LPSK: Penembakan Laskar FPI dan Penyiksaan Warga Balikpapan, Jangan Dianggap Lumrah
SANCAnews – Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan kasus penyiksaan yang
dilakukan oleh oknum aparat negara kepada warganya masih terus berulang.
Setelah kasus penembakan laskar FPI di Tol Cikampek KM 50, kekinian
cerita penyiksaan kembali terdengar setelah seorang warga Balikpapan,
Kalimantan Timur, meninggal dunia satu hari setelah dijemput paksa dan dibawa
ke Polres Kota Balikpapan, Desember 2020 lalu.
“Kedua kasus itu turut mengundang perhatian LPSK. Khusus
untuk kasus warga Balikpapan, tim LPSK saat ini sedang terjun ke lapangan
melakukan investigasi,” kata Wakil Ketua
LPSK Edwin Partogi dalam keterangannya, Kamis (11/2).
Edwin mengaku heran mengapa kasus penyiksaan masih bisa terus
terjadi. Pahadal, lanjut dia, instrumen peraturan terkait penyiksaan dalam
norma hukum nasional sudah terbilang banyak.
Bahkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Edwin menyatakan sudah saatnya negara khususnya aparat
penegak hukum membuka mata dan lebih serius menanggulangi fenomena ini.
Menurutnya, ada baiknya Polri sebagai penegak hukum membangun
mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan.
Edwin mengakui banyak tantangan dan kendala secara kultural
maupun struktural dalam menangani kasus-kasus penyiksaan.
Salah satu yang menjadi tantangan besar bagi aparat hukum
saat ini adalah tentang persepsi kepatutan aparat terhadap tindakan penyiksaan
itu sendiri.
"Aparat tidak boleh menganggap lumrah atau patut
melakukan penyiksaan dengan alasan apa pun,” katanya.
Edwin berharap Polri sebagai
penegak hukum mulai membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah
terjadinya penyiksaan.
Apalagi, kata Edwin, metode yang digunakan polisi dalam
mendapatkan informasi untuk memenuhi alat bukti masih berorientasi pada
pengakuan, khususnya kasus-kasus yang minim alat buktinya.
Kendala lainnya yang ditemukan adalah tidak dikenalnya
penyiksaan dalam KUHP dan cenderung disamakan dengan kasus penganiayaan.
Karena itu, Edwin merekomendasikan dibuat regulasi khusus
mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana yang juga mengatur agar korban
penyiksaan mendapatkan pemulihan serta memaksimalkan ganti kerugian.
“Sebaiknya kita sudah harus mulai merumuskan penyiksaan
sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP,” kata Edwin
Selain itu, Edwin juga mengusulkan UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia direvisi, dengan memasukkan aturan tentang mekanisme
penyelidikan dan/atau penyidikan kasus-kasus penyiksaan dilakukan oleh Komnas
HAM untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan adil.
Salah satu yang menjadi tantangan besar bagi aparat hukum
saat ini adalah tentang persepsi kepatutan aparat terhadap tindakan penyiksaan
itu sendiri.
"Aparat tidak boleh menganggap lumrah atau patut
melakukan penyiksaan dengan alasan apa pun,” katanya.
Edwin berharap Polri
sebagai penegak hukum mulai membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk
mencegah terjadinya penyiksaan.
Apalagi, kata Edwin, metode yang digunakan polisi dalam
mendapatkan informasi untuk memenuhi alat bukti masih berorientasi pada
pengakuan, khususnya kasus-kasus yang minim alat buktinya.
Kendala lainnya yang ditemukan adalah tidak dikenalnya
penyiksaan dalam KUHP dan cenderung disamakan dengan kasus penganiayaan.
Karena itu, Edwin merekomendasikan dibuat regulasi khusus
mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana yang juga mengatur agar korban
penyiksaan mendapatkan pemulihan serta memaksimalkan ganti kerugian.
“Sebaiknya kita sudah harus mulai merumuskan penyiksaan
sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP,” kata Edwin
Selain itu, Edwin juga mengusulkan UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia direvisi, dengan memasukkan aturan tentang mekanisme
penyelidikan dan/atau penyidikan kasus-kasus penyiksaan dilakukan oleh Komnas
HAM untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan adil.[]