Tak Selaras Bicara Jokowi, Pindah Ibu Kota 'Lebih Mudah Atasi Banjir Kalau Jadi Presiden'
SANCAnews – Joko Widodo pernah berucap, jika mengatasi macet
dan banjir di ibu kota Jakarta akan lebih mudah jika menjadi Presiden. Ucapan
itu terucap saat Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta—sebagaimana
diberitakan media pada 24 Maret 2014.
Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy
mengemukakan, bahwa sebetulnya menurut dia pemerintah kolonial Belanda telah
menyiapkan road map pengendalian banjir di Jakarta. Misalnya membangun
bendungan dan situ atau danau kecil. Road map ini yang seharusnya di
revitalisasi yang tujuannya adalah mengendalikan aliran air di hulu.
“Justru konsep ini yang tidak dimiliki Jokowi disaat menjabat
Gubernur DKI, Jokowi hanya memaksimalkan dan menormalisasi aliran irigasi atau
sungai yang ada dan sudah overload karena banyak faktor,” kata Satyo kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (22/2).
Satyo Purwanto berpendapat, Joko Widodo sebetulnnya orang
yang telah diberi dua kesempatan untuk membuktikan mengatasi banjir dan macet.
Karena sudah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik
Indonesia.
Namun, mantan Sekjen ProDEM ini menganggap, kewenangan lebih
Jokowi yang saat menjadi Presiden sebagai representasi pemerintah pusat tidak
memiliki prioritas pengendalian banjir di DKI Jakarta dan justru mengambil opsi
lain yaitu dengan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur,
“Opsi (pindah Ibu Kota) tersebut tentunya tidak sesuai dengan
ide Jokowi yang katanya akan lebih mudah mengatasi banjir bila terpilih jadi
Presiden RI,” kata Satyo menekankan.
Presiden Jokowi telah memastikan ibu kota baru akan berada di
Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dalam
penjelasannya, Jokowi mengatakan setidaknya ada lima alasan. Dimana salah
satunya pertimbangan mengapa ibu kota harus pindah ke Kaltim, yakni di sana
minim dari resiko bencana alam.
Satyo menambahkan, landscape DKI Jakarta memang akan banyak
bersinggungan dengan otoritas pemerintah pusat. Misalnya saja terkait
pengelolaan sungai-sungai besar yang bersinggungan atau melintas di Ibu Kota
seperti Ciliwung, Cisadane, Citarum dan belasan anak sungai lainnya.
Dengan begitu, menurut Satyo, pengendalian banjir di DKI
Jakarta tidak cukup hanya menormalisasi mengingat Daerah Aliran Sungai (DAS)
sungai-sungai sudah berubah sedemikian rupa, ditambah rumitnya pengadaan lahan,
“Paling mungkin adalah mengkombinasikan normalisasi dan naturalisasi,” demikian
Satyo. []