Latest Post

 

SANCAnews – Aparat gabungan TNI dan Polri kembali terlibat baku tembak dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kampung Ilambet, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua. Akibatnya, seorang prajurit terluka terkena rekoset peluru dalam baku tembak ini.

 

"Pada hari Sabtu tanggal 13 Februari 2021 pukul 14.00 WIT, bertempat di Camp PT Unggul Jalan pinggir Kampung Ilambet, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kembali meneror personel gabungan yang hendak mengecek lokasi korban penganiayaan," ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal melalui keterangan tertulis, Minggu (14/2/2021).

 

Ahmad mengungkapkan baku tembak itu terjadi usai rombongan personel TNI-Polri melakukan pengecekan di Kampung Mudidok yang telah dibakar oleh KKB. Saat hendak kembali ke kota, tiba-tiba KKB menembaki rombongan. TNI-Polri pun melakukan perlawanan.

 

"Tidak terdapat korban jiwa dari personel gabungan. Saat ini personel gabungan terus meningkatkan patroli di seputaran Kota Ilaga, Kabupaten Puncak," katanya.

 

Sebelumnya, baku tembak itu juga disampaikan Dandrem 173/PVB Brigjen TNI Iwan Setiawan. Iwan mengatakan ada satu prajurit terluka akibat baku tembak tersebut.

 

"Memang benar dalam kontak senjata yang terjadi pada hari Sabtu (13/2) sore, Prada Maulana terkena rekoset peluru di bagian hidungnya," kata Dandrem 173/PVB Brigjen TNI Iwan Setiawan kepada Antara di Jayapura, Minggu (14/2/2021).

 

Berikut ini kronologi lengkap baku tembak yang terjadi pada Sabtu (13/2) siang di Ilaga, Papua:

 

11.54 WIT 

Pada Sabtu 13 Februari 2021, pukul 11.54 WIT, telah berlangsung rapat antara personel TNI-Polri dan Forkopimda dalam rangka membahas situasi keamanan di Kabupaten Puncak.

 

13.00 WIT 

Pukul 13.00 WIT, usai melaksanakan rapat, rombongan personel TNI-Polri dan Forkopimda mengecek lokasi korban penganiayaan dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju PT Unggul yang membangun jembatan menuju Kampung Mudidok. Kampung Mudidok sendiri telah dibakar oleh kelompok KKB yang diperkirakan merupakan kelompok Lekagak Telenggeng.

 

14.00 WIT 

Pukul 14.00 WIT, usai mengecek lokasi korban penganiayaan, rombongan kembali ke kota. Namun, dalam perjalanan, anggota mendapatkan tembakan dari arah Jalan Mudidok seberang PT Unggul dan Dijuka. Selanjutnya personel gabungan melakukan tembakan balasan ke arah asal suara. (dtk)


 

SANCAnews – Anggota GAR ITB Nelson Napitupulu mengatakan Jubir Presiden Jokowi saat ini, Fadjroel Rachman, masih aktif di GAR ITB hingga saat ini. Fadjroel ikut di diskusi awal pembentukan.

 

Anggota Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) Nelson Napitupulu bercerita organisasi ini awalnya terbentuk dari obrolan alumni-alumni ITB dan beberapa kampus lain.

 

Nelson menyebut mereka yang terlibat dari awal banyak yang bukan merupakan orang terkenal.

 

“Awalnya sebenarnya ini bukan eksklusif ITB. Jadi memang ini awalnya adanya sekumpulan orang-orang termasuk saya, concern soal radikalisme,” kata Nelson Napitupulu, Minggu (14/2).

 

“Kemudian kita berkumpul dengan beberapa perguruan tinggi dari kampus lain, enggak terkenal,” jelasnya.

 

Nelson mengatakan ada sedikit tokoh populer yang sempat ikut di diskusi awal pembentukan GAR ITB.

 

Salah satunya Jubir Jokowi saat ini, Fadjroel Rachman.

 

“Ada Fadjroel Rachman yang sekarang jadi jubir presiden, dia ikut di diskusi awal,” kata Nelson seperti dikutip kumparancom.

 

Nelson mengatakan, Fadjroel masih aktif di GAR-ITB hingga saat ini, “Fadjroel (dan juga saya) ada di NKRI dan GAR,” kata Nelson Napitupulu yang merupakan pria berdarah Batak ini.

 

Ia menjelaskan, GAR ITB dibentuk sekitar akhir 2019. Saat itu menjelang pemilihan rektor ITB.

 

Nelson mengatakan, salah satu pemantik munculnya gerakan ini adalah adanya persoalan radikalisme di ITB.

 

Sebelum bernama GAR ITB, gerakan ini dinamakan NKRI atau Nusa Kinarya Rumah Indonesia.

 

Sebab, saat itu, selain ITB, ada juga alumni dari UI, UIN, dan Universitas Pancasila.

 

Namun, dalam perkembangannya, masalah yang dibahas lebih spesifik soal ITB. Oleh sebab itu, NKRI berganti nama menjadi GAR ITB.

 

“Jadi dari situ karena ada persoalan lebih spesifik di ITB maka kita bikin GAR saja. Maka ditambahkan ITB-nya, jadi hanya alumni ITB, jadi Mba Cristine Hakim tidak ikut di situ, dan yang lain-lain, teman teman alumni UI dan yang lainnya,” ujar Nelson.

 

Nelson menjelaskan, ada sekitar 20 orang anggota GAR ITB yang aktif. Namun, mereka selalu berdiskusi dalam grup WhatsApp (WA) dengan anggota lebih dari 250 orang.

 

“Jadi 1 WhatsApp grup ada 250 orang maksimum. Jadi dibuat per angkatan karena lebih dari 250, jadi ada beberapa,” kata dia. (*)





SANCAnews – Keresahan para tokoh nasional kepada Presiden Joko Widodo sudah menjadi puncak gunung es atas penyampaian pendapat di muka umum yang sudah tidak kondusif lagi.


Hal itu disampaikan oleh pengamat politik, Muslim Arbi atas sikap dari para tokoh seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) hingga senior ekonom Rizal Ramli soal pernyataan kritik yang diminta Jokowi.

 

"Itu pertanda keresahan soal penyampaian pendapat di muka umum sudah tidak kondusif lagi," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (14/2).

 

Karena kata Muslim, biasanya suara-suara kritik disampaikan oleh para aktivis. Akan tetapi, para aktivis seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permata kini di tangkap dan dipenjara karena punya cara berbeda melihat persoalan bangsa dan kebangsaan hari ini.

 

"Tentunya ini persoalan serius dan ancaman kebebasan berpendapat yang di jamin konsitusi. Juga penangkapan dan penahanan para Ulama semisal HRS dan pemimpinan teras FPI yang tidak jelas salahnya. Ini pelanggaran dan pembungkaman pendapat," jelasnya.

 

Atas sikap pemerintah terhadap para pengkritik itu membuat rakyat ketakutan dan membuat keresahan seperti yang dialami oleh Kwik Kian Gie. Apalagi, adanya tuduhan radikal kepada tokoh Din Syamsuddin.

 

"Itu berlebihan. Bang Din hanya gunakan hak konstitusional dan hak asasinya sebagai akademis, aktifis perdamaian dan ulama," kata Muslim.

 

Muslim pun berpendapat, cara-cara mengelola pemerintahan dengan membuka kran kritik akan tetapi membiarkan dan acuh terhadap penangkapan tokoh-tokoh ulama dan aktivis merupakan suatu hal yang berbahaya bagi demokratisasi yang sedang tumbuh dan berkembang.

 

"Rezim Jokowi jangan lagi mengulang cara-cara kediktatoran berjubah demokrasi. Negara jangan di Arabian ke totaliatisme. Kebenaran mutlak milik penguasa. Sikap Jokowi ini dianggap tindakan hipokris. Minta dikritik tapi ditangkap? Aneh," terangnya.

 

Sambungnya, keresahan yang sudah disampaikan oleh para tokoh nasional merupakan keresahan yang sudah tidak terbendung dipendam selama ini.

 

"Bagi saya keresahan sejumlah tokoh nasional itu bahkan telah menjadi puncak gunung es. Dan itu ekspresi rakyat ditingkat grass roots," pungkasnya. []




SANCAnews – Pemerintahan Joko Widodo diminta untuk fokus dalam menangani masalah-masalah yang substansial di negeri ini. Salah satu masalah yang nyata adalah korupsi yang mendera dua mantan menteri Jokowi, yakni mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

 

Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun tidak ingin masalah yang kurang mendesak seperti radikalisme menjadi skala prioritas pemerintah mengalahkan urusan penting lainnya.

 

“Jangan sibuk ngurusin isu radikal dan proyek deradikalisasi. Apalagi di depan mata, para menterinya justru korupsi. Korupsi sebesar gajah di depan mata tidak kelihatan, tetapi semut radikal di seberang lautan kelihatan, padahal itu juga tidak benar,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (14/2).

 

Pernyataan Ubedilah Badrun ini berkaitan dengan adanya laporan dari Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB (GAR ITB) ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang menuding Din Syamsuddin sebagai tokoh radikal.

 

Bagi Ubedillah, tudingan terhadap mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu tidak masuk akal dan tidak empirik. Sebab di matanya, Din Syamsuddin adalah tokoh Islam yang sangat moderat.

 

"Bagaimana mungkin tokoh penting moderat Islam dan salah satu tokoh perdamaian dunia dituduh radikal. Itu sesuatu yang tidak masuk akal," ujarnya. []




SANCAnews – Epidemiolog Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan pemerintah sebaiknya tak memberikan sanksi kepada warga yang menolak diberikan vaksin Covid-19.

 

Dicky mengatakan program vaksinasi Covid-19 harus memiliki prinsip voluntary atau bersifat sukarela dari masing-masing individu dan tak bisa dipaksakan. Pemaksaan justru dinilai kontraproduktif.

 

Menurutnya, yang mestinya dibangun oleh pemerintah adalah komunikasi yang sifatnya persuasif tentang vaksin Covid-19, bukan pemaksaan.

 

"Sebetulnya prinsip vaksinasi itu harus voluntary, tidak mewajibkan dalam artian ada hukuman, karena itu cenderung kontraproduktif. Yang harus dibangun adalah trust dengan strategi komunikasi risiko yang tepat oleh pemerintah," kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Minggu (14/2).

 

Dicky juga menyinggung soal hukuman sanksi berupa penundaan bahkan penghentian bansos atau jaminan sosial karena menolak vaksin Covid-19. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak tepat dan justru berpotensi menimbulkan reaksi negatif.

 

"Apalagi ini berhubungan dengan program-program kepada warga miskin, saya kira tidak tepat jika strateginya seperti itu [penundaan bansos]. Kalau belum apa-apa sudah supresi, sudah mewajibkan, berpotensi reaksi selanjutnya, apalagi mahasiswa kita kritis," ucap Dicky.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

 

Dalam beleid tersebut, tertulis ancaman sanksi bagi warga sasaran vaksinasi Covid-19 yang melakukan penolakan. Sanksi tersebut diantaranya penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bansos, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, atau berupa denda.

 

Sasaran vaksinasi Covid-19 sendiri sebanyak 181 juta warga untuk memenuhi herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap Covid-19. Dibutuhkan sekitar 426 juta dosis vaksin Covid-19 untuk mencapai target tersebut. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.