kolektif kolegial tak tergantung satu orang. Juga, kinerjanya bisa diaudit dewan kehormatan," pungkasnya.

 

Ia mengatakan skema-skema kudeta partai politik melalui KLB atau hal lainnya sangat mengkhawatirkan bagi partai politik lain. Sebab, belakangan ia menilai cara-cara berpolitik sudah semakin tidak sehat, "Tidak demokratis lagi dan tidak ada cara-cara yang ksatria," pungkasnya. []




SANCAnews – Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) memastikan akan turun ke jalan pada Selasa sore (9/3). Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Majelis ProDEM, Iwan Sumule usai sebelumnya menyebut Demokrat akan ikut unjuk rasa di Istana Negara.


"Selasa, jam 14.00 WIB, saya berharap kehadiran kawan-kawan aktivis ProDEM di Kantor DPP Demokrat, seberang Tugu Proklamasi," kata Iwan Sumule kepada Kantor Berita Politik RMOL.

 

Iwan Sumule berpandangan, pembiaran pengambilalihan partai yang sah secara hukum oleh penguasa adalah bagian dari penindasan yang harus dilawan.

 

Pun demikian dengan rencana aksi yang akan dilakukan ProDem. Ia menegaskan, hal tersebut dilakukan semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan.

 

"Kita berhimpun dan dinamisir aksi perlawanan terhadap rezim sontoloyo ini," demikian Iwan Sumule.

 

ProDem sebelumnya menyambut kabar dari Kepala Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat, Andi Arief beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa SBY berpotensi akan menggelar aksi protes ke Istana Negara.

 

Aksi itu bisa dilakukan jika Presiden Jokowi tetap mengabaikan demokrasi dengan membiarkan aksi Gerakan Pengambilalihan Kepimpinan Partai Demokrat (GPK-PD) yang turut melibatkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko.

 

Hingga saat ini, pihak istana bahkan masih bergeming dengan keterlibatan Moeldoko dalam perkumpulan mengatasnamakan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara belum lama ini. Dalam 'KLB' tersebut, Moeldoko didaulat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. []


 

SANCAnews – Sedikitnya 9 orang tewas dan 6 orang ditahan dalam lingkup "operasi melawan komunis" oleh pasukan keamanan di Filipina. Demikian dilansir Kantor Berita Turki, Anadolu Agency, Senin (8/3/2021).

 

Mengutip laporan pers Filipina kemarin, Anadolu memberitakan, operasi penahanan dilakukan terhadap terduga anggota kelompok komunis di negara bagian Rizal, Batangas, dan Cavite, Minggu (7/3/2021).

 

Kepada pers, Letkol Chitadel Gaoiran mengumumkan 9 orang tewas akibat bentrokan yang meletus dalam operasi tersebut. Dengan perincian, 6 orang tewas di Rizal, 2 di Batangas dan 1 di negara bagian Cavite. Sebanyak 6 orang lainnya ditahan.

 

Letkol Gaoiran juga melaporkan bahwa bahan peledak dan senjata disita di rumah-rumah tempat penggerebekan dilakukan.

 

Dalam wawancara telepon dengan Rappler.com, kepala polisi Calabarzon Brigjen Felipe Natividad mengatakan operasi tersebut dilakukan berdasarkan Perintah Eksekutif No. 70, yang memerintahkan mengakhiri pemberontakan komunis di Filipina.

 

Perintah eksekutif tersebut menekankan perlunya “penyampaian layanan dasar dan paket pembangunan sosial di daerah yang terkena dampak konflik dan rentan”.

 

Tetapi pemerintah Duterte telah bertekad menggunakan polisi dan militer untuk menyerang pemberontak komunis, termasuk kegiatan para aktivis.

 

Tindakan keras pada hari Minggu itu terjadi hanya dua hari setelah pidato keras Presiden Duterte.

 

Dalam pidatonya pada 5 Maret, Duterte menyatakan bahwa dia tidak akan mengizinkan komunis yang ingin menggulingkan pemerintah.

 

"Saya telah memberi tahu militer dan polisi, bahwa jika mereka menemukan diri mereka dalam pertempuran bersenjata dengan pemberontak komunis, bunuh mereka, pastikan Anda benar-benar membunuh mereka, dan menghabisi mereka jika mereka masih hidup,” tegas Duterte seperti dikutip Rappler.com.

 

Lupakan HAM 

Presiden Filipina, Rodrigo Duterte kembali menyedot perhatian dunia internasional. Awal bulan ini, presiden nyentrik ini mengeluarkan perintah yang mengejutkan banyak pihak.

 

Ia memerintahkan pasukan militer dan polisi untuk menghabisi para pemberontak berideologi komunis di negara tersebut.

 

Instruksi terbaru Duterte ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya gelombang baru pertumpahan darah di negara itu.

 

Sebelumnya, Presiden Duterte juga pernah disorot dunia karena mengeluarkan perintah tembak mati para bandar dan pengedar narkoba.

 

Perintah itu dikeluarkan sebagai landasan bagi petugas keamanan untuk melancarkan operasi pemberantasan narkoba.

 

Terbaru, perintah pembantaian pemberontak komunis disampaikan Rodrigo Duterte dalam pertemuan Pemerintah, Jumat (5/3/2021) lalu.

 

Rodrigo Duterte bahkan memberikan kewenangan luas kepada petugas keamanan dalam melakukan tindakan keras.

 

Namun, dia tetap mengingatkan pasukan yang menghabisi anggota komunis tersebut agar menyerahkan jasad mereka ke keluarga masing-masing.

 

”Lupakan hak asasi manusia, itu perintah saya. Saya bersedia masuk penjara, itu bukan masalah,” ujarnya.

 

Segera saja, pernyataan Duterte ini menjadi salah satu topik populer di timeline twitter dunia.

 

“CSO FEU tidak memiliki rasa apa-apa selain rasa jijik murni atas pernyataan Presiden Duterte untuk "Bunuh mereka semua. Lupakan tentang hak asasi manusia. Itu perintah saya”,” tulis Organisasi Mahasiswa Pusat FEU dalam sebuah postingan mereka.

 

Ada juga netizen yang mempertanyakan sikap kontroversi Duterte yang ketika dia berbicara di hadapan PBB beberapa bulan lalu, menyatakan bahwa dia dan pemerintahnya menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

 

“Sekarang, dia memamerkan jati dirinya: "Bunuh mereka. Habisi mereka. Jangan pedulikan hak asasi manusia." Duplikat pria itu mengejutkan!” cuit Leila de Lima, aktivis sosial Filipina.

 

Ideologi Komunis Sudah Habis 

Sementara itu, newsinfo.inquirer.net melaporkan lebih rinci pernyataan Presiden Rodrigo Duterte dalam pertemuan pada Jumat (5/3/2021).

 

Pertemuan yang berlangsung di Kota Cagayan de Oro itu diikuti unsur pemerintah yang terlibat dalam Satuan Tugas Nasional untuk Mengakhiri Konflik Bersenjata Komunis Lokal (NTF-Eclac) .

 

Dalam pertemuan itu, Presiden Rodrigo Duterte bersumpah dia tidak mencuri dana pemerintah.

 

Tapi dia mengakui memiliki banyak kesalahan, salah satunya adalah pembunuhan di luar hukum.


“Pemerintah tidak sempurna,” kata Duterte.

 

“Kesalahan? Saya? Banyak. Tapi saya tidak mencuri uang,” katanya.

 

“Saya hanya memiliki kasus pembunuhan di luar hukum,” tambahnya.

 

Dalam pidatonya selama satu jam yang disampaikan di Bisaya (sebuah kota di Filipina Selatan), Duterte mengomel pada pemberontak komunis.

 

Ia menuduh para komunis ini memanfaatkan orang miskin di daerah terpencil dan memeras uang.

 

“Kalian semua bandit. Anda tidak memiliki ideologi,” kata Duterte tentang anggota Tentara Rakyat Baru (NPA), sayap bersenjata Partai Komunis Filipina, yang telah melancarkan revolusi selama lebih dari 50 tahun di kawasan pedesaan.

 

Dia mengatakan ideologi pemberontak sudah punah karena "China dan Rusia sudah kapitalis."

 

Uni Republik Sosialis Soviet (Uni Soviet) runtuh pada puncak pemberontakan damai populer di wilayah Uni Soviet.

 

Sementara Republik Rakyat Tiongkok (PROC) terus menjalankan jenis pemerintahan sosialis, tetapi telah memeluk ideologi kapitalisme.

 

Duterte pun kemudian memerintahkan tembak mati jika pasukan negara bentrok dengan pemberontak, "bunuh mereka, bunuh mereka."

 

"Hancurkan mereka," kata Duterte dalam pidatonya di NTF-Eclac.

 

"Jika mereka memegang senjata, bunuh mereka," katanya.

 

"Kembalikan tubuh mereka ke keluarga mereka," tambahnya.

 

Duterte meminta polisi dan militer untuk mengabaikan hak asasi manusia. "Itu perintah saya, saya akan masuk penjara. Tidak ada masalah dengan itu. Saya tidak ragu melakukan hal-hal yang harus saya lakukan,” kata Duterte.

 

Berbicara kepada para pemberontak, Presiden mengatakan mereka harus berhenti berpura-pura memiliki pemerintahan sendiri di daerah tempat mereka beroperasi.

 

“Mengapa Anda membuat kami percaya bahwa Anda adalah pemerintah? Dimana rumah sakit anda Dimana ambulans Anda? Dimana bendahara kamu?,” kata Duterte.

 

Dia juga meremehkan kapasitas gerakan komunis untuk merebut kekuasaan politik, “Bagaimana Anda bisa menggulingkan pemerintah? Aku tidak akan mengizinkanmu menggulingkan pemerintah."

 

Duterte mendesak pejuang komunis untuk meletakkan senjata mereka dan bergabung kembali dengan masyarakat arus utama, memikat mereka dengan tawaran pekerjaan, rumah, dan kesempatan untuk pendidikan dan pelatihan keterampilan.

 

“Aku bisa memberimu rumah saat kamu menyerah. Rumahnya sudah siap, selalu ada ruang buat kalian berlindung, ”ujarnya.

 

"Kami menyambut Anda," tambahnya.(*)


 


SANCAnews – Sidang lanjutan dugaan gratifikasi terhadap mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa kembali bergulir di Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Dugaan gratifikasi ini saat Mustafa akan maju sebagai Cagub Lampung 2018 yang lalu.

 

Ia diduga memberikan Rp 18 miliar kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) agar mendapatkan rekomendasi. Adapun proses pemberian rekomendasi itu diurus melalui pengurus Nasdem dan pengurus PKB.

 

Dalam sidang, mendengarkan keterangan mantan Ketua DPW PKB Lampung Musa Zainuddin. Ia mengatakan telah menandatangani surat rekomendasi untuk Mustafa, yang menandakan bahwa PKB mendukung Mustafa dalam Pilgub Lampung.

 

"Karena kasus saya, saya dinonaktifkan di DPW PKB (sebagai Ketua) tapi secara administrasi belum," ujarnya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang sebagaimana diberitakan RMOL Lampung, Kamis (4/3).

 

Namun, ia mengaku kaget lantaran rekomendasi tak jadi diberikan untuk Mustafa dan meminta Midi Ismanto dan Khaidir Bujung yang saat itu Anggota DPRD Lampung Fraksi PKB untuk mengembalikan uang Rp18 M tersebut.

 

Setelah itu, lanjutnya, ia mendengar kabar bahwa Ketua Umum PKB Cak Imin mendapatkan Rp40 M dari Ny. Lee, PT Sugar grup untuk mendukung Arinal Djunaidi.

 

"Barangkali ada uang yang lebih besar jadi dikorbankan, tapi pengurus PKB yang jadi korban DPP yang tidak berkoordinasi dengan baik," kata dia.

 

Ia mengaku mendengar kabar tersebut dari salah satu tokoh Lampung dari Metro bernama Khairuddin dari Partai Demokrat yang pernah mengunjunginya di Lapas Sukamiskin.

 

"Sudahlah gak mungkin dukung Mustafa, orang Cak Imin dapet Rp40 dari Sugar Grup," kata Musa menirukan perkataan Khairudin.

 

Soal pindahnya rekomendasi dari Mustafa ke Arinal Djunaidi dan Chusnunia Chalim, mantan Anggota Komisi V DPR RI ini mengaku tak tahu apa-apa.

 

"Saya gak tau, mungkin ketua umum yang memutuskan, saya diberitahu Chusnunia bahwa dia diminta mendampingi sebagai wakil, dan tidak bisa menolak. Dia bilang juga keberatan dan merasa capek, tapi ketum maksa," ujarnya.

 

Menurutnya, sebagai Ketua Umum PKB Cak Imin pasti mengetahui adanya proses uang mahar Rp18 M dari Mustafa.

 

"Sepengetahuan saya pasti Cak Imin tahu soal Rp18 M dari Mustafa, karena Bu nunik gak mungkin memerintahkan tanpa perintah ketua umum," pungkasnya. []


 


SANCAnews – Tiga anggota Polda Metro Jaya yang diduga melakukan pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing terhadap laskar Front Pembela Islam/FPI dibebastugaskan. Mereka dibebastugaskan karena terlibat dalam perkara hukum.

 

"Sementara mereka tidak melaksanakan tugas," kata Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/3/2021).

 

Menurut Ramadhan, terkait sanksi etik terhadap yang bersangkutan nantinya akan diproses melalui sidang etik. Namun, proses tersebut akan berlangsung apabila yang bersangkutan telah terbukti melakukan tindak pidana berdasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

 

"Jadi kalau yang dibilang sudah dinyatakan katakanlah dihentikan (pecat) sekali lagi harus melalui proses sidang kode etik. Jadi saya sampaikan posisinya saat ini masih terlapor," ujarnya.

 

Dalam perkara ini, Bareskrim Polri telah menerbitkan Laporan Polisi atau LP. Setidaknya, ada tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang telah berstatus terlapor dalam perkara ini.

 

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto pun menyebut sudah ada calon tersangkanya. Namun, penyidik masih terus melakukan penyelidikan sebelum akhirnya menetapkannya sebagai tersangka.


"Dugaan tersangka sudah ada," kata Agus saat dikonfirmasi.

 

Pelanggaran HAM

 

Diketahui, keenam laskar FPI itu tewas tertembak lantaran dituding melakukan penyerangan terhadap anggota Polda Metro Jaya. Dugaan penyerangan itu terjadi, saat anggota Polda Metro Jaya tengah melakukan penguntitan terhadap eks pentolan FPI Habib Rizieq Shihab yang ketika itu tengah terseret kasus pelanggaran protokol kesehatan.

 

Komnas HAM bahkan telah menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum anggota Polda Metro Jaya berkaitan dengan peristiwa penembakan enam laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab tersebut.

 

Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam ketika itu menyebut dua dari enam laskar FPI tewas ditembak polisi di dalam Tol Jakarta-Cikampek. Sedangkan, empat lainnya ditembak saat sudah berada di tangan polisi hingga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

 

Choirul mengungkapkan, adanya dugaan pelanggaran HAM itu berawal dari insiden saling serempet antar mobil polisi dengan laskar FPI pengawal Habib Rizieq. Saling serempet itu kemudian berakhir dengan keributan antara laskar FPI dan polisi yang menggunakan senjata api di sepanjang Jalan Karawang Barat sampai Tol Cikampek KM 49.

 

"Dalam kejadian itu, dua laskar FPI meninggal dunia. Sementara empat laskar FPI lainnya masih hidup," kata Choirul Anam, Jumat (8/1).

 

Choirul menyebut empat laskar pengawal Habib Rizieq diketahui masih dalam kondisi hidup sampai di Tol Cikampek KM 50. Namun, ketika dalam penguasaan polisi, mereka kemudian tewas.

 

"Maka peristiwa tersebut merupakan bentuk dari peristiwa pelanggaran hak asasi manusia," kata Choirul Anam.

 

Pihak kepolisian diduga melakukan penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu. Padahal, kata dia, polisi seharusnya bisa melakukan upaya lain untuk menghindari semakin banyaknya korban jiwa.

 

"Kami juga mengindikasikan adanya tindakan unlawful killing terhadap empat orang laskar FPI," kata dia. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.