Novel Baswedan Dipolisikan, Lalu Apa?
Oleh:Abdul Rachman Thaha
Presiden Jokowi mendorong publik untuk tidak ragu
menyampaikan kritik kepada pemerintah. Setali tiga uang, sebagaimana ia
paparkan saat fit and proper test di DPR, Kapolri menjanjikan potret penegakan
hukum yang lebih berkeadilan dengan bobot kemanusiaan lebih besar.
Poin ini Jenderal Listyo Sigit mengirim sinyal tentang
pendekatan kerja yang nyata berbeda dibandingkan dengan 'paling tidak' dua
pendahulunya.
Bertitik tolak dari situ, Polri perlu ekstra cermat dalam
menyikapi adanya sekelompok masyarakat yang melaporkan Novel Baswedan belum
lama ini. Betapa pun pelaporan ini terkesan membela Polri, namun penyikapan
Polri akan menjadi dasar bagi masyarakat untuk menilai karakter penegakan hukum
macam apa yang diperkirakan menonjol nantinya di era kepemimpinan Kapolri
Listyo Sigit.
Penegakan hukum berkarakter liberal lebih mengedepankan
empati dan rehabilitasi. Kontras, penegakan hukum konservatif lebih
menitikberatkan pada berlangsungnya mekanisme peradilan pidana. Bagi institusi
kepolisian yang konservatif, marwah mereka selaku institusi penegakan hukum
seolah hanya bisa terjaga jika suatu kasus berjalan dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, persidangan, ke pemenjaraan.
Dengan karakternya yang lebih berempati, institusi kepolisian
yang liberal berharap masyarakat dapat memahami fungsi dan peran mereka secara
lebih baik. Untuk merealisasikannya, polisi akan terdorong untuk membangun
relasi lebih baik dan lebih saling menghargai dengan khalayak luas.
Mengintensifkan interaksi dua arah itu pula yang menjadi cara untuk menanggapi
kritik publik. Termasuk kritik yang tak berdasar sekali pun.
Sebaliknya, kepolisian konservatif tidak memusingkan seberapa
jauh masyarakat memahami itu semua. Bagi personel-personel konservatif,
keberadaan mereka adalah untuk bekerja dan mereka abai terhadap sikap publik.
Organisasi kepolisian yang berkarakter liberal memandang
bahwa orang memang bisa melakukan perbuatan pidana. Tapi itu bukan karena si
pelaku dikodratkan sebagai orang jahat. Pada sisi lain, kepolisian konservatif
memilih penanganan represif karena diyakini itulah satu-satunya cara untuk
melumpuhkan 'arwah' jahat si pelaku.
Akhirnya, anggaplah Polri nantinya menampilkan penanganan
konservatif lewat langkah tegas atas diri terlapor. Pertanyaannya, seberapa
jauh hal tersebut akan berkontribusi bagi legitimasi Polri? Apakah penanganan
represif akan membuat khalayak lebih taat hukum? Juga, apakah cara konservatif
akan membuat publik lebih berinisiatif untuk melaporkan tanda-tanda kejahatan
ke kepolisian?
Saya optimis, mengefektifkan unit siber untuk memburu
predator seksual, pelaku penipuan, prostitusi daring, transaksi ilegal, dan
kejahatan-kejahatan lainnya yang nyata-nyata merugikan masyarakat akan
berkontribusi lebih signifikan bagi teredamnya pandangan-pandangan nyinyir
terhadap institusi Polri.
(Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah)