Latest Post

 


SANCAnews – Presiden Jokowi melegalisasi miras sesuai Perpres No 10 Tahun 2021. Industri minuman keras ini bakal lebih terbuka untuk berkembang di Indonesia. Bagaimana tanggapan pengamat?

 

Perpres yang telah diteken Jokowi pada 2 Februari 2021 itu membuat Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin memberikan izin kepada investor atau perusahaan untuk memproduksi dan memperjualbelikan minuman beralkohol secara terbuka dengan syarat tertentu.

 

Perpres No 10 yang ditandatangani Jokowi ini mendapat respons keras dari berbagai kalangan masyarakat.

 

Meski Perpres ini berlaku untuk di daerah tertentu saja, tetap saja banyak masyarakat yang menolak legalisasi miras.

 

“Kegelisahan hingga penolakan masyarakat atas legalisasi miras menunjukkan bahwa DPR belum tentu mewakili suara rakyat. Mengapa?” ujar Pengamat Politik dan Hukum Gde Siriana Yusuf kepada Kantor Berita Politik RMOL (Group Pojoksatu.id), Sabtu (27/2).

 

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini pun mempertanyakan, bagaimana bisa Perpres No.10/2021 pada lampiran III memasukkan usaha miras sebagai bidang usaha yang dilegalkan.

 

Diungkap Gde Siriana, Perpres tersebut turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang menghapus Pasal 12 UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Yang Melarang Bidang Usaha Miras.

 

UU Cipta Kerja kemudian memasukan miras sebagai bidang usaha yang dilegalkan, “Jadi inilah yang ditakutkan masyarakat ketika menolak Omnibus Law. Saya juga enggak tahu apakah semua anggota DPR membaca pasal ini,” jelasnya.

 

“Sekarang masyarakat ribut setelah keluar perpres sebagai turunan UU Cipta Kerja soal legalisasi miras,” tambahnya.

 

Gede Siriana meragukan DPR telah berjuang mewakili kepentingan masyarakat seiring terbitnya Perpres No 10/2021 ini yang diteken Jokowi ini.

 

Terlebih lagi, sekarang Jokowi tampaknya dapat berlindung di balik UU Cipta Kerja. Sementara DPR sudah tersandera dalam kehendak eksekutif.

 

“Saya pribadi melihatnya begini, Perpres ini kan turunan dari UU Cipta Kerja, kalau proses legislasi induknya sudah cacat, misalnya sosialisasi soal miras ini disampaikan transparan atau tidak kepada publik, maka produk turunannya yaitu Perpres ini akan juga cacat,” bebernya.

 

Menurutnya, secara nilai UU Ciptaker ini kan cacat moral. Jika diuji dengan konstitusi dan Pancasila, apakah bisnis miras ini bisa diterima untuk ditumbuhkan?

 

“Jika DPR memang setuju, ya legalkan saja sekalian perjudian dan prostitusi. Jangan nanggung-nanggung. Biar bangsa ini dihancurkan sekalian sama pemimpinnya” tutupnya. []


 


SANCAnews – Industri minuman keras bakal lebih terbuka untuk berkembang di Indonesia usai Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No 10 Tahun 2021.

 

Perpres yang telah diteken Jokowi pada 2 Februari 2021 itu membaut pemerintah memberikan izin kepada investor atau perusahaan untuk memproduksi dan memperjualbelikan minuman beralkohol secara terbuka dengan syarat tertentu.

 

Kontan Perpres ini mendapat respons keras dari berbagai kalangan masyarakat. Meski Perpres ini berlaku untuk di daerah tertentu saja, tetap saja banyak masyarakat yang menolak legalisasi miras.

 

"Kegelisahan hingga penolakan masyarakat atas legalisasi miras menunjukkan bahwa DPR belum tentu mewakili suara rakyat. Mengapa?" ujar Gde Siriana Yusuf kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (27/2).

 

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini pun mempertanyakan, bagaimana bisa Perpres No.10/2021 pada lampiran III memasukkan usaha miras sebagai bidang usaha yang dilegalkan.

 

Diungkap Gde Siriana, Perpres tersebut turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang menghapus pasal 12 UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal yang melarang bidang usaha miras. UU Cipta Kerja kemudian memasukan miras sebagai yang dilegalkan.

 

"Jadi inilah yang ditakutkan masyarakat ketika menolak Omnibus Law. Saya juga enggak tahu apakah semua anggota DPR membaca pasal ini. Sekarang masyarakat ribut setelah keluar perpres sebagai turunan UU Ciptakerja soal legalisasi miras," tambahnya.

 

Dengan demikian, Gede Siriana meragukan DPR telah berjuang mewakili kepentingan masyarakat seiring terbitnya Perpres No 10/2021 ini.

 

Terlebih lagi, sekarang Jokowi tampaknya dapat berlindung di balik UU. Sementara DPR sudah tersandera dalam kehendak eksekutif.

 

"Saya pribadi melihatnya begini, Perpres ini kan turunan dari UU Ciptaker, kalau proses legislasi induknya (UU Ciptaker) sudah cacat, misalnya sosialisasi soal miras ini disampaikan transparan atau tidak kepada publik, maka produk turunannya Perpres ini akkan juga cacat," bebernya.

 

Juga, imbuhnya, secara nilai UU Ciptaker ini kan cacat moral. Jika diuji dengan konstitusi dan Pancasila, apakah bisnis miras ini bisa diterima untuk ditumbuhkan?

 

"Jika DPR memang setuju, ya legalkan saja sekalian perjudian dan prostitusi. Jangan nanggung-nanggung. Biar bangsa ini dihancurkan sekalian sama pemimpinnya" tutupnya. []


 


SANCAnews – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan investasi minuman keras (miras) hukumnya haram. Alasannya, berinvestasi sama dengan mendukung beredarnya minuman beralkohol tersebut.

 

"Termasuk yang melegalkan investasi miras sama dengan mendukung beredarnya miras, maka hukumnya haram," ujar Ketua MUI, Cholil  Nafis, Minggu (28/2/2021).

 

Kebijakan investasi miras terangkum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 yang mulai berlaku pada 2 Februari 2021. Dengan kebijakan itu, industri miras dapat menjadi ladang investasi asing, domestik, hingga diperjualbelikan eceran.

 

“Jika negara ini harus melarang beredarnya miras, maka apalagi investasinya. Juga harus dilarang,” tegasnya.

 

Menurutnya, tak ada alasan melegalkan investasi serta peredaran miras dengan alasan budaya atau kearifan lokal setempat. []


 


SANCAnews – Ustad Tengku Zulkarnain menyentil Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait investasi minuman keras (miras) yang kini mulai dibuka dibeberapa daerah.

 

Mantan Wasekjen MUI ini mengatakan, Jokowi dahulunya menarik simpati masyarakat dengan gayanya yang religius, seperti memimpin salat berjamaah dan lainnya. Namun kini membuka keran investasi miras.

 

“Dulu rajin jadi Imam Sholat berjama’ah sehingga menarik simpati banyak Orang,” sindir Tengku Zulkarnain dikutip twitternya, Sabtu (27/2).

 

Kebijakan Jokowi tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.

 

“Kini apa lacur, setelah ditandatangani legalisasi minuman keras.. Masih banyak kah yang tetap simpati? Atau malah bertambah banyak kah?” sindir Tengku Zul lagi.

 

Dalam lampiran III Perpres 10/2021, pemerintah mengatur ada empat klasifikasi miras yang masuk dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu.

 

Pertama, industri minuman keras mengandung alkohol. Kedua, minuman keras mengandung alkohol berbahan anggur.

 

Adapun keduanya mempunya persyaratan yakni untuk penanaman modal baru hanya dapat dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal.

 

Ketiga, perdagangan eceran minuman keras dan beralkohol. Kempat, perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol. Namun, ada syaratnya yakni jaringan distribusi dan tempat harus disediakan secara khusus. []


 


SANCAnews – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menceritakan kronologis tangkap tangan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, bersama beberapa pihak lainnya yang kini telah menyandang status tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

 

Operasi senyap ini bermula dari informasi yang diterima oleh Tim KPK dari masyarakat pada Jumat kemarin (26/2). 

 

"Adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diberikan oleh kontraktor, AS (Agung Sucipto) kepada NA (Nurdin Abdullah) melalui perantaraan ER (Edy Rahmat) sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan NA," beber Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Minggu dinihari (28/2).

 

Firli menuturkan, sekitar pukul 20.24 WITA, AS bersama sopir IF (Irfan) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dimana ER telah menunggu. Dengan beriringan mobil, IF mengemudikan mobil milik ER sedangkan AS dan ER bersama dalam satu mobil milik AS menuju ke Jalan Hasanuddin Makassar.

 

Dalam perjalanan tersebut, AS menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Tahun Anggaran 2021 kepada ER.

 

"Sekitar pukul 21.00 WITA, IF kemudian memindahkan koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS ke bagasi mobil milik ER di Jalan Hasanuddin," tutur Firli. 

 

Selanjutnya, sekitar pukul 23.00 WITA, AS diamankan saat dalam perjalanan menuju ke Bulukumba. Sedangkan sekitar pukul 00.00 WITA, ER beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan di rumah dinasnya.

 

"Pada sekitar pukul 02.00 WITA, NA juga diamankan di rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel," ucap Firli.

 

Firli menambahkan, kasus korupsi ini diawali dengan adanya keinginan dari AS selaku Direktur PT Agung Perdana Bulukumba mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan tahun anggaran 2021. AS sendiri telah lama kenal baik dengan NA.

 

Sejak Februari 2021, telah ada komunikasi aktif antara AS dengan ER sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan NA untuk bisa memastikan agar AS mendapatkan proyek yang diinginkannya di tahun 2021.

 

"Dalam beberapa komunikasi tersebut, diduga ada tawar menawar fee untuk penentuan masing-masing dari nilai proyek yang nantinya akan kerjakan oleh AS," ujar Firli.

 

Sekitar awal Februari 2021, ketika NA sedang berada di Bulukumba bertemu dengan ER dan AS yang telah mendapatkan proyek pekerjaan Wisata Bira. NA pun menyampaikan kepada ER bahwa kelanjutan proyek Wisata Bira akan kembali dikerjakan oleh AS.

 

"NA memberikan persetujuan dan memerintahkan ER untuk segera mempercepat pembuatan dokumen DED (Detail Engineering Design) yang akan dilelang pada APBD TA 2022," urai Firli.

 

Di samping itu, pada akhir Februari 2021, ketika ER bertemu dengan NA disampaikan bahwa fee proyek yang dikerjakan AS di Bulukumba sudah diberikan kepada pihak lain. Saat itu NA mengatakan yang penting operasional kegiatan NA tetap bisa dibantu oleh AS.

 

"AS selanjutnya pada 26 Februari 2021 diduga menyerahkan uang sekitar Rp 2 miliar kepada NA melalui ER," tuturnya.

 

Selain itu, NA juga diduga menerima uang dari kontraktor lain. Dimulai pada akhir tahun 2020, NA menerima uang sebesar Rp 200 juta. Kemudian, pertengahan Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 1 miliar. Lalu, awal Februari 2021, NA juga melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar.

 

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Nurdin Abdullah bersama Sekdis PUPR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER), dan kontraktor bernama Agung Sucipto (AS) sebagai tersangka suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

 

Nurdin Abdullah diduga telah menerima dugaan suap dari AS sekitar Rp 2 miliar dengan perantara Edy Rahmat.

 

Selain itu Gubernur Sulsel juga diduga menerima gratifikasi dari kontraktor lain dengan total Rp 3,4 miliar.

 

"Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang cukup, maka KPK menetapkan tiga orang tersangka; NA (Nurdin Abdullah), ER (Edy Rahmat), dan AS (Agung Sucipto)," ujar Firli Bahuri.

 

Akibat ulahnya, NA dan ER selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

 

Adapun, AS yang berperan sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.