Latest Post



Jakarta, SN – Seorang jurnalis yang ditemukan tewas dan diduga dibunuh dengan cara disayat di leher ditemukan di sebuah sungai di Desa Pamunuhan, Desa Cikuya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang dan wartawan tersebut mengenakan pakaian Kelompok Kerja (Pokja) Jurnalis Harian Kabupaten Tangerang.

 

Barang bukti lain yang ditemukan polisi yakni berupa uang sebesar Rp10 ribu dan telpon genggam merk Samsung Duos yang tersimpan di dalam saku celana korban.

 

Anggota Tim Inafis Polres Pandeglang Bayu mengatakan bahwa saat ini pihaknya sedang berusaha mengungkap identitas korban.

 

“Untuk identitas korban sedang kami usahakan, karena ada gangguan jaringan sehingga alat kami tidak berfungsi maksimal,” ucap Bayu pada BantenNews.co.id, Rabu (10/2/2021).

 

Selain itu, dilihat dari kondisi korban yang sudah mulai membusuk diperkirakan korban sudah meninggal sekitar 3 hingga 5 hari yang lalu.

 

Sedangkan untuk luka sayatan pada leher korban, pihaknya masih belum bisa memastikan apakah mayat tersebut korban pembunuhan atau bukan.

 

“(Luka pada leher) belum bisa dipastikan apakah luka sayat atau terkena benda di air saat korban terbawa arus,” jelasnya.

 

Diberitakan sebelumnya, warga Kampung Pamunuhan, Desa Cikuya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang digegerkan dengan penemuan mayat laki-laki berusia sekitar 30 tahun mengambang di sungai.

 

Pada tubuh mayat tersebut ditemukan ciri-ciri memakai kaos hitam bertuliskan Pokja Wartawan Harian Kabupaten Tangerang, celana jeans panjang warna biru, memakai ikat pinggang dan terdapat tato perempuan di tangan kanan korban. []




Jakarta, SN – Presiden Joko Widodo diyakini tidak akan membubarkan para buzzer karena tengah menikmati kontribusi mereka bagi kekuasaannya. Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, pernyataan Muhammadiyah dan Dewan Pers dianggapnya sudah benar bahwa buzzer merupakan musuh utama pers.

 

Sebab, narasi buzzer lebih terlihat sebagai pemicu problem, bukan narasi diskursus publik yang membuat demokrasi matang, "Justru buzzer seringkali merusak kualitas demokrasi," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (11/2).

 

Akan tetapi, kata Ubedilah, Presiden Jokowi dinilai memimpin negara semaunya sendiri dan semaunya oligarki. Karena, dalam empat tahun terakhir ini, yang ditunjukkan presiden justru arogansi.

 

"Tidak mau mendengar pendapat rakyat. Bahkan dalam setahun ini rezim sering bertindak otoriter bersembunyi dibalik pandemi Covid-19," kata Ubedilah.

 

Dengan demikian, Ubedilah menilai bahwa Presiden Jokowi kemungkinan tidak akan membubarkan para buzzer. Paling mungkin sebatas mengatur buzzer, itupun jika bisa.

 

“Sebab ia justru menikmati kontribusi buzzer bagi kekuasaannya. Ini yang saya sebut sebagai digital otoritarianism atau mengarah kepada digital dictatorship. Bertindak otoriter dengan menggunakan instrumen digital," terangnya.

 

"Jangankan Muhammadiyah dan Dewan Pers yang menasehati, Muhammadiyah dengan NU saja tidak didengar kok nasehatnya. Itukan terjadi saat Muhammadiyah dan NU menolak pengesahan UU Omnibuslaw Ciptaker 2020 lalu," pungkasnya. (rmol)




Jakarta, SN – Ada peran komprador politik yang bermain di tengah gonjang-ganjing perpolitikan Indonesia. Komprador politik ini disinyalir sengaja 'dipesan' oleh elite politik untuk membuat sebuah pertarungan opini publik.

 

"Selama ada permintaan dari sisi elite yang membutuhkan, tujuan dari pertarungan opini publik ini demi memuluskan niat pelaku politik di tingkat implementatif," kata pengamat politik dari Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F Silaen kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (10/2).

 

Saat opini publik dipenuhi oleh polemik, kata dia, menandakan adanya agenda yang belum tuntas dicapai. Pertarungan opini publik pun akan terus dimainkan demi meraih kekuasaan yang sedang dirancang oleh kelompok elite tertentu.

 

"Ini agenda settingan politik dalam rangka menjegal atau mematahkan langkah konservatif penguasa yang tak mau 'diajak' bersama-sama," beber Silaen.

 

Ia menjelaskan, panggung belakang politik akan terus bergerilya untuk mendapatkan pengaruhnya demi memuluskan tujuan mereka.

 

"ini sama halnya buzzerRp dimainkan. Terkadang orang atau tokoh yang punya pengaruh di-endorsement guna memancing huru-hara perdebatan di kalangan masyarakat. Hal ini biasa terjadi demi kepentingan kekuasaan politik yang ingin diraih," jelas Silaen.

 

Pertarungan opini publik, kata dia, bagaikan dua kutub yang sedang unjuk gigi dari kelompok tertentu yang sedang meramu jurus-jurus apiknya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah atau penguasa.

 

Yang jadi pertanyaan saat ini, kata Silaen, ke mana arah dan akhir dari perdebatan elite tersebut. Hal ini patut diperhatikan agar publik tidak terjebak dalam pusaran permainan yang sedang dijalankan.

 

Di saat banyak opini liar publik diaduk-aduk secara bersamaan, banyak orang lupa dengan agenda yang sesungguhnya terjadi di tengah masyarakat.

 

"Hampir tak ada agenda yang kebetulan terjadi. Elite politik sedang mencari jalan untuk memuluskan agenda lewat panggung belakang untuk menekan penguasa. Tujuannya agar ide dan gagasannya dipertimbangkan sebagai bagian dari kompromi politik yang akan disepakati bersama," urainya.

 

"Di akhir polemik yang kencang itu, akan berakhir dengan agenda politik bargaining untuk win-win solution dari masing-masing kelompok yang sedang mengincar tujuan permainan politik yang sedang ditabuh kelompok tertentu tersebut," tandasnya. (*)




Jakarta, SN – Tim Kuasa Hukum almarhum Ustadz Maaher At-Thuwailibi bakal membuat pelaporan ke Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Komnas HAM, dan Komisi III DPR RI. Mereka mencium adanya dugaan pengabaian terhadap kondisi kesehatan Maaher selama ditahan di Ruang Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri.

 

Salah satu tim kuasa hukum, Novel Bamukmin mengatakan bahwa pihaknya bakal menjalankan rapat koordinasi untuk menyiapkan pelaporannya tersebut.

 

"Kita akan usut tuntas untuk diduga kematian Ustadz Maher yang tidak wajar ini baik ke Propam, Komnas HAM dan juga Komisi III DPR RI," kata Novel saat dihubungi Suara.com, Rabu (10/11/2021).

 

Novel menjelaskan bahwa pihak kepolisian harus bisa memberikan tanggung jawabnya atas kematian Maaher. Menurutnya, apabila Maaher dinyatakan dalam kondisi sakit, maka seharusnya pihak kepolisian melakukan penanganan akan kesehatannya.

 

Salah satu yang dikritik olehnya ialah soal penempatan ruangan tahanan Maaher. Apabila disebut oleh pihak kepolisian bahwa penyakit yang diderita Maaher sensitif, maka menurutnya harus dirawat di ruangan isolasi khusus.

 

"Kenapa kalau memang menderita penyakit sensitif justru pelayanan medis yang benar diabaikan dengan tidak mengisolasi almarhum Ustaz Maaher ditempat isolasi khusus agar dapat ditangani secara khusus juga," ujarnya.

 

"Dengan begitu kalau terbukti ada upaya pembiaran atau sengaja menelantarkan orang sakit dan ini jelas melanggar ketetapan hukum yang berlaku," sambungnya.

 

Di samping pelaporan, Novel juga meminta kepada tim kedokteran RS Polri untuk memberikan keterangan yang benar serta bisa mempertanggungjawabkannya, "Siap dipertanggungjawabkan atas nama kedokteran bukan berdasarkan kepentingan politik." (*)




Jakarta, SN – Tim kuasa hukum aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyebut adanya kejanggalan dalam penangkapan Syahganda Nainggolan oleh pihak kepolisian. Hal itu disampaikan kuasa hukum Syahganda, Abdullah Al-Katiri usai menjalani sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Jawa Barat, Rabu (10/2).

 

Adapun sidang hari ini menghadirkan saksi dari pihak kepolisian yang menjelaskan proses penangkapan Syahganda.

 

"Dia menceritakan penangkapan dan sebagainya. Tapi banyak yang janggal karena tidak sama dengan yang di-BAP," ujar Abdullah, Rabu (10/2).

 

Kejanggalan yang dimaksud adalah perbedaan waktu saat kejadian dengan yang ada di berita acara pemeriksaan (BAP) di Kepolisian. Abdullah juga mempersoalkan terkait dua alat bukti untuk menangkap Syahganda.

 

"Bahwa apakah sudah dua alat bukti pada saat menangkap dan sebagainya, dia (saksi) tidak tahu dan dia hanya diperintahkan untuk menangkap," kata Abdullah.

 

Abdullah juga menjelaskan terkait perdebatan yang terjadi di persidangan soal waktu jarak penangkapan. Ia mengurai, saksi menjelaskan selesai memeriksa Syahganda jam tiga subuh dan langsung dilakukan berita acara pemeriksaan (BAP).

 

"Syahganda ditangkap jam 03.50, berarti hanya ada (membutuhkan) waktu 50 menit (untuk pemeriksaan dan BAP). Saya tanya, ternyata mereka ke rumah Ibunya Syahganda di Tebet dulu, setelah di sana ternyata (Syahganda) enggak ada, baru ke Depok," sambungnya.

 

Tak hanya itu, Abdullah turut mempersoalkan adanya penyitaan barang-barang pribadi Syahganda saat penangkapan berlangsung.

 

"Kesimpulannya kalau menyita berarti Syahganda sudah tersangka. Barang bukti apa yang dipakai untuk nyita itu? Kan harus diketahui dulu, kok tiba-tiba sudah ditangkap," heran Abdullah.

 

Berdasarkan Pasal 184 Ayat 1 KUHAP, kata dia, dijelaskan bahwa harus adanya dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

"Padahal masih ada satu alat bukti, yaitu keterangan saksi, padahal syaratnya harus dua alat bukti," pungkasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.