Latest Post



SANCAnews – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatra Barat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan unsur tokoh masyarakat, ormas, tokoh agama dan tokoh adat pada Kamis 18 Februari 2021.

 

RDP itu dilakukan untuk membahas khusus perihal Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait dengan seragam sekolah yang beberapa waktu terakhir mengundang beragam reaksi publik. Hal ini juga masih menjadi polemik di Sumbar.

 

"Kita baru saja rapat dengar pendapat dengan berbagai tokoh dan ormas. Pada umumnya mereka sepakat untuk mengajukan revisi SKB 3 menteri ini," kata Wakil Ketua DPRD Sumbar Irsyad Safar di kantor DPRD Sumbar, Padang pada Kamis 18 Februari 2021.

 

Menurut Irsyad, melalui RDP itu sejatinya pihaknya ingin mendengarkan pendapat, aspirasi dan masukan dari segala unsur masyarakat sebelum kemudian menentukan sikap terhadap SKB ini.

 

Adapun pihak yang hadir dalam RPD di DPRD Sumbar tadi di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Bundo Kanduang, Aisiyah, Tarbiah Islamiah, Perti, Muhammadiyah, NU dan sejumlah dewan pendidikan dan tokoh Sumbar.

 

Irsyad Safar menilai bahwa SKB 3 menteri yang diterbitkan pasc kasus jilbab non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang tersebut tidak sesuai dengan ruh dan nilai dari perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam UUD 1945 Pada pasal 31 ayat 3 dan ayat 5 kata dia menjadi rujukan utama pendidikan. Bahwa dunia pendidikan mendukung peningkatan keimanan di dunia dan menjunjung nilai-nilai agama.

 

“Kita juga menyayangkan pemerintah pusat sampai menjatuhkan sanksi bagi pemda yang tegas menolak penerapan SKB 3 Menteri ini. Usai RDP ini, DPRD Sumbar akan melakukan rapat dengan mitra Komisi V DPRD Sumbar yaitu Dinas Pendidikan untuk menentukan sikap sebelum mengambil sikap. Nanti akan kita rapatkan lagi dengan Dinas Pendidikan," ujar Irsyad Safar. (*)




SANCAnews – Sebanyak 300 pengacara disiapkan untuk menggugat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang seragam sekolah yang terbit setelah kasus jilbab nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat.

 

Mantan wali kota Padang Fauzi Bahar, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), tokoh adat, tokoh agama dan organisasi masyarakat di Sumatera Barat yang mengumpulkan para pengacara itu untuk membela upaya revisi SKB Tiga menteri.

 

"Ada 300 orang lawyer (pengacara) yang kita siapkan. Mereka sudah sepakat datang ke Mahkamah Agung untuk menggugat SKB ini," kata Fauzi Bahar di Padang, Kamis, 18 Februari 2021.

 

SKB Tiga Menteri itu, katanya, mengganggu sendi budaya dan kearifan lokal di Sumatera Barat. Sebab SKB itu tidak dapat diterapkan di semua daerah di Indonesia. Padahal ada banyak daerah yang punya kearifan lokal. Contohnya, Sumatera Barat denggan budaya Minangkabau yang sudah terbiasa dengan pakaian menutup aurat.

 

Selain menyiapkan pengacara, bersama dengan tokoh lain, mereka juga berencana menyurati Presiden, pimpinan DPR RI, dan tiga menteri yang menandatangani SKB itu. Mereka ingin merevisi SKB agar lebih sempurna dan tidak menganggu kearifan lokal.

 

"Sendi-sendi budaya Indonesia kan dijaga Undang-Undang. SKB yang sekarang membuat rusuh dan mengganggu tatanan kearifan lokal,"  ujar Fauzi.

 

DPRD Sumatera Barat, pada Kamis, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan unsur tokoh masyarakat, ormas, tokoh agama dan tokoh adat. RDP dilakukan untuk membahas perihal SKB Tiga Menteri tentang seragam sekolah yang dalam beberapa waktu terakhir mengundang beragam reaksi.

 

Yang hadir dalam rapat di DPRD itu, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), LKAAM, Bundo Kanduang, Aisiyah, Tarbiah Islamiah, Perti, Muhammadiyah, NU, Dewan Pendidikan, dan sejumlah tokoh lainnya. DPRD menjadwalkan rapat dengan Dinas Pendidikan untuk menentukan sikap. (*)




SANCAnews – Manajer Program Lokataru Foundation Mirza Fahmi menilai masih ada instrumen lain yang dimiliki pemerintah untuk mengkriminalisasi warga selain dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Hal itu disampaikan merespons wacana pemerintah yang ingin merevisi pasal-pasal karet dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang UU ITE.

 

"Merevisi pasal karet belaka tak akan banyak mengurangi kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga. Ini bukan hanya soal dokumen hukum semata, tetapi kemampuan pemerintah, termasuk warganya yang masih dipertanyakan saat berjumpa dengan kritik di ruang publik," kata Mirza dalam konferensi persnya, Rabu (17/2).

 

Mirza menemukan bahwa negara masih memiliki banyak perangkat hukum selain UU ITE yang dapat digunakan untuk membungkam masyarakat. Aturan itu di antaranya seperti pasal penghasutan, keonaran, hingga pelanggaran aturan kerumunan.

 

Ia mencontohkan bahwa pasal penghinaan terhadap mata uang rupiah bisa dipakai untuk membungkam masyarakat sipil. Hal itu terlihat dalam kasus Manre, seorang nelayan Kodingareng, Makassar yang merobek 'amplop' ganti rugi dari PT. Boskalis.

 

Tambah lagi, kata Mirza, penggunaan Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP) yang kerap dipakai korporasi untuk memukul mundur perlawanan masyarakat atau penghilangan paksa dan pembunuhan ekstra yudisial di Papua.

 

"Jangan lupakan juga 'senjata andalan' lain pemerintah, seperti kriminalisasi hoax dan patroli siber yang masih berjalan," kata Mirza

 

Tak berhenti sampai di situ, Mirza menilai kualitas masyarakat sipil di Indonesia turut memiliki kontribusi yang tak sedikit terhadap kemunduran demokrasi. Ia menilai watak yang diam-diam menolak demokrasi kini sudah mengendap dalam masyarakat sipil sendiri.

 

Ia membeberkan data bahwa sejak 2018 dua kelompok terbesar pelapor UU ITE adalah pejabat publik dan masyarakat sipil. Sebanyak 35,9 persen pelapor adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya. Sementara itu, pelapor dari masyarakat sipil sendiri tercatat mencapai 32,2 persen.

 

Bahkan, data yang dihimpun SAFENet tahun 2019 menunjukkan ada 3.100 kasus UU ITE yang dilaporkan.

 

"Ini menunjukkan perbedaan tipis antara jumlah pelapor warga dan pemerintah membuktikan bahwa masyarakat sipil sendiri gagal memahami dan mempraktekkan kebebasan berekspresi," kata dia.

 

Berkaca pada data tersebut, Mirza menilai semangat untuk memenjarakan pihak lawan ikut tumbuh subur di tengah masyarakat sipil. Ia menilai masyarakat sipil masih alergi terhadap kritik dan perbedaan pendapat.

 

"Di momen politik besar seperti Pemilu atau Pilkada, kecenderungan ini melonjak berkali lipat. Sepak terjang buzzer sesungguhnya tak lebih dari efek samping dari kondisi mendasar ini. Mental gerombolan warga senantiasa memandang lawan kubunya sebagai pihak yang mesti dibungkam dengan segala cara," kata Mirza.

 

Melihat hal itu, Mirza pesimistis bila demokrasi di Indonesia akan sehat tanpa UU ITE. Bahkan, ia memprediksi kualitas demokrasi Indonesia akan tetap mandek dan lebih parahnya terus mundur. (*)




SANCAnews – Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo mengultimatum, bahwa Polri tidak memberikan tempat kepada personel Kepolisian yang terlibat narkoba. Siapapun anggota yang terlibat dipastikan bakal dikenakan sanksi pidana dan dipecat.

 

"Siapa saja yang terlibat sudah pasti dipidana dan dipecat, putusan tidak dengan hormat," kata Ferdy kepada wartawan di Jakarta, Kamis (18/2).

 

Ferdy mengingatkan, siapapun anggota Polri jangan pernah mendekati narkoba. Karena, Ferdy menekankan, anggota Polri menjadi ujung tombak pemberantasan narkoba di masyarakat.

 

"Jangan pernah sejengkalpun dekat dengan lingkaran setan. Bagi seluruh anggota Polri hentikan menggunakan narkoba, bila ditemukan saya pastikan diproses pidana dan dipecat," tegas Sambo. 

 

Usai ditangkap lantaran kedapatan pesta sabu bersama 11 anggotanya, Kapolsek Astana Anyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi saat ini telah dicopot dari jabatan. Polwan yang dikenal lama bertugas di satuan narkoba itu kini tengah menjalani pemeriksaan di Propam Polda Jawa Barat. (rmol)




SANCAnews – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim untuk membuat Virtual Police.

 

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan, Virtual Police ini nantinya mengedepankan edukasi penggunaan di ruang siber atau dengan kata lain, lebih mengedepankan himbauan sebelum melakukan penindakan bagi masyarakat.

 

"Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat melalui media sosial mengenai Undang-Undang ITE," kata Ahmad kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (18/2).

 

Virtual Police ini, bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan menciptakan iklim media sosial bersih dari ujaran-ujaran kebencian serta tindak pidana lainya. Dalam hal teknis terkait Virtual Police ini, kata Ahmad, Polri berkoordinasi dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk kemudian membentuk satuan khusus di dunia digital.

 

"Nantinya virtual police akan melakukan tindakan menegur dan menjelaskan potensi pelanggaran pasal-pasal sekian juga ancaman-ancaman apa yang terkait dengan Undang-Undang ITE. Lalu memberikan apa yang sebaiknya dilakukan. jadi sifatnya lebih kepada edukasi atau imbauan," urai Ahmad.

 

Wacana Virtual Police ini merupakan langkah kongkrit Polri dalam menindaklanjuti instruksi dan arahan Presiden Joko Widodo terkait penggunaan aturan dalam UU ITE sebagai dasar pelaporan setiap tindak pidana yang berkaitan dengan media sosial. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.