SANCAnews – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli
Bahuri menceritakan kronologis tangkap tangan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin
Abdullah, bersama beberapa pihak lainnya yang kini telah menyandang status
tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di lingkungan
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.
Operasi senyap ini bermula dari informasi yang diterima oleh
Tim KPK dari masyarakat pada Jumat kemarin (26/2).
"Adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh
penyelenggara negara yang diberikan oleh kontraktor, AS (Agung Sucipto) kepada
NA (Nurdin Abdullah) melalui perantaraan ER (Edy Rahmat) sebagai representasi
dan sekaligus orang kepercayaan NA," beber Firli Bahuri saat jumpa pers di
Gedung KPK, Minggu dinihari (28/2).
Firli menuturkan, sekitar pukul 20.24 WITA, AS bersama sopir
IF (Irfan) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dimana ER telah
menunggu. Dengan beriringan mobil, IF mengemudikan mobil milik ER sedangkan AS
dan ER bersama dalam satu mobil milik AS menuju ke Jalan Hasanuddin Makassar.
Dalam perjalanan tersebut, AS menyerahkan proposal terkait
beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan,
Tahun Anggaran 2021 kepada ER.
"Sekitar pukul 21.00 WITA, IF kemudian memindahkan koper
yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS ke bagasi mobil milik ER di
Jalan Hasanuddin," tutur Firli.
Selanjutnya, sekitar pukul 23.00 WITA, AS diamankan saat
dalam perjalanan menuju ke Bulukumba. Sedangkan sekitar pukul 00.00 WITA, ER
beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan di rumah
dinasnya.
"Pada sekitar pukul 02.00 WITA, NA juga diamankan di
rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel," ucap Firli.
Firli menambahkan, kasus korupsi ini diawali dengan adanya
keinginan dari AS selaku Direktur PT Agung Perdana Bulukumba mendapatkan
beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan tahun anggaran
2021. AS sendiri telah lama kenal baik dengan NA.
Sejak Februari 2021, telah ada komunikasi aktif antara AS
dengan ER sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan NA untuk bisa
memastikan agar AS mendapatkan proyek yang diinginkannya di tahun 2021.
"Dalam beberapa komunikasi tersebut, diduga ada tawar
menawar fee untuk penentuan masing-masing dari nilai proyek yang nantinya akan
kerjakan oleh AS," ujar Firli.
Sekitar awal Februari 2021, ketika NA sedang berada di
Bulukumba bertemu dengan ER dan AS yang telah mendapatkan proyek pekerjaan
Wisata Bira. NA pun menyampaikan kepada ER bahwa kelanjutan proyek Wisata Bira
akan kembali dikerjakan oleh AS.
"NA memberikan persetujuan dan memerintahkan ER untuk
segera mempercepat pembuatan dokumen DED (Detail Engineering Design) yang akan
dilelang pada APBD TA 2022," urai Firli.
Di samping itu, pada akhir Februari 2021, ketika ER bertemu
dengan NA disampaikan bahwa fee proyek yang dikerjakan AS di Bulukumba sudah
diberikan kepada pihak lain. Saat itu NA mengatakan yang penting operasional
kegiatan NA tetap bisa dibantu oleh AS.
"AS selanjutnya pada 26 Februari 2021 diduga menyerahkan
uang sekitar Rp 2 miliar kepada NA melalui ER," tuturnya.
Selain itu, NA juga diduga menerima uang dari kontraktor
lain. Dimulai pada akhir tahun 2020, NA menerima uang sebesar Rp 200 juta.
Kemudian, pertengahan Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp 1 miliar.
Lalu, awal Februari 2021, NA juga melalui SB menerima uang Rp 2,2 miliar.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Nurdin Abdullah bersama
Sekdis PUPR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER), dan kontraktor bernama Agung
Sucipto (AS) sebagai tersangka suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang
dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel
Tahun Anggaran 2020-2021.
Nurdin Abdullah diduga telah menerima dugaan suap dari AS
sekitar Rp 2 miliar dengan perantara Edy Rahmat.
Selain itu Gubernur Sulsel juga diduga menerima gratifikasi
dari kontraktor lain dengan total Rp 3,4 miliar.
"Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang cukup,
maka KPK menetapkan tiga orang tersangka; NA (Nurdin Abdullah), ER (Edy
Rahmat), dan AS (Agung Sucipto)," ujar Firli Bahuri.
Akibat ulahnya, NA dan ER selaku penerima suap disangkakan
melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B
Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Adapun, AS yang berperan sebagai pihak pemberi disangkakan
melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13
Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (rmol)