Latest Post



SANCAnews – Direktur Eksekutif Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar berpendapat, jika pemerintah serius untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka sebagai implementasinya pasal 27 dan 28 UU ITE harus dihapus alias dicabut.

 

“Pasal 27 dan 28 UU ITE, banyak dipakai untuk mempidanakan orang tanpa bukti yang baik. Tidak cocok dengan tujuan UU ITE,” kata Haris kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (19/2).

 

Disisi lain menurut Haris, pasal 27 dan 28 kerap dimanfaatkan orang untuk balas dendam. Dan, yang lebih miris, pada praktiknya pasal-pasal itu digunakan oleh sekelompok pihak yang pro kepada penguasa juga ke pebisnis.

 

“Dalam praktiknya digunakan untuk sepihak pro pada penguasa dan pebisnis,” kata Haris.

 

Adapun bunyi pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait penghinaan atau pencemaran nama baik secara daring. Dalam setiap pelaporan yang terjadi saat ini. Implementasi penghinaan atau pencemaran nama baik ini diartikan secara luas.

 

Dan justru tidak merujuk pada pasal 310-311 KUHP yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri. Ditambah pasal ini juga kerap digunakan untuk kriminalisasi konten jurnalistik.

 

Sedangkan pasal 28 ayat 2 terkait penyebaran informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tafsirnya seperti pasal sebelumnya, bisa sangat luas.

 

Bahkan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE ini, kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian. []



SANCAnews – Direktur Eksekutif Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar berpendapat, jika pemerintah serius untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka sebagai implementasinya pasal 27 dan 28 UU ITE harus dihapus alias dicabut.

 

“Pasal 27 dan 28 UU ITE, banyak dipakai untuk mempidanakan orang tanpa bukti yang baik. Tidak cocok dengan tujuan UU ITE,” kata Haris kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (19/2).

 

Disisi lain menurut Haris, pasal 27 dan 28 kerap dimanfaatkan orang untuk balas dendam. Dan, yang lebih miris, pada praktiknya pasal-pasal itu digunakan oleh sekelompok pihak yang pro kepada penguasa juga ke pebisnis.

 

“Dalam praktiknya digunakan untuk sepihak pro pada penguasa dan pebisnis,” kata Haris.

 

Adapun bunyi pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait penghinaan atau pencemaran nama baik secara daring. Dalam setiap pelaporan yang terjadi saat ini. Implementasi penghinaan atau pencemaran nama baik ini diartikan secara luas.

 

Dan justru tidak merujuk pada pasal 310-311 KUHP yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri. Ditambah pasal ini juga kerap digunakan untuk kriminalisasi konten jurnalistik.

 

Sedangkan pasal 28 ayat 2 terkait penyebaran informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tafsirnya seperti pasal sebelumnya, bisa sangat luas.

 

Bahkan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE ini, kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian. []




SANCAnews – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan gugatan praperadilan terkait penanganan perkara korupsi bantuan sosial (bansos) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (19/2).

 

Gugatan dilakukan karena Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menilai bahwa KPK telah menelantarkan perkara bansos yang menjerat Juliari Peter Batubara (JPB) selaku mantan Menteri Sosial.

 

Penelantaran yang dimaksud adalah penyidik KPK tidak menggunakan seluruh izin penggeledahan yang dikeluarkan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Jumlahnya mencapai 20 izin.

 

Selain itu, penyidik KPK juga tidak kunjung melakukan pemanggilan terhadap politisi PDIP, Ihsan Yunus.

 

"Bahwa dalam penanganan perkara tersebut diduga Termohon KPK menelantarkan 20 izin penggeledahan yang telah dikeluarkan oleh Dewas KPK yang mengakibatkan belum lengkapnya berkas perkara para tersangka lainnya, sehingga belum dapat dilimpahkan berkas perkara untuk segera disidangkan," ujar Boyamin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (19/2).

 

Berkaitan dengan dugaan penelantaran 20 izin penggeledahan itu, MAKI telah membuat laporan kepada Dewas agar dapat menegur KPK untuk memastikan izin penggeledahan telah dijalankan dan telah diselesaikan sebagaimana mestinya.


"Namun hingga saat ini, baru melakukan sedikit penggeledahan. Baru sekitar 5 penggeledahan," kata Boyamin yang juga melampirkan link berita soal penggeledahan kasus ini.

 

Dugaan penelantaran izin ini, menurut Boyamin telah menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap tersangka lainnya.

 

"Secara materiel, diam-diam, menggantung dan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Tersangka lainnya," kata Boyamin.

 

Penyidik KPK hingga saat ini juga belum memeriksa Ihsan Yunus sebagai saksi dalam perkara ini. Padahal, sambung Boyamin, penyidik telah melakukan serangkaian kegiatan penggeledahan. Yaitu penggeledahan di rumah orang tua Ihsan.

 

Selain itu, orang dekat Ihsan pun juga telah diperiksa. Yaitu, adik Ihsan bernama Muhammad Rakyan Ikram dan Agustri Yogasmara alias Yogas selaku operator Ihsan yang juga muncul saat rekonstruksi.

 

"Bahwa Termohon melalui Plt Jubir Ali Fikri memberikan rilis berita yang berisi KPK telah memanggil Ihsan Yunus. Namun kenyataannya adalah tidak ada bukti apapun telah terjadi pemanggilan kepada Ihsan Yunus, sehingga nampak Termohon tidak serius dan main-main menangani perkara korupsi penyaluran sembako bansos Kemensos," terang Boyamin.

 

Atas hal tersebut, Boyamin berharap Majelis Hakim Praperadilan dapat menyatakan secara hukum bahwa Termohon KPK telah melakukan tindakan penghentian penyidikan secara materil dan diam-diam yang tidak sah menurut hukum terhadap penanganan perkara ini, dengan cara melakukan penelantaran izin penggeledahan yang telah dikeluarkan. Selain itu, juga tidak dipanggilnya Ihsan Yunus sehingga mengakibatkan penanganan perkara menjadi terkendala.

 

"Memerintahkan secara hukum Termohon melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu segera melakukan tindakan penggeledahan sebagaimana 20 izin yang telah dikeluarkan oleh Dewas KPK dan melakukan pemanggilan atas Ihsan Yunus, melakukan penyelesaian penanganan penyidikan, dan melimpahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum pada KPK," pungkasnya. (rmol)




SANCAnews – Seorang kakek usia 75 tahun di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Natu Bun Takka divonis penjara 3 bulan usai menebang pohon jati yang ditanamnya sendiri. Namun, Kakek Natu tidak menyadari jika tanaman jati yang ditanamnya diklaim oleh Pemerintah sebagai kawasan hutan lindung.

 

"Majelis hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng yang mengadili perkara nomor 84/Pid/2020/PN. Watansoppeng menyatakan para terdakwa bersalah dan memenuhi unsur pembuktian pada pasal 82 UU P3H dan menjatuhkan vonis 3 bulan," kata Wadir LBH Makassar, Edy Kurniawan saat dimintai konfirmasi, Kamis (18/2/2020).

 

Kakek Natu berasal dari Desa Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulsel. Natu menebang pohon jati yang ia tanam sendiri di kebunnya yang berjarak kurang lebih 100 meter dari rumahnya. Kebun itu kemudian diklaim sebagai kawasan hutan lindung.

 

Kasus ini bermula saat Kakek Natu dipanggil penyidik Polres Watansoppeng pada tahun 2020 sebagai saksi atas dugaan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat berwenang.

 

"Natu menebang pohon jati untuk keperluan rumah. Dia tidak mengetahui bahwa lokasi kebun miliknya diklaim masuk ke kawasan hutan lindung," terangnya.

 

Sebaliknya, Natu dan keluarganya mengaku telah mengelola kebun itu secara turun menurun dari kakek dan orangtuanya. Keluarganya pun menggantungkan kebutuhan hidup mereka dengan mengelola kebun itu. Tidak hanya itu, setiap tahunnya, Natu aktif membayar PBB hingga 2019.

 

"Upaya kriminalisasi terhadap Natu adalah bentuk pelanggaran terhadap HAM. Padahal sangat jelas petani yang sudah turun temurun yang tinggal dalam kawasan hutan yang mengelola kebun untuk kebutuhan sandang, pangan, papan tidak boleh dipidana," tegasnya. (gelora)



SANCAnews – Polri tidak akan segan memberikan tindakan tegas kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Penegasan ini disampaikan langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di sela meninjau pelaksanaan PPKM mikro di Desa Maguwoharjo, Depok, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (19/2).

 

Pernyataan itu menanggapi kasus Kapolsek Astanaanyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi yang diamankan Tim Gabungan Propam Mabes Polri dan Polda Jawa Barat, beserta bersama 11 orang anggotanya karena diduga terlibat narkoba.

 

"Kan sudah dilaksanakan. Kalau terkait dengan anggota yang melakukan pelanggaran, saya kira jelas. Kita tidak pernah ada toleransi, kita tindak tegas,” ujar Kapolri Listyo, Jumat (19/2).

 

Kapolri menambahkan bahwa para anggota tersebut akan ditindak dengan aturan internal Propam serta pidana.

 

"Aturannya ada aturan internal dari Propam ada, pidana juga ada,” begitu kata Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

 

Adapun dalam kunjungan ke Sleman ini, Kapolri Listyo Sigit Prabowo datang bersama dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.  (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.