SANCAnews – Pentolan KAMI sekaligus terdakwa kasus penyebaran
berita bohong atau hoaks, Jumhur Hidayat mengaku terganggu secara mental.
Pernyataan itu dia sampaikan dalam menjawab pertanyaan majelis hakim dalam
sidang lanjutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis
(18/2/2021) siang.
Semula, Jumhur yang hadir secara virtual dari Rutan Bareskrim
Polri menyampaikan keberatannya sebagai terdakwa. Selain kesulitan untuk
berkonsultasi dengan tim kuasa hukum, Jumhur mengaku tidak diperbolehkan
menggunakan alat komukasi selama berada di dalam rutan.
"Ada tekanan tidak untuk sidang?" tanya hakim ketua
Agus Widodo.
"Ya tertekan juga yang mulia," jawab Jumhur.
"Bukan secara fisik, tapi secara mental," Agus
kembali bertanya.
"Ya secara mental saya, saya seperti tidak bisa dan
tidak pernah ketemu siapa-siapa tahu-tahu saya sidang saja," kata Jumhur.
Jangankan untuk melakukan konsultasi, bertemu dengan Tim
Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum saja Jumhur tidak bisa.
Bahkan, Jumhur berkelakar hanya bisa berkonsultasi dengan seorang malaikat.
"Saya ketemu pengacara saja tidak bisa. Gimana mau
konsultasi. Telepon tidak boleh. Jadi mau konsultasi sama siapa?
Malaikat?" ujar Jumhur.
Pentolan KAMI itu pun menganalogikan jika dirinya seperti
berada di hutan belantara yang luas -- tanpa penerangan. Tiba-tiba, dia harus
menjalani proses persidangan tanpa tahu harus melakukan tindakan apa.
Selama satu pekan yang lalu majelis hakim telah memberikan
waktu bagi Jumhur untuk berkonsultasi. Tapi, perjumpaan tubuh antara dirinya
dengan pihak kuasa hukum bagai 'si kerdil merindukan rembulan'.
"Saya ini kayak di hutan belantara, tahu-tahu ikut
sidang saja. Bahkan saya hadir ini saja tidak tahu mau ngapain? Saya ini gelap
gulita, dan yang mulia kasih waktu saya seminggu konsultasi tapi tidak bisa komunikasi
dengan kuasa hukum," jelas dia.
Majelis hakim pun kembali menjawab dengan pertanyaan yang
sama: tidak boleh bertemu karena pandemi Covid-19. Dengan enteng, majelis hakim
menyarankan agar Jumhur meminjam ponsel milik penyidik untuk dapat melakukan
komunikasi.
"Karena memang mungkin prosesnya tidak boleh datang atau
ke tempat pertemuan, tapi coba minta ajukan untuk melalui telepon. Jadi hapenya
pakai punya penyidik, gimana begitu?" jawab hakim.
Lantas, pernyataan hakim itu langsung disanggah oleh Tim
Advokasi untuk Demokrasi. Paslanya, konsultasi antara kuasa hukum dengan klien
sifatnya sangat rahasia.
"Untuk konsultasi kan sifatnya rahasia, jagan sampai hak
asasi itu dilanggar," tegas salah satu kuasa hukum Jumhur.
Protes Sidang Online
Tim pengacara Jumhur Hidayat memprotes majelis hakim karena
kliennya kerap dihadirkan ke sidang secara virtual dari Rutan Bareskrim Polri.
Arif Maulana selaku kuasa hukum Jumhur kembali keberatan
dengan persidangan secara online.
"Kami kuasa sah persidangan dilaksanakan secara online
untuk kepentingan dan memastikan klien kami itu terpenuhi hak-haknya dalam
proses persidangan yang imparsial, jujur dan adil," ucap Arif.
Arif mengatakan, pihaknya telah melayangkan permohonan pada
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 21 Januari 2021 lalu. Namun,
hingga saat ini belum ada jawaban dari majelis hakim terkait permohonan
tersebut.
Permintaan pertama berkaitan dengan dihadirkannya Jumhur di
ruang sidang. Nyatanya, sejak sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan,
wajah Jumhur hanya terpampang pada layar yang ada di ruangan.
"Persidangan dilaksanakan secara live, namun sampai hari
ini belum ada putusan. Mestinya sesuai Perma dilakukan dengan penetapan,"
sambung Arif.
Sulit Komunikasi
Permohonan kedua berkaitan dengan penangguhan penahanan bagi
Jumhur. Alasan dibalik permohonan penangguhan itu adalah proses komunikasi yang
sulit antara tim kuasa hukum dan Jumhur.
"Kami kesulitan berkomunikasi dengan beliau (Jumhur),
padahal itu hak asasi. Bagaimana kami bisa berkomunikasi dengan lancar dalam
proses persidangan?" tanya Arif.
Arif meminta agar majelis hakim mempertegas mekanisme
persidangan dengan merujuk pada Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi
dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Bagi dia,
perkara yang menjerat Jumhur adalah masalah yang substansial yang berpengaruh
pada tataran demokrasi.
"Ini perkara yang sangat substansial, berpengaruh
terhadap demokrasi kita agar suara-suara aktivis yang mengkritik kebijakan tidak
dikriminalisasi," jelasnya.
Menjawab hal tersebut, majelis hakim masih ngotot dengan
jawaban pada sidang yang sudah-sudah: pandemi Covid-19. Majelis hakim yang
terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim anggota ogah ambil risiko terkait
penyebaran virus Covid-19.
"Kalau Covid-19, siapa tanggung jawab? Kalau Anda bisa
fasilitasi dan mereka (pihak Rutan) percaya, ya, silakan," kata hakim.
Setelah melalui proses debat kusir yang cukup alot, majelis
hakim memberikan opsi. Mereka memberi waktu selama satu minggu agar tim kuasa
hukum berkonsultasi dengan JPU dan petugas Rutan Bareskrim terkait
dihadirkannya Jumhur di ruang persidangan.
Sejurus dengan hal tersebut, tiga saksi yang telah dihadirkan
oleh JPU urung diperiksa. Majelis hakim menunda jalannya persidangan hingga
pekan depan, Kamis (25/2/2021). (*)