Latest Post

 


SANCAnews – Operasi tangkap tangan (OTT) yang menyasar Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah menuai pertanyaan dari publik. Sebab, OTT terkait dugaan penerimaan suap proyek infrastruktur itu terkesan sengaja dilakukan hanya untuk wilayah Sulsel.

 

“Meskipun memang KPK menemukan bukti-bukti, tapi itu menimbulkan spekulasi, kenapa Sulsel yang disasar sementara mungkin ada juga daerah lain yang enggak kalah gilanya dan ganasnya dengan Sulsel (tidak di-OTT),” tegas politisi PKS, Muhammad Nasir Djamil kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (28/2).

 

Pada dasarnya, ia sepakat dengan semangat pemberantasan korupsi yang terus dilakukan lembaga pimpinan Firli Bahuri itu. Namun lembaga antirasuah juga perlu berbenah agar dalam kinerja yang dilakukan tidak selalu menuai pro dan kontra.

 

Seperti halnya dalam pengusutan kasus OTT Nurdin Abdullah. KPK, kata dia, harus membuka fakta sejelas-jelasnya, termasuk kemungkinan praktik serupa di daerah lain yang melibatkan kepala daerah.

 

“Kenapa Nurdin Abdullah yang disasar? Apakah tadi, ingin meruntuhkan citranya atau gimana? Atau ada motif-motif di luar penegakan hukum. Lalu kenapa daerah lain tidak? Padahal daerah lain itu lebih ganas,” tandasnya. []


 


SANCAnews – Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu di sebuah negara otoritarian dan yang cenderung ke ara sana merupakan hal yang mustahil.

 

Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule bahkan mengaku heran dengan pihak-pihak yang masih berharap hukum tegak di negara semacam itu. 

 

“Di negara otokrasi dan otoritarian, mana mungkin hukum bisa ditegakkan? Sampai gigi tumbuh bulu pun, mungkin tak akan pernah terjadi,” begitu tuturnya saat berbincang dengan redaksi Minggu (28/2).

 

Menurutnya, untuk menghindari Indonesia menjadi negara yang otoritarian, maka minimal penegakan hukum harus tegas dan adil kepada siapa saja. Hukum tidak boleh membedakan status sosial atau jabatan seseorang.

 

Misal dalam penegakan hukum mengenai masalah kerumunan. Iwan Sumule sependapat dengan Presiden Joko Widodo yang tidak ingin pengendalian Covid-19 rusak akibat aparat penegak hukum tidak berani menghukum.

 

Apalagi, sambungnya, sudah ada preseden dalam kasus ini. Di mana seseorang yang dianggap menyebabkan kerumunan sudah menjadi tersangka dan kini menjadi tahanan aparat untuk menjalani proses persidangan.

 

“Semua harus dihukum jika memang menimbulkan kerumunan, karena berpotensi menyebabkan klaster baru Covid-19, ” tegasnya.

 

Sementara saat disinggung mengenai kerumunan yang terjadi di Maumere, Nusa Tenggara Timur beberapa waktu lalu, Iwan Sumule menegaskan bahwa keadilan harus turut ditegakkan.

 

Baginya, perlu dicari akar dari kerumunan tersebut sehingga bisa diadili. Dengan begitu, akan ada efek jera di kemudian hari bagi mereka yang tidak berhati-hati hingga menyebabkan kerumunan.

 

“Intinya semua harus adil. Rakyat yang salah kah, Paspampres kah, atau presiden?” tutupnya. (rmol)


 


SANCAnews – Kebijakan Presiden Jokowi yang membuka izin investasi minuman keras menimbulkan polemik. Banyak pihak menyampaikan kritik atas kebijakan itu, terlebih kepada presiden dan wakil presiden.

 

Dalam sebuah cuitan yang diunggah Minggu (28/2/2021) Said Didu menanggapi kebijakan itu dan menyentil kapasitas Maruf Amin sebagai seorang wakil presiden.

 

Dalam cuitan tersebut, Sadi Didu mengingatkan bahwa minuman keras merupakan hal yang diharamkan dalam Islam. Ia lantas meminta Maruf menggunakan kekuasaannya untuk menyelamatkan umat.

 

"Bapak Wapres Kiyai_MarufAmin yang terhormat, setahu saya, bagi Islam miras adalah haram. Saudara kita di Papua menolak miras untuk menyelematkan warganya," tulis Said Didu.

 

"Mohon perkenan Bapak gunakan kekuasaan untuk selamatkan umat di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada Bapak," lanjutnya.

 

Menanggapi cuitan Said Didu, para warganet lantas menuliskan beragam komentar, "Mestinya Habib Luthfi dan Yusuf Mansur bicara jangan diam," tulis warganet dengan akun @AdijayaSa****.

 

Ada juga warganet yang meminta Maruf Amin untuk mengambil tindakan terkait kebijakan tersebut.

 

"Pak kyai_marufamin bertindaklah Pak. Bukankan Allah telah mengharamkan khamar? Lalu bagaimana mungkin, bapak akan membiarkan ini? Gunakanlah kekuasaan Bapak. Karena memerangi dengan doa saja, adalah tanda selemah-lemahnya iman. Saya mohon dengan sangat, berbuatlah Pak, dengan ilmu dan kekuasaan Bapak," tulis warganet dengan akun @Mitrawat***.

 

"Kiyai_MarufAmin ditunggu oleh umat sikap dan kebijakannya. Kapan berani keluar dari zona nyaman. Ingat, semua dipertanggungjawabkan. Jangan diam saja melihat orang yang berani ngaku-ngaku seperti Umar bin Khattab melegalkan miras!" tulis warganet dengan akun @fatimahpej****.

 

Selain Said Didu, beberapa pihak juga menunjukkan kekhawatiran mereka. Salah satunya ialah MUI, yang juga menyampaikan kekecewaan terhadap kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanam Modal tersebut. []


 


SANCAnews – Keputusan Presiden Jokowi membuka peluang investasi perusahaan miras di 4 provinsi di Indonesia menuai pro kontra. Sebagian pihak menolak keras keputusan ini.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis dengan keras menolak investasi miras di Indonesia, meskipun hanya di 4 provinsi. Lewat unggahan di instagram, Cholil menilai, apa pun jenis dan tempatnya, segala hal yang memabukkan itu hukumnya haram.

 

"Apa pun jenisnya yang memabukan itu bahaya pada akal, maka hukumnya haram. Di mana pun itu tempatnya kalau di minum memabukkan maka hukumnya haram. Maka penjualnya pun kalau tahu untuk diminum hingga memabukkan maka hukumnya haram," kata Cholil Nafis, Minggu (28/2).

 

Demikian juga orang yang berinvestasi untuk bisnis miras itu hukumnya haram. Yang membiarkan kemungkaran dengan melegalkan miras dan investasi maka hukumnya haram. Termasuk yang melegalkan investasi miras itu sama dengan mendukung beredarnya miras maka hukumnya haram.

 

Dia menilai, negara tidak bisa berlindung di balik alasan adanya kearifan lokal untuk melegalkan investasi perusahaan miras. Negara, bahkan WHO sudah tahu betul berapa banyak orang yang tewas karena miras, atau tindakan kejahatan yang muncul usai mabuk karena miras.

 

"Jika negara ini harus melarang beredarnya miras maka apalagi investasinya juga harus dilarang. Tak ada alasan karena kearifan lokal kemudian malah melegalkan dalam investasi miras karena itu merusak akal pikiran generasi bangsa," ujar dia.

 

"WHO sudah mencatat bahwa tahun 2014 orang yang mati karena miras lebih dari 3 juta jiwa lebih banyak dari korban mati karena COVID-19," tambah dia.

 

Sedangkan, dari segi dalil tentu sudah banyak dan sering disampaikan. Sudah sangat jelas, miras lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.

 

"Buat apa pemerintah melegalkan investasi miras? Tolak miras dan dukung RUU jadi UU pelarangan miras untuk semua umur," ucap dia.

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi meneken regulasi turunan UU Cipta Kerja yang membuka peluang investasi minuman keras (miras). Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, investasi miras diizinkan di 4 provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

 

Dikutip kumparan dari lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021, ada 46 bidang usaha yang masuk kategori terbuka dengan persyaratan khusus. Tiga di antaranya yakni Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol, Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol: Anggur, dan Industri Minuman Mengandung Malt.

 

Masing-masing tertera di urutan nomor 31, 32, dan 33, lampiran Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021 tersebut. Ada pun persyaratan khusus yang dimaksud untuk industri minuman keras, yakni untuk investasi baru hanya dapat dilakukan di 4 provinsi. []


Demikian juga orang yang berinvestasi untuk bisnis miras itu hukumnya haram. Yang membiarkan kemungkaran dengan melegalkan miras dan investasi maka hukumnya haram. Termasuk yang melegalkan investasi miras itu sama dengan mendukung beredarnya miras maka hukumnya haram.
--KH Cholil Nafis

 

 


SANCAnews – Tindakan Bareskrim Polri yang dua kali menolak laporan kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan terkait kerumunan massa saat Presiden Joko Widodo membagi-bagikan hadiah dalam kunjungan kerja (kunker) di NTT, beberapa waktu lalu mendapat sorotan banyak pihak.

 

Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman turut angkat bicara menanggapi tindakan polisi yang menolak dua laporan dugaan kasus prokes Covid-19 Presiden Jokowi. Menurutnya, tindakan itu membuktikan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

 

"Itulah bukti kesekian kalinya bahwa hukum tajam ke bawah tumpul ke atas," ucap Munarman saat dihubungi Suara.com, Sabtu (27/2/2021) malam.

 

Dia pun menganggap jika polisi masih tebang pilih dalam menerima laporan kasus terutama yang melibatkan elite-elite di pemerintahan.

 

"Sudah hancur semua sendi-sendi hukum akibat praktek penegakkan hukum yang tebang pilih," kata dia.

 

Ia menilai apabila pihak kepolisian enggan mengusut pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Jokowi, maka Habib Rizieq Shihab harus segera dibebaskan.


Saat ini Rizieq masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri karena dianggap melanggar aturan protokol kesehatan Covid-19.

 

"Harusnya Habib Rizieq (HRS) segera dibebaskan, bila aparat hukum tidak bisa menangkap pelanggar prokes di NTT tersebut," kata Munarman.

 

Sebelumnya, Bareskrim Polri menolak laporan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) terkait adanya dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat. PP GPI diminta untuk membuat laporan secara resmi.

 

Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Hukum dan HAM PP GPI Fery Dermawan. Fery menyebut barang bukti yang telah mereka bawa pun tidak diterima alias dikembalikan oleh petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri.

 

"Intinya tadi kami sudah masuk ke dalam ini laporan masuk tapi tidak ada ketegasan di situ. Jadi intinya bukti kita dikembalikan, hanya ada pernyataan bahwasannya ini untuk diajukan secara resmi kembali," kata Fery di Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (26/2/2021).

 

Menurut Fery, petugas SPKT tidak secara tegas menyatakan menolak laporan yang hendak pihaknya layangkan. Namun, dia memastikan bahwa mereka tidak menerima surat tanda terima berupa Nomor Laporan Polisi (LP) dari petugas SPKT Bareskrim Polri.

 

"Ini tidak ada nomor LP. Saya tidak berani menyatakan ini ditolak karena disaat saya meminta ketegasan apakah ini ditolak? Tidak ada jawaban ini ditolak. Intinya silakan bikin laporan secara resmi, itu jawaban yang kami terima. Jelas kami tidak puas dengan jawaban ini," ujarnya.

 

Dua Kali Tolak Laporan 

Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan sebelumnya telah lebih dahulu membuat laporan serupa ke Bareskrim Polri. Laporan itu dilayangkan oleh Ketua Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan Kurnia pada Kamis (25/2) kemarin.

 

Ketika itu Kurnia hendak melaporkan Jokowi yang dituding telah melanggar protokol kesehatan. Menurutnya, Jokowi juga abai terhadap protokol kesehatan lantaran membagikan cinderamata ketika kerumunan massa penyambutnya terjadi NTT.

 

Hanya saja, petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri tak menerbitkan Surat Laporan Polisi terkait laporan dari Kurnia seperti halnya kepada PP GPI. Ketika itu, kata Kurnia, petugas SPKT hanya menyarankan pihaknya membuat surat laporan tertulis yang kemudian diberi stampel oleh bagian Tata Usaha dan Urusan Dalam (TAUD).

 

"Pihak kepolisian yang tidak mau menerbitkan Laporan Polisi atas laporan kami terhadap terduga pelaku tindak pidana pelanggaran kekarantinaan kesehatan yakni sang presiden," kata Kurnia kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).

 

Kurnia pun mengaku kecewa. Sekaligus, mempertanyakan asas persamaan kedudukan di hadapan hukum kepada Polri berkaitan dengan kasus tersebut. "Kami mempertanyakan asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) apakah masih ada di republik ini?," pungkasnya. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.