Latest Post


SANCAnews Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni atau PA 212 Novel Bamukmin menganggap ucapan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta agar masyarakat lebih aktif mengkritik masyarakat sebagai jebakan tersembunyi.

 

Sebab menurut dia, banyak pihak yang menyampaikan kritik ke Jokowi namun malah berujung pidana.

 

"Jadi (pernyataan Jokowi) bukan basa-basi lagi, tapi diduga jebakan sadis untuk menjerat orang orang yang berlawanan arah politiknya," kata Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin saat dihubungi Tempo, Jumat, 12 Februari 2021.

 

Novel mencontohkan pemidanaan karena mengkritik sistem hukum terjadi pada penyidik senior KPK Novel Baswedan. Korban penyiraman air keras itu dilaporkan ke polisi karena mengkritik kinerja polisi yang tetap menahan Maaher At-Thuwailibi di tahanan dalam keadaan sakit, hingga akhirnya ia meninggal dalam penjara.

 

"Boleh dikatakan ini perangkat jahat dan (contoh) korbannya adalah Novel Baswedan," kata Novel Bamukmin.

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintah sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.

 

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan," kata Jokowi, Senin lalu.

 

Sehari setelah pernyataan Jokowi itu, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung mengatakan bahwa kritik, saran, dan masukan itu seperti jamu yang menguatkan pemerintah, "Kami memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar," ujar Pramono dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional.

 

Kritik terhadap pernyataan Jokowi ini juga datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Mereka menganggap pernyataan Jokowi itu kontradiktif dengan situasi saat ini yang menunjukkan kebebasan sipil terancam dengan maraknya kasus pelaporan hingga penangkapan aktivis.

 

"Ironis. Pernyataan tersebut justru menunjukkan presiden Jokowi tidak memperhatikan situasi dan kondisi penyusutan kebebasan sipil yang ditunjukkan dengan serangkaian pelaporan (sampai dengan penangkapan) kepada individu yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan diskursus negara," ujar Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar. (*)




SANCAnews – Gaya politik pendiri negara Republik Rakyat China, Mao Zedong mulai ramai diperbincangkan dan seiring dengan ajakan Presiden Joko Widodo untuk membuat masyarakat Indonesia lebih kritis dalam mengutarakan pendapatnya.

 

Tokoh nasional DR. Rizal Ramli mengulas kisah lama yang terjadi di China. Khsusus Gerakan Seratus Bunga di tahun 1956 hingga 1957.

 

Saat itu, China mendorong agar warganya mengungkapkan pendapatnya secara terbuka. Mao Zedong menyebutnya dengan kebijakan membiarkan seratus bunga mekar.

 

“Setelah kampanye, Mao menindak mereka yang mengkritik rezim. Itu adalah upaya untuk mengidentifikasi, lalu menganiaya,” urai Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu dalam akun Twitter pribadinya, Jumat (12/2).

 

Senada itu, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi juga mengurai bahwa saat Mao Zedong hendak menghabisi lawan politik, maka yang dilakukan adalah dengan kampanye hal yang seolah baik.

 

“Ketika Ketua Mao nafsu libas lawan-lawan politiknya, dia kampanye sok baik,” urainya menimpali Rizal Ramli.

 

Mao, sambung Adhie, seolah mempersilakan aktivis untuk kritis dengan kampanye 100 Bunga Berkembang. Setelah para aktivis mengkritik, Mao langsung mengangkut mereka ke tahanan.

 

“Setelah itu dia bilang: Wo sudah pancing ular keluar...! Lalu Polisi Merah bergerak. Lebih 1/2 juta kaum oposisi disiksa dalam bui. Ribuan lainnya lenyap,” demikian Adhie Massardi. (gelora)




SANCAnews Pengamat politik dari Universitas Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, meragukan peran lembaga Kepala Staf Presiden (KSP) yang dipimpin oleh Moeldoko. Baru-baru ini, KSP mengklaim membuka ruang pengaduan bagi masyarakat menyusul pernyataan Presiden Jokowi yang meminta publik lebih aktif menyampaikan kritik.

 

"Ini Novel Baswedan, sehari setelah melakukan kritik terhadap (kondisi) Ustaz Maaher, tiba-tiba dia dilaporkan. Gimana nggak ngeri," kata Adi dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi di tvOne, Jumat, 12 Februari 2021.

 

Adi berharap pernyataan Presiden Jokowi di hari pers nasional itu tidak malah menjadi jebakan batman. Orang disuruh kritik tapi tiba-tiba akunnya diretas, Whatsappnya disusupi, dan dilaporkan atas hal-hal yang tidak penting, "Yang gitu-gitu juga sepertinya juga ditertibin," kata dia lagi.

 

Adi juga mempertanyakan para buzzer yang terlihat pro pemerintah dibiarkan berkeliaran. Bahkan sampai ada yang menghina Islam arogan, "Itu nggak karu-karuan," ujarnya.

 

Oleh karena itu, menurutnya, hal-hal semacam itu yang membuat publik mati rasa dengan imbauan-imbauan pemerintah termasuk KSP, agar aktif mengkritik. Sementara di sisi yang lain, janji tidak akan ditangkap baru sebatas klaim saja. "Siapa juga yang menjamin kalau tidak ada yang menangkap," katanya.

 

Dalam kesempatan itu, Adi juga menyindir KSP yang seperti orang baru bangun tidur. Alasannya, baru sekarang ini bicara soal menjadi tempat pengaduan masyarakat.

 

"Ini kan KSP sudah lama kok seakan-akan KSP rumah terakhir yang jadi tempat pengaduan bagi publik. Pendekatannya juga top down, kenapa KSP tidak melakukan pola bottom up," katanya.

 

Dia lantas meminta KSP memperjuangkan aspirasi publik soal revisi UU Pemilu. Menurutnya, publik saat ini ingin pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan.

 

"Sampaikan kepada presiden, menteri, elite-elite negara. Revisi UU Pemilu itu jangan distop, tapi dilanjutkan," katanya. []




SANCAnews  Buzzer di media sosial belakangan menjadi sasaran kritik. Mereka dinilai banyak menimbulkan kegaduhan. Tak heran, banyak pihak yang mendorong agar buzzer ini ditertibkan saja. 

 

Salah satunya, Ketua DPP Partai Golkar Dedi Mulyadi. Dedi menilai buzzer saat ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, yang mengaku paling nasionalis dan kedua, paling beragama.

 

"Hentikan perilaku yang sok pancasila dan sok agamis. Nah itu sok-sokan itu muncul di medsos itu sebagai bagian dari pengelolaan isu," kata Dedi, Jumat (12/2).

 

"Mereka ada dua kubu ya, yang setiap hari bertikai, bertengkar mengelola berbagai isu. Yang satu isu soal NKRI, yang satu agama," tambahnya.

 

Dedi menilai kedua kubu ini berperan besar dalam memecah belah masyarakat dengan berbagai narasi yang disampaikan. Ia menilai momen politik merupakan waktu yang tepat untuk menyampaikan berbagai narasi itu.

 

"Nah kedua kubu ini telah meracuni cara berpikir publik yang mayoritas sehingga publik yang mayoritas itu juga memblok dirinya membagi dua," ujarnya.

 

"Terbawa oleh stigma politik medsos yang dikembangkan sehingga momentumnya adalah pemilu. Selalu itu," tambahnya.

 

Eks Bupati Purwakarta ini menilai yang terpenting saat ini adalah bagaimana menertibkan para buzzer. Sebab, makin lama pikiran publik diracuni, bakal makin berbahaya.

 

"Sehingga saya meminta untuk segera ditertibkan. Siapa pun ya yang memiliki perilaku buruk di medsos yang mengelola itu hanya untuk kepentingan dan kehilangan narasi akademis itu akan berbahaya yaitu meracuni pikiran publik," ujarnya.

 

"Sehingga menurut saya harus ditertibkan," imbuhnya.

 

Lebih lanjut, Dedi mendorong perbaikan narasi-narasi yang muncul di media sosial. Lebih positif dan tanpa ada upaya pecah belah.

 

"Saya ingin media sosial ini diisi oleh narasi narasi argumentatif akademis yang memiliki landasan landasan berfikir akademis yang memadai," pungkasnya. []




SANCAnews  Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum aparat negara kepada warganya masih terus berulang.

 

Setelah kasus penembakan laskar FPI di Tol Cikampek KM 50, kekinian cerita penyiksaan kembali terdengar setelah seorang warga Balikpapan, Kalimantan Timur, meninggal dunia satu hari setelah dijemput paksa dan dibawa ke Polres Kota Balikpapan, Desember 2020 lalu.

 

“Kedua kasus itu turut mengundang perhatian LPSK. Khusus untuk kasus warga Balikpapan, tim LPSK saat ini sedang terjun ke lapangan melakukan investigasi,” kata  Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangannya, Kamis (11/2).

 

Edwin mengaku heran mengapa kasus penyiksaan masih bisa terus terjadi. Pahadal, lanjut dia, instrumen peraturan terkait penyiksaan dalam norma hukum nasional sudah terbilang banyak.

 

Bahkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

 

Edwin menyatakan sudah saatnya negara khususnya aparat penegak hukum membuka mata dan lebih serius menanggulangi fenomena ini.

 

Menurutnya, ada baiknya Polri sebagai penegak hukum membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan.

 

Edwin mengakui banyak tantangan dan kendala secara kultural maupun struktural dalam menangani kasus-kasus penyiksaan.

 

Salah satu yang menjadi tantangan besar bagi aparat hukum saat ini adalah tentang persepsi kepatutan aparat terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri.

 

"Aparat tidak boleh menganggap lumrah atau patut melakukan penyiksaan dengan alasan apa pun,” katanya.

 

Edwin berharap Polri sebagai penegak hukum mulai membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan.

 

Apalagi, kata Edwin, metode yang digunakan polisi dalam mendapatkan informasi untuk memenuhi alat bukti masih berorientasi pada pengakuan, khususnya kasus-kasus yang minim alat buktinya.

 

Kendala lainnya yang ditemukan adalah tidak dikenalnya penyiksaan dalam KUHP dan cenderung disamakan dengan kasus penganiayaan.

 

Karena itu, Edwin merekomendasikan dibuat regulasi khusus mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana yang juga mengatur agar korban penyiksaan mendapatkan pemulihan serta memaksimalkan ganti kerugian.

 

“Sebaiknya kita sudah harus mulai merumuskan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP,” kata Edwin

 

Selain itu, Edwin juga mengusulkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia direvisi, dengan memasukkan aturan tentang mekanisme penyelidikan dan/atau penyidikan kasus-kasus penyiksaan dilakukan oleh Komnas HAM untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan adil.

 

Salah satu yang menjadi tantangan besar bagi aparat hukum saat ini adalah tentang persepsi kepatutan aparat terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri.

 

"Aparat tidak boleh menganggap lumrah atau patut melakukan penyiksaan dengan alasan apa pun,” katanya.

 

 Edwin berharap Polri sebagai penegak hukum mulai membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan.

 

Apalagi, kata Edwin, metode yang digunakan polisi dalam mendapatkan informasi untuk memenuhi alat bukti masih berorientasi pada pengakuan, khususnya kasus-kasus yang minim alat buktinya.

 

Kendala lainnya yang ditemukan adalah tidak dikenalnya penyiksaan dalam KUHP dan cenderung disamakan dengan kasus penganiayaan.

 

Karena itu, Edwin merekomendasikan dibuat regulasi khusus mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana yang juga mengatur agar korban penyiksaan mendapatkan pemulihan serta memaksimalkan ganti kerugian.

 

“Sebaiknya kita sudah harus mulai merumuskan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP,” kata Edwin

 

Selain itu, Edwin juga mengusulkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia direvisi, dengan memasukkan aturan tentang mekanisme penyelidikan dan/atau penyidikan kasus-kasus penyiksaan dilakukan oleh Komnas HAM untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan adil.[]


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.