Latest Post



SANCAnews – Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kepemilikan senjata api dengan terdakwa mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Penasihat Hukum (PH) terdakwa dalam sidang tersebut menanyakan Gatot dalam kapasitasnya mantan Panglima TNI soal jenis beberapa senjata api yang disita sebagai barang bukti.

 

Gatot menjelaskan bahwa senjata kaliber 22 mm--sebagaimana senjata api yang dijadikan barang bukti yaitu jenis Mayer dan Revolver serta laras panjang rakitan. Kata Gatot, jarak tembak yang efektif hanya 10 meter. Lebih dari itu tidak efektif melesatnya peluru lantaran terkena angin.

 

"Kaliber 22 ini, jarak efektif hanya 10 meter. Jarang efektif itu jarak yang menakutkan kalau ditembakan. Di luar (jarak) itu dia bisa kena angin," papar Gatot.

 

Kemudian, barang bukti senjata api lain yakni laras panjang rakitan kaliber 22 mm, menurut Gatot kemungkinan besar untuk menembak burung.

 

"Jadi sesuai dengan pengalaman dan jabatan, jadi senjata itu tidak pernah dikenal di dalam TNI ya, kalaupun ada di Polri salah satu yang besar itu, revolver," tanya PH terdakwa Kivlan Zen.

 

PH terdakwa kemudian kembali menanyakan soal senjata jenis Mayer kaliber 22 mm kepada Gatot--yang selama bertugas apakah pernah melihat senjata api jenis tersebut.

 

"Ini (senjata api Mayer) di TNI tidak ada ini apalagi kalibernya 22, jadi organik di TNI tidak ada," jawab Gatot.  

 

Sebelumnya, Jaksa mendakwa Kivlan Zen cs dalam kasus kepemilikan senjata api (senpi) ilegal dan peluru tajam. Dalam surat dakwaan, jaksa mengungkap pembelian senpi ilegal alias tanpa disertai dokumen dari pihak berwenang, yakni

 

1 pucuk senpi jenis Revolver merk Taurus kaliber 38 mm

1 pucuk senpi laras pendek jenis Mayer warna hitam kaliber 22 mm

1 pucuk senpi laras pendek jenis Revolver kaliber 22 mm beserta 4 butir peluru

1 pucuk senjata api laras panjang rakitan kaliber 22 mm. **




SANCAnews – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan jajaran Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri untuk membentuk virtual police atau polisi dunia maya. Instruksi ini untuk meminimalisasi penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan tim polisi dunia maya ini akan mengedepankan edukasi penggunaan ruang siber di masyarakat serta mengutamakan imbauan sebelum penindakan.

 

“Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat melalui media sosial mengenai Undang-Undang ITE," kata Ramadhan dikutip dari Youtube Humas Polri pada Jumat, 19 Februari 2021.

 

Maka itu, Ramadhan mengatakan Polri akan berkoordinasi juga dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk membentuk satuan khusus digital. Dengan demikian, polisi dunia maya nantinya sebelum melakukan penindakan akan menegur pelanggar terlebih dulu.

 

“Serta memberikan penjelasan potensi pelanggaran pasal-pasal sekian, ancaman-ancaman apa yang terkait dengan Undang-Undang ITE, memberikan apa yang sebaiknya dilakukan. Jadi, sifatnya lebih kepada edukasi atau imbauan, dan kita koordinasi dengan Kominfo," jelasnya.

 

Namun, dia tak mau menjelaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE yang sudah berjalan atau ditangani kepolisian saat ini. Contoh kasus itu seperti laporan terhadap pegiat media sosial Abu Janda atau Permadi Arya.

 

“Saya tidak bicara kasus tersebut. Secara umum, Kapolri telah menginstruksikan agar memberikan perhatian terhadap kasus-kasus terkait UU ITE, selama 6 tahun terakhir ini menjadi pembahasan di tengah masyarakat. Jadi, bukan hanya kasus itu. Tentunya kasus-kasus tersebut menjadi perhatian pimpinan Polri,” lanjut dia.

 

Menurut dia, penyidik Polri dalam menerapkan pasal-pasal pidana prinsipnya secara profesional, proporsional dan transparansi. Maka itu, Kapolri Listyo memberikan instruksi kepada jajarannya untuk membuat panduan tentang penyelesaian kasus-kasus yang menerapkan UU ITE.

 

“Pedoman tersebut nantinya akan dijadikan pegangan bagi para penyidik Polri di lapangan saat menerima laporan. Sehingga, penyidik harus melakukan penelitian sebaik-baiknya. Laporan yang sifatnya aduan, dibuat yang melapor harus korbannya, jangan diwakilkan. Jadi, kalau korbannya B, maka pelapornya B bukan A," katanya.

 

Sementara, Ramadhan menekankan sikap Polri untuk kasus dugaan ujaran kebencian, SARA, hoax dan berpotensi yang meresahkan masyarakat atau menimbulkan konflik horizontal serta memecah belah bangsa. Ia bilang penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas atau mutlak.

 

“Jadi, Bapak Kapolri memperhatikan untuk kasus-kasus yang berpotensi menimbulkan konflik, memecah belah. Maka, penegakan hukum sifatnya mutlak,” ujarnya. []




SANCAnews – Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengajak DPR RI untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dianggap menjadi alat pembungkam masyarakat menyampaikan aspirasinya. Meski demikian, juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman menegaskan kalau selama ini pemerintah tidak pernah menangkap para kritikus.

 

"Pemerintah tidak pernah menangkap para kritikus, tidak ada orang yang mengkritik ditangkap oleh pemerintah kecuali di masa lalu," kata Fadjroel dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (19/2/2021).

 

Fadjroel lantas menjelaskan kalau UU ITE kerap menjadi alat hukum antar masyarakat untuk saling melaporkan ke pihak kepolisian.

 

Ia menyebut kalau literasi digital masyarakat masih sangat kurang. Tidak sedikit masyarakat yang saling lapor hanya karena menulis kritik melalui media sosial.

 

Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa Jokowi mewacanakan revisi UU ITE.

 

"Jadi, problem utama yang dilihat presiden ini dari kritik dan masukan adalah belakangan ini kata presiden banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya," ujarnya.

 

Ia juga menyebut kalau Jokowi sudah meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membuat lebih selektif dalam melihat laporan masyarakat dan membuat semacam pedoman interpretasi.

 

Kalau misalkan upaya itu tidak juga membuat UU ITE memberikan keadilan bagi masyarakat, maka Jokowi akan merevisinya bersama dengan DPR RI.

 

"Karena di sinilah (UU ITE) hulu (permasalahannya) supaya ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika dan produktif." []




SANCAnews – Wacana pembentukan Sumatra Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM), kembali muncul ke permukaan disela polemik tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang seragam Sekolah yang terbit usai kasus jilbab non Muslim di SMKN 2 Padang. Bahkan di media sosial, kini berseliwearan formulir dukungan untuk Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau melalui aplikasi google form.

 

Wacana tentang Daerah Istimewa Minangkabau ini, pada mulanya mencuat ke permukaan publik sejak tahun 2014 lalu. Adalah Dr. Mochtar Naim, sosiolog ternama yang menjadi inisiator.

 

Pada saat itu, ia bersama dengan beberapa tokoh lainnya, sempat mendeklarasikan wacana DIM ke publik. Bahkan pada 2016, Mochtar Naim dan tim berhasil merampungkan perumusan naskah akademik RUU Perubahan Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau.

 

Diwawancari Wartawan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Sumatra Barat Kamis 19 Februari 2021, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus, mendukung keinginan itu dan upaya masyarakat terkait dengan pembentukan Daerah Istimewa Minangkabau.

 

Meski demikian, ia berharap dan meminta kepada tokoh Sumbar yang punya pemikiran sama agar dapat seiring selangkah datang ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya.

 

“Saya dukung keinginan dan upaya masyarakat itu. Saya minta kepada tokoh masyarakat Sumbar ini, agar seiring selangkah datang ke DPR menyampaikan aspirasinya, tidak hanya saya,” kata Guspardi.

 

Menurut Guspardi, saat ini di Komisi II sedang dilakukan perevisian terhadap UU Provinsi. Karena, UU itu tidak cocok lagi pada masa dewasa ini. Karena, UU pembentukan Provinsi termasuk Sumbar itukan berdasarkan RIS tahun 1958.

 

Karena kita Negara berdasarkan UUD 1956, tentunya harus mengacu pada itu. Sudah ada komitmen Komisi II untuk semua Provinsi yang sudah habis masa waktunya seperti Papua yang berakhir pada 2021.

 

“Saya adalah anggota pansus daripada UU provinsi Papua. Sumbar juga merupakan prioritas bagi Komisi II, termasuk juga NTB, NTT dan Bali. Dan memang, DIM sebelumnya sudah diprakarsai oleh pak Mochtar Naim agar bagaimana Sumbar ke depan, didasari oleh undang-undang nya itu berdasarkan Daerah Istimewa Minangkabau,” ujar Guspardi.

 

Guspardi menyampaikan, saat ini Bali juga akan diberikan hak istimewanya dengan kekhasan pariwisatanya. Nah, kita sebetulnya lebih prioritas sebetulnya jika dibandingkan dengan Bali. Karena, kita satu-satunya masyarakat yang berdasarkan matrilineal. Kemudian, kekhasan adatnya itu berkulindan dengan agama .

 

“Nggak ada yang begini rata-rata. Coba lihat dimanapun Provinsi lain. Ini adalah kekhasan. Kalau di Minang, kalau dia orang Minang pasti Islam, kalau dia keluar dari Islam, dia tidak Minang lagi. Itu adalah kekhasan yang dibuat. Jangan marah orang lain dengan apa yang sudah menjadi jati diri Minang itu. Kan, ada juga yang memplesetkan dikatakan Ham, lah apa lah. Khebinekaan harus dihargai,” tutup Guspardi. []




SANCAnews – Direktur Eksekutif Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar berpendapat, jika pemerintah serius untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka sebagai implementasinya pasal 27 dan 28 UU ITE harus dihapus alias dicabut.

 

“Pasal 27 dan 28 UU ITE, banyak dipakai untuk mempidanakan orang tanpa bukti yang baik. Tidak cocok dengan tujuan UU ITE,” kata Haris kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (19/2).

 

Disisi lain menurut Haris, pasal 27 dan 28 kerap dimanfaatkan orang untuk balas dendam. Dan, yang lebih miris, pada praktiknya pasal-pasal itu digunakan oleh sekelompok pihak yang pro kepada penguasa juga ke pebisnis.

 

“Dalam praktiknya digunakan untuk sepihak pro pada penguasa dan pebisnis,” kata Haris.

 

Adapun bunyi pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait penghinaan atau pencemaran nama baik secara daring. Dalam setiap pelaporan yang terjadi saat ini. Implementasi penghinaan atau pencemaran nama baik ini diartikan secara luas.

 

Dan justru tidak merujuk pada pasal 310-311 KUHP yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri. Ditambah pasal ini juga kerap digunakan untuk kriminalisasi konten jurnalistik.

 

Sedangkan pasal 28 ayat 2 terkait penyebaran informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tafsirnya seperti pasal sebelumnya, bisa sangat luas.

 

Bahkan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE ini, kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.