Latest Post


 

SANCAnews – Pernyataan budayawan Romo Benny Susetyo mengenai banjir Jakarta ramai diperbincangkan di media sosial karena ditulis berkomentar sebagai perwakilan dari BPIP. Akun YouTube yang mengunggah pernyataan Romo Benny itu meminta maaf.

 

"Lembaga advokasi Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) mengklarifikasi video berjudul: Kenapa Banjir Masih Ada di Jakarta dengan narasumber budayawan Antonius Benny Susetyo," kata Wakil Ketua RKN, Filipus Reza, dalam keterangan yang diterima detikcom, Selasa (23/2/2021).

 

Reza mengatakan pihaknya keliru menulis jabatan Romo Benny saat menyampaikan pandangannya mengenai banjir itu. Dia menjelaskan kapasitas Romo Benny dalam wawancara itu adalah sebagai budayawan.

 

"Dalam video tersebut, RKN Media keliru menulis jabatan Romo Benny sebagai Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dan dalam hal ini, dalam kapasitasnya sebagai budayawan, Romo Benny memberikan pandangan terkait bagaimana menyelesaikan persoalan banjir di Indonesia, tak terkecuali di DKI Jakarta," kata dia.

 

Atas kekeliruan penulisan nama itu, RKN meminta maaf. Dia menyebut Romo Benny berbicara sebagai budayawan yang kerap kali memberikan pandangan mengenai banjir.

 

"Sebagai budayawan, Romo Benny juga berulang kali memberikan pandangan terkait persoalan banjir di Tanah Air. Atas dasar itu, Rumah Kebudayaan Nusantara menyampaikan permohonan maaf kepada Romo Benny Susestyo atas kekeliruan menulis jabatan sebagai anggota BPIP," jelas dia.

 

"Dengan demikian, pernyataan Romo Benny yang dalam wawancara dengan RKN Media bukan mengatasnamakan lembaga BPIP, melainkan sebagai budayawan," lanjutnya.

 

Sebelumnya, Romo Benny memberikan penjelasan terkiat komentarnya mengenai banjir di DKI Jakarta. Romo Benny menyebut bahwa kapasitas dia dalam membahas banjir dan peradaban alam itu sebagai budayawan, bukan perwakilan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

 

Penjelasan Romo Benny itu diunggah oleh akun YouTube Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) Media berjudul 'Kenapa Banjir Masih Ada di Jakarta!!!' yang diunggah, 21 Februari 2021. Dalam wawancara itu Romo Benny disebut sebagai perwakilan dari BPIP. Romo Benny telah mengizinkan pernyataan itu untuk dikutip.

 

"Kan saya bukan sebagai staf khusus (Dewan Pembina BPIP), saya sebagai budayawan, saya bicara keadaban banjir, dan banjirnya kan tidak hanya Jakarta, tapi Kalimantan Selatan," ujar Romo Benny saat dihubungi, Selasa (23/2/2021).

 

Di awal wawancara, Romo Benny ditanya mengenai mengapa banjir masih terjadi di Jakarta. Romo Benny kemudian menjelaskan bahwa banjir di Jakarta harusnya bisa diminimalkan dengan adanya teknologi.

 

"Ini fenomena sebenarnya bahwa kalau kita memprediksi dengan baik cuaca, alam, itu ya alamiah. Tetapi kan kita harus mempersiapkan. Justru dengan hebatnya teknologi, kita itu sudah bisa harusnya memantau curah hujan itu, kemudian mempersiapkan bagaimana sebuah kebijakan yang jelas-terukur. Untuk apa? Untuk mampu misalnya mengatasi banjir ini," kata Romo Benny seperti dilihat, Selasa (23/2). []




SANCAnews – Ekonom Senior, Rizal Ramli mengomentari pernyataan Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo.

 

Rizal Ramli mengatakan pernyataan Antonius yang menyebutkan Anies Baswedan bisa belajar kepada Ahok dalam penanganan banjir menunjukkan bahwa dirinya benar-benar seorang Romo.

 

Namun, Romo yang dikatakan Rizal Ramli ini bukan bermakna yang sebenarnya. Romo yang dia maksud adalah Romo Politik. Ia menyingkatnya menjadi RomPOL. Hal tersebut disampaikan Rizal Ramli melalui akun Twitter @RamliRizal.

 

"Bener2 ROmPOl = Romo Politik - nyaris tidak bisa berfikir objektif," kata Rizal Ramli seperti dikutip jurnalmedan.com dari akun @RamliRizal, Selasa 23 Februari 2021.

 

Sebelumnya, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo mengatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bisa belajar kepasa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam penanganan banjir.

 

Hal tersebut disampaikan Antonius Benny dalam sebuah video yang diupload di kanal YouTube Rumah Kebudayaan Nusantara.

 

“Apa yang dilakukan Ahok harus dilanjutkan seharusnya. Sehingga penataan kota Jakarta dalam mengatasi masalah banjir itu menyeluruh tidak parsial dan tidak sifatnya politis. Kalau sifatnya politis, ga akan selesai-selesai,” kata Antonius.***




SANCAnews – Kritikan Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo terkait penanganan banjir di Jakarta tak ubahnya seperti buzzer.

 

Bahkan politisi Demokrat, Syahrial Nasution menilai keberadaan BPIP terkesan telah disusupi pendengung bayaran atau kerap disebut buzzeRp.

 

"Fenomena buzzeRp merambah ke BPIP," kata Syahrial Nasution di akun Twitternya, Selasa (23/2).

 

Bukan tanpa alasan tudingan tersebut dilontarkan. Ia melihat lembaga BPIP belakangan justru diam tak bersuara saat muncul kasus korupsi bantuan sosial Covid-19 yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat.

 

Namun sikap diamnya itu berbanding terbalik tatkala DKI Jakarta ditimpa bencana banjir beberapa waktu belakangan.

 

"Perampokan duit Bansos dampak Covid-19 yang merusak persatuan, mereka bungkam. Bencana banjir yang membangkitkan solidaritas, nyinyir. Berlaku hanya untuk DKI," tandasnya.

 

Benny Susetyo atau Romo Benny sebelumnya mengkritik banjir Jakarta seharusnya bisa diprediksi dan disiapkan solusi oleh para pemangku kepentingan. ia bahkan membandingkan kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan dengan era Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam penanganan banjir.

 

"Seperti zaman Ahok dulu ada pengerukan, pembersihan drainase dengan pasukan kuning atau pasukan oranye. Sehingga ketika curah hujan melebihi kapasitas, air bisa mengalir," jelas Romo Benny, Minggu (21/2). (rmol)


 

SANCAnews – Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun ikut angkat bicara mengomentari pernyataan pemikir politik Rocky Gerung yang dituding segelintir orang menghina Presiden Jokowi.

 

Sebelumnya, pernyataan tersebut dilontarkan Rocky Gerung saat mengkritik wacana revisi UU ITE yang menurutnya hanya merupakan alat kontrol terhadap oposisi.

 

Tak pelak, hal itu membuat Rocky Gerung menyebut bukan UU ITE yang seharusnya direvisi, tetapi isi pikiran presiden.

 

Sebab, menurut Rocky, yang harus dilakukan pemerintah kekinian adalah memulihkan hak oposisi Jokowi.

 

"Rocky Gerung mengeluarkan pernyataan, lagi-lagi dianggap menghina, bukan UU ITE, tapi otak presiden yang harus direvisi. Dianggap penghinaan, tetapi Rocky Gerung bergeming mengatakan itu bukan penghinaan, yang dia sampaikan itu kritik presiden, bukan ke Jokowi secara personal tetapi ke pemimpin negara dan pemerintah," ujar Refly Harun seperti dikutip Suara.com pada Selasa (23/2/2021) dari tayangan dalam kanal YouTube-nya.

 

Refly Harun kemudian mengulas pernyataan Jokowi yang menyebut soal oposisi. Dia menyoroti pemberitaan soal partisipasi Partai Gerindra yang diklaim Jokowi sebagai bentuk tidak adanya oposisi.

 

Mengaku tidak memihak siapa pun, Refly mengatakan sejatinya problematika sekarang ini adalah sering dicampuradukkannya sistem pemerintahan.

 

Meski begitu, dia menegaskan pernyataan Presiden Jokowi soal bergabungnya Partai Gerindra dalam pemerintahan tidaklah benar.

 

"Bukan soal ingin mengatakan Jokowi salah atau benar, Rocky Gerung salah atau benar. Kita sering mencampuradukkan sistem pemerintahan yang kita anut, parlementer dan presidensiil. Selain itu juga soal tradisi politik dengan nilai esensial dalam demokrasi," tukas Refly.

 

"Presiden orang nomor satu. Ketika Presiden Jokowi mengatakan soal bergabungnya Partai Gerindra dalam pemerintahan karena tidak oposisi, ini kekeliruan melihat sistem pemerintahan," lanjutnya.

 

Bukan tanpa sebab, Refly Harun berbicara demikian lantaran sistem pemerintahan Indonesia semestinya tidak mengenal adanya Partai Politik bergabung dalam kekuatan eksekutif.

 

"Menteri yang direkrut itu mengatasnamakan pribadi, dia harusnya lepas dari partai. Mereka tidak memiliki visi misi partai, tapi visi misi Jokowi," terang Refly.

 

Soal adanya oposisi sebagaimana dikatakan oleh Jokowi, Refly Harun menuturkan bahwa hal itu bisa salah dan bisa juga benar.

 

"Dalam pembagian, maka secara formal memang tidak ada oposisi. Tapi jangan lupa kalau pengertian formalitas, maka sesungguhnya seluruh anggota DPR itu pengawas pemerintah. Jadi tidak bisa diklaim bahwa mereka bekerja untuk presiden tapi rakyat," jelasnya.

 

"Mereka dalam tanda kutip oposisi dalam pemerintah. Semua anggota DPR harus diangap oposisi eksekutif," kata Refly menambahkan.

 

Namun demikian, hal itu menurut Refly Harun patut disorot karena menurut dia Partai Politik sekarang tidak meyakini adanya individual power.

 

Refly Harun mengatakan, Partai Politik sudah menjadi institusi oligarki dan pribadi.

 

"Parpol tidak menjadi institusi demokrasi, tapi menjadi institusi oligarki bahkan pribadi, yang memimpin kalau tidak individu ya keluarga. Hanya satu dua orang partai yang dipimpinnya berbeda," tandasnya. (*)



 

SANCAnews – Pengamat politik Prof Salim Haji Said, Ph.D. menanggapi keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Hal ini setelah muncul keluhan bahwa beleid ini membuat resah dan menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat.

 

Menurut Salim Haji Said, itu menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memang orang baik. Keyakinan itu sudah diyakininya sejak lama.

 

“Saya kan sebenarnya selalu bilang Pak Jokowi itu orang baik. Maksudnya juga baik. Dari dulu juga begitu,” katanya di kanal YouTube Hersubeno Arief Point.

 

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia ini, yang menjadi masalah adalah struktur politik yang ada saat ini, apakah bisa membuat seseorang seperti Presiden Jokowi untuk selalu berbuat baik.

 

“Sebab persoalan di negeri ini adalah who is real in control, siapa yang berkuasa. Karena bicara sistem yang kita jalankan sekarang, sengaja atau tidak, itu oligarki,” tegasnya.

 

"Kalau oligarki itu pertanyaan sulit, siapa yang sebenarnya berkuasa".

 

Dia mempertanyakan apa betul Jokowi berkuasa penuh? Atau Jokowi berkuasa sebagian. Lantas sebagian lagi siapa yang berkuasa.

 

Bagi Prof Salim pertanyaan ini jawabannya penting. Kalau tidak jelas maka yang akan terjadi beredarnya ketakutan, misalnya seperti Kwik Kian Gie yang takut bicara.


“Saya juga sudah beberapa kali bicara, saya menahan diri bicara karena takut,” lanjutnya lagi.

 

Sebab nanti jika kritik kepada pemerintah, meski Presiden Jokowi minta masyarakat melakukan kritik tetapi jika di sekelilingnya tidak terima karena terganggu kepentingannya maka yang terjadi pihak yang kritis dibuat susah.

 

“Jika orang lain dari kalangan oligarki itu merasa dirugikan atau lebih dirugikan, maka dia bisa bertindak untuk mempersulit kita,”  sambungnya.

 

Sebelumnya, ekonom Kwik Kian Gie mengaku takut menyampaikan pendapat berbeda dengan pemerintah karena khawatir langsung diserang buzzer di media sosial.

 

Padahal pendapat yang disampaikan bukan untuk menyerang, melainkan memberi masukan alternatif yang mungkin bisa digunakan.

 

Sementara Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla atau JK juga menyampaikan bahwa demokrasi yang diterapkan saat ini harus menjadi introspeksi bersama. Sebab masyarakat ketakutan dipolisikan jika menyampaikan kritik kepada pemerintah.

 

"Bagaimana mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Ini tentu menjadi bagian upaya kita semua," kata JK di acara mimbar demokrasi Youtube PKS, Sabtu (13/2).

 

Menurutnya dalam demokrasi check and balance itu hal yang wajar. JK juga mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang mempersilakan dikritik. (gelora)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.