Latest Post



SANCAnews – Beberapa hari yang lalu polemik soal pembangunan Museum atau Galeri SBY-Ani Yudhoyono sempat jadi perbincangan netizen. Bahkan tagar #SBYMakanDanaPacitan pun sempat puncaki trending di Twitter selama beberapa hari.

 

Pembangunan Museum SBY-ANI yang terletak di Jalan Lingkaran Selatan, Ploso, Kabupaten Pacitan Jawa Timur itu jadi bulan-bulanan netizen lantaran pembangunannya disebut-sebut dibantu anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejumlah Rp9 miliar.

 

Peletak batu pertama pembangunan Museum atau Galeri SBY-Ani itu diresmikan langsung oleh Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono.

 

Setelah bergulir soal asal muasal dana yang digunakan pada pembangunan museum yang katanya merupakan tanda cinta SBY kepada Ibu Ani ini, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang juga hadir pada peletakan batu pertama menyatakan bahwa pembangunan museum itu akan turut mendongkrak pariwisata Jawa Timur.

 

Di tengah polemik yang terus bergulir, Partai Demokrat melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa pada saat pembangunannya SBY tidak pernah meminta kepada Pemkot Pacitan.

 

"Para Buzzer sudah fitnah keji soal pembangunan Museum SBY-ANI di Pacitan Jatim. Pak SBY ditawarkan bantuan hibah 9 M oleh Pemda Jatim untuk pembangunan. Pak SBY tidak pernah minta, bantuannya pun belum diterima. Niat baik Pemda Jatim, murni," kata Andi Arief pada Selasa, 16 Februari 2021.

 

Hingga saat ini, tudingan miring soal isu pembangunan itu masih terus menyeruak, selain Andi Arief, Yan Harahap yang juga politisi Partai Demokrat kembali meradang bahkan sampai mengungkit Graha Megawati yang juga disinyalir menghabiskan dana miliaran rupiah.

 

"Bentuk cinta kepada 'Madam' Megawati saja negara menggelontorkan dana lebih dari Rp36 miliar. Buzzer Rp diam saja. Apa takut 'upah' tak dibayar?," kata Yan Harahap dalam cuitannya di Twitter @YanHarahap pada Kamis, 18 Februari 2021.

 

Diketahui, Graha Megawati dibangun di Klaten Jawa Tengah yang menghabiskan dana Rp7 miliar dari Pemkab Klaten. Gedung Grh Megawati yang dibangun sejak 2018 disebut-sebut merupakan gedung serbaguna terbesar di Klaten, Jawa Tengah.

 

Pembangunannya bermula menghabiskan dana Rp3,5 miliar untuk urug tanah, kemudian 2019 sebesar Rp15,4 miliar dari APBD untuk pembangunan gedung utama. Kemudian pada 2020 dianggarkan Rp42 miliar namun disunat jadi Rp36 miliar karena pandemi.***




SANCAnews – Nama gedung Grha Megawati di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ramai disebut di media sosial belakangan ini. Nama gedung itu disinggung saat netizen ramai membahas pembangunan museum SBY. Seperti apa faktanya?

 

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perwaskim) Klaten, Pramana Agus Wijanarka, tidak membantah Pemkab sedang membangun gedung pertemuan tetapi belum resmi dinamakan Grha Megawati.

 

"Secara resmi belum (diberi nama Grha Megawati), kan belum ada peresmian," ungkap Pramana pada detikcom lewat pesan singkat, Kamis (18/2/2021).

 

Pramana membenarkan nama Ghra Megawati itu baru wacana. Pembangunan gedung pertemuan Pemkab itu masih belum selesai hingga tahun ini.

 

"Iya (baru wacana dinamakan Ghra Megawati)," lanjut dia.

 

"Ini kan belum selesai tahun ini. Masih 2021 sampai 2022 baru selesai karena ada beberapa yang belum dibangun, seperti masjid dan ruang cateringnya," jelas Pramana.

 

Soal biaya APBD Klaten yang digunakan, terang Pramana, sejak dimulai pembangunannya dua tahun lalu sudah menyerap sekitar Rp 50 miliar. Tapi sampai selesai semuanya, kata dia, bisa habis anggaran hingga sekitar Rp 90 miliar.

 

"Tahun ini anggaran sudah sekitar Rp 50 miliar tapi kalau sampai selesai sekitar Rp 90 miliar. Nanti sampai 2022," pungkas Pramana.

 

Plh Bupati Klaten, Jaka Sawaldi, menambahkan gedung pertemuan yang dibangun Pemkab Klaten itu belum diberi nama. Termasuk soal nama Grha Megawati yang ramai dibicarakan.

 

"Belum. Namanya apa belum ada sampai sekarang, itu kan belum selesai dan saya belum tahu," ungkap Jaka Sawaldi pada detikcom melalui pesan singkat

 

detikcom sempat mendatangi gedung pertemuan di jalan lingkar selatan, Desa Buntalan, Kecamatan Klaten Tengah, itu. Kondisi lokasi sepi aktivitas. Gedung di lahan seluas sekitar 5.000 meter persegi itu dipagar seng rapat. (*)




SANCAnews – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dapat diijerat hukuman mati. Namun KPK perlu melihat lagi terkait urgensi pemberian hukuman tersebut bagi Juliari.

 

"Tentu akan kami lihat sejauh mana urgensinya pemberian hukuman mati. (Hukuman mati) Itu dimungkinkan, tapi tidak semua perkara korupsi (harus dijatuhi hukuman mati)," kata Marwata saat ditemui wartawan di Gedhong Pracimasono, Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta, Kamis (18/2/2021).

 

Marwata menilai hukuman mati memang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi khususnya di pasal 2. Di mana pasal tersebut menyebutkan jika hukuman mati bisa dijatuhkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan bencana maupun dalam keadaan perang.

 

"Korupsi yang betul-betul menyangkut korupsi dana penanggulangan bencana, dana menyangkut pengadaan senjata saat berperang. Itu yang dimungkinkan (dijatuhi hukuman mati kepada koruptor)," ucapnya.

 

Diberitakan sebelumnya Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menilai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara layak dituntut dengan hukuman mati. Sebab, kedua mantan Menteri itu melakukan korupsi di saat pandemi COVID-19.

 

Hal itu disampaikan Omar dalam diskusi online yang digelar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan tema 'Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi', Selasa (16/2).

 

Awalnya, Omar bicara soal modifikasi hukum acara pidana di masa pandemi COVID-19. Ia mengatakan tindak pidana yang dilakukan di saat pandemi COVID-19 harus dimaknai sebagai hal memberatkan.

 

"Dalam konteks penegakan hukum pidana di situ ada modifikasi hukum acara pidana. Yang pertama adalah secara materiil kasus-kasus pidana yang ada tidak menimbulkan persoalan yang berarti dalam penegakan hukum artinya secara materiil tidak menimbulkan persoalan tidak ada kendala di situ, justru sebaliknya kejahatan yang dilakukan di era pandemi seperti ini harus dimaknai sebagai hal yang memberatkan," kata Omar.

 

Kemudian, Omar menyinggung soal tindak pidana korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. Ia menjelaskan, Edhy dan Juliari melakukan korupsi di saat keadaan darurat yakni pandemi COVID-19. Untuk itu, ia menilai kedua mantan menteri itu layak dituntut ancaman hukuman mati.

 

"Kedua kasus korupsi yang terjadi pada era pandemi, seperti misalnya kita ketahui bersama misalnya bahwa dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir tahun 2020. Yang satu pada bulan akhir November, yang satu pada 4 Desember. Bagi saya kedua mantan menteri ini melakukan perbuatan korupsi yang kemudian kena OTT KPK, bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ujar Omar. (dtk)



SANCAnews – Pentolan KAMI sekaligus terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks, Jumhur Hidayat mengaku terganggu secara mental. Pernyataan itu dia sampaikan dalam menjawab pertanyaan majelis hakim dalam sidang lanjutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (18/2/2021) siang.

 

Semula, Jumhur yang hadir secara virtual dari Rutan Bareskrim Polri menyampaikan keberatannya sebagai terdakwa. Selain kesulitan untuk berkonsultasi dengan tim kuasa hukum, Jumhur mengaku tidak diperbolehkan menggunakan alat komukasi selama berada di dalam rutan.

 

"Ada tekanan tidak untuk sidang?" tanya hakim ketua Agus Widodo.

 

"Ya tertekan juga yang mulia," jawab Jumhur.

 

"Bukan secara fisik, tapi secara mental," Agus kembali bertanya.

 

"Ya secara mental saya, saya seperti tidak bisa dan tidak pernah ketemu siapa-siapa tahu-tahu saya sidang saja," kata Jumhur.

 

Jangankan untuk melakukan konsultasi, bertemu dengan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum saja Jumhur tidak bisa. Bahkan, Jumhur berkelakar hanya bisa berkonsultasi dengan seorang malaikat.

 

"Saya ketemu pengacara saja tidak bisa. Gimana mau konsultasi. Telepon tidak boleh. Jadi mau konsultasi sama siapa? Malaikat?" ujar Jumhur.

 

Pentolan KAMI itu pun menganalogikan jika dirinya seperti berada di hutan belantara yang luas -- tanpa penerangan. Tiba-tiba, dia harus menjalani proses persidangan tanpa tahu harus melakukan tindakan apa.

 

Selama satu pekan yang lalu majelis hakim telah memberikan waktu bagi Jumhur untuk berkonsultasi. Tapi, perjumpaan tubuh antara dirinya dengan pihak kuasa hukum bagai 'si kerdil merindukan rembulan'.

 

"Saya ini kayak di hutan belantara, tahu-tahu ikut sidang saja. Bahkan saya hadir ini saja tidak tahu mau ngapain? Saya ini gelap gulita, dan yang mulia kasih waktu saya seminggu konsultasi tapi tidak bisa komunikasi dengan kuasa hukum," jelas dia.

 

Majelis hakim pun kembali menjawab dengan pertanyaan yang sama: tidak boleh bertemu karena pandemi Covid-19. Dengan enteng, majelis hakim menyarankan agar Jumhur meminjam ponsel milik penyidik untuk dapat melakukan komunikasi.

 

"Karena memang mungkin prosesnya tidak boleh datang atau ke tempat pertemuan, tapi coba minta ajukan untuk melalui telepon. Jadi hapenya pakai punya penyidik, gimana begitu?" jawab hakim.

 

Lantas, pernyataan hakim itu langsung disanggah oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi. Paslanya, konsultasi antara kuasa hukum dengan klien sifatnya sangat rahasia.

 

"Untuk konsultasi kan sifatnya rahasia, jagan sampai hak asasi itu dilanggar," tegas salah satu kuasa hukum Jumhur.

 

Protes Sidang Online 

Tim pengacara Jumhur Hidayat memprotes majelis hakim karena kliennya kerap dihadirkan ke sidang secara virtual dari  Rutan Bareskrim Polri.

 

Arif Maulana selaku kuasa hukum Jumhur kembali keberatan dengan persidangan secara online.

 

"Kami kuasa sah persidangan dilaksanakan secara online untuk kepentingan dan memastikan klien kami itu terpenuhi hak-haknya dalam proses persidangan yang imparsial, jujur dan adil," ucap Arif.

 

Arif mengatakan, pihaknya telah melayangkan permohonan pada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 21 Januari 2021 lalu. Namun, hingga saat ini belum ada jawaban dari majelis hakim terkait permohonan tersebut.

 

Permintaan pertama berkaitan dengan dihadirkannya Jumhur di ruang sidang. Nyatanya, sejak sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, wajah Jumhur hanya terpampang pada layar yang ada di ruangan.

 

"Persidangan dilaksanakan secara live, namun sampai hari ini belum ada putusan. Mestinya sesuai Perma dilakukan dengan penetapan," sambung Arif.

 

Sulit Komunikasi 

Permohonan kedua berkaitan dengan penangguhan penahanan bagi Jumhur. Alasan dibalik permohonan penangguhan itu adalah proses komunikasi yang sulit antara tim kuasa hukum dan Jumhur.

 

"Kami kesulitan berkomunikasi dengan beliau (Jumhur), padahal itu hak asasi. Bagaimana kami bisa berkomunikasi dengan lancar dalam proses persidangan?" tanya Arif.

 

Arif meminta agar majelis hakim mempertegas mekanisme persidangan dengan merujuk pada Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Bagi dia, perkara yang menjerat Jumhur adalah masalah yang substansial yang berpengaruh pada tataran demokrasi.

 

"Ini perkara yang sangat substansial, berpengaruh terhadap demokrasi kita agar suara-suara aktivis yang mengkritik kebijakan tidak dikriminalisasi," jelasnya.

 

Menjawab hal tersebut, majelis hakim masih ngotot dengan jawaban pada sidang yang sudah-sudah: pandemi Covid-19. Majelis hakim yang terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim anggota ogah ambil risiko terkait penyebaran virus Covid-19.

 

"Kalau Covid-19, siapa tanggung jawab? Kalau Anda bisa fasilitasi dan mereka (pihak Rutan) percaya, ya, silakan," kata hakim.

 

Setelah melalui proses debat kusir yang cukup alot, majelis hakim memberikan opsi. Mereka memberi waktu selama satu minggu agar tim kuasa hukum berkonsultasi dengan JPU dan petugas Rutan Bareskrim terkait dihadirkannya Jumhur di ruang persidangan.

 

Sejurus dengan hal tersebut, tiga saksi yang telah dihadirkan oleh JPU urung diperiksa. Majelis hakim menunda jalannya persidangan hingga pekan depan, Kamis (25/2/2021). (*)




SANCAnews – Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menyarankan Polri agar memeriksa Habib Rizieq Shihab terkait video yang berisi pernyataannya mendukung ISIS. Itu berkaitan dengan proses hukumnya.

 

"Proses justitia memang sebaiknya ditindaklanjuti untuk kepastian hukum siapapun yang terlibat pada kasus ini," kata Indriyanto, Kamis 18 Februari 2021.

 

Indriyanto menjelaskan, saat pembubaran FPI beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD memutar video Rizieq saat orasi menyatakan dukung kepada ISIS. Video berdurasi lebih dari dua menit tersebut diduga diambil pada 20 Februari 2017.

 

Rizieq menyerukan, “Apa yang baik dari ISIS kita akui baik, cita-cita mulianya menegakan dan menerapkan syariat Islam hal yang baik. Cita-citanya untuk menerapkan khilafah Islamiyah hal yang baik. Cita-citanya untuk melawan kezaliman Amerika Serikat dan sekutnya, cita-cita yang baik.”

 

“Saya tanya, hal-hal yang baik dukung tidak? Dukung tidak? Takbir!," kata Rizieq di depan para pendukungnya.

 

Meski kejadiannya sudah cukup lama, menurut Indriyanto, pernyataan Rizieq itu masih bisa diproses hukum. "Sepanjang tidak daluarsa, tetap bisa dilakukan proses justitia terhadap pernyataan dukungan terhadap ISIS yang melanggar hukum tersebut," ujar dia.

 

Indriyanto mengatakan, mungkin penegak hukum bukan tidak memproses kasus ini, tapi masih mengumpulkan alat bukti. "Jadi pengungkapan kasus ini tidak sekadar ucapan RS, tapi diperlukan penguatan alat bukti," kata Indriyanto.

 

Di samping itu, dia menilai pernyataan dukungan Rizieq ke ISIS memiliki dampak besar bagi para pengikutnya. "Pernyataan ini memang memiliki dampak besar bagi keterlibatan FPI  atas gerakan terorisme yang terbukti pengungkapannya," ujar Indriyanto.

 

Rizieq Shihab melalui kuasa hukumnya Aziz Yanuar membantah mendukung ISIS dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Menurut Aziz, Rizieq sudah bersikap tidak mendukung ISIS dan JAD sejak 2014.

 

Mantan pengurus Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyampaikan bantahan perihal pengakuan yang berujung tuduhan dari Ahmad Aulia, salah seorang terduga terorisme JAD dan disebut simpatisan FPI itu. Video Ahmad Aulia belum lama ini viral soal baiat kepada ISIS.

 

Dalam penyampaian secara tertulis yang ditandatangani mantan Ketua FPI Sulsel, Habib Muchsin Al Habsyi dan sekretaris Agus Salim Syam menegaskan bahwa Ahmad Aulia tidak pernah terdaftar sebagai anggota FPI Makassar baik di tingkat kabupaten/kota atau provinsi.

 

“Bahwa yang bersangkutan pernah ikut kegiatan yang dilakukan Front Pembela Islam Makassar maka tidak secara otomatis AA (Ahmad Aulia) menjadi anggota FPI,” kata Habib Muchsin. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.