Oleh:Anthony Budiawan
GERAKAN Nasional Wakaf Uang belum lama berselang masih
menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat. Salah satu pertanyaan publik yang
belum terjawab antara lain apakah pemerintah boleh menghimpun wakaf uang dari
masyarakat.
Judul tulisan ini juga bernada pertanyaan, sebagai lanjutan
pertanyaan yang disampaikan melalui Surat Terbuka Kepada Menkeu: Wakaf Uang dan
Dampak Negatif bagi Ekonomi,
Seperti dijelaskan sebelumnya, berdasarkan Undang-undang No
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No 17/2003), pemerintah tidak boleh
menerima pungutan apapun dari masyarakat. Kecuali penerimaan negara yang sudah
ditetapkan oleh undang-undang, yang terdiri dari tiga jenis penerimaan. Yaitu
penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah dalam arti
luas. Termasuk di dalamnya pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian,
lembaga pemerintah nonkementerian, serta lembaga negara independen.
Artinya, UU Keuangan Negara melarang pemerintah, termasuk
kementerian dan lembaga, menghimpun dana dari masyarakat. UU Keuangan Negara
juga melarang pemerintah, kementerian dan lembaga, mengelola dan mengembangkan
dana masyarakat, termasuk wakaf dan wakaf uang.
Di lain pihak, pemerintah melalui Undang-undang No 41 tahun
2004 tentang Wakaf mendirikan Badan Wakaf Indonesia untuk memajukan dan
mengembangkan perwakafan nasional. Status hukum Badan Wakaf Indonesia adalah
sebagai lembaga negara yang independen.
Kedudukannya sama seperti lembaga negara independen lainnya
seperti Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan lainnya. Juga setara dengan lembaga negara
nonkementerian seperti Badan Intelijen Negara, Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan lainnya.
Tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia antara lain membina
para Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. memberhentikan
dan mengganti Nazhir, menerima laporan pelaksanaan perwakafan dari para Nazhir.
Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Badan Wakaf
Indonesia juga berfungsi sebagai Nazhir. Artinya, Badan Wakaf Indonesia juga
melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
Dengan kata lain, Badan Wakaf Indonesia sebagai Nazhir,
berdasarkan UU tentang Wakaf, dapat menerima, mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf dari masyarakat.
Di lain pihak, Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga negara
independen, berdasarkan UU tentang Keuangan Negara, seharusnya tidak boleh
menghimpun, mengelola, atau mengembangkan dana masyarakat, termasuk harta benda
wakaf. Bukankah begitu?
Sehingga kedua UU di atas terindikasi saling bertentangan: UU
tentang Wakaf bertentangan dengan UU tentang Keuangan Negara, dalam hal
menerima dan mengelola harta benda wakaf.
Kalau pertentangan kedua UU ini dibiarkan berlanjut, maka
kepastian hukum menjadi taruhan. Khawatirnya, kementerian atau lembaga negara
lainnya akan mengikuti fenomena ini, dan berupaya menghimpun dana dari
masyarakat.
Sebagai contoh, Kementerian Agama sudah mulai menghimpun wakaf
uang dan berhasil mengumpulkan Rp 4,13 miliar,
https://republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/qnjqn1457/gerakan-wakaf-uang-kemenag-himpun-rp-413-miliar
Kementerian BUMN juga berkomitmen menghimpuan wakaf uang
hingga Rp 80 miliar, https://koranbumn.com/2021/01/menteri-erick-thohir-pastikan-komitman-kementerian-bumn-saat-ini-akan-himpun-wakaf-uang-senilai-rp-80-miliar/
Publik pun bertanya-tanya, bagaimana kedua kementerian
tersebut bisa dan boleh menghimpun dana (wakaf uang) dari masyarakat? Apa dasar
hukumnya? Sedangkan undang-undang tentang Keuangan Negara secara tegas melarang
semua kementerian melakukan pungutan kecuali yang ditetapkan Undang-undang.
Oleh karena itu, untuk memberi kepastian hukum, sebaiknya
kedua Undang-undang yang bertentangan tersebut segera dicarikan jalan keluar.
Mau tidak mau, salah satu dari undang-undang tersebut harus dibatalkan. Atau
batal demi hukum.
Secara logika, undang-undang tentang Keuangan Negara
seharusnya dipertahankan. Yaitu pemerintah, kementerian, dan lembaga, tidak
boleh menerima, menghimpun, mengelola, dan mengembangkan dana masyarakat,
termasuk wakaf. Sebagai konsekuensi, maka undang-undang tentang keberadaan
Badan Wakaf Indonesia harus disesuaikan.
Alternatif pertama, Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga
negara hanya bisa berfungsi sebagai regulator yang melakukan pembinaan
perwakafan Indonesia. Artinya Badan Wakaf Indonesia tidak boleh melakukan
fungsi Nazhir: tidak boleh menghimpun, mengelola dan mengembangkan dana
masyarakat dan wakaf, sesuai UU tentang Keuangan Negara.
Atau, sebagai alternatif kedua, kalau Badan Wakaf Indonesia
tetap mau berfungsi sebagai Nazhir, maka Badan Wakaf Indonesia harus
menanggalkan statusnya sebagai lembaga negara (independen).
Agar Badan Wakaf Indonesia dapat menghimpun, mengelola, dan
mengembangkan harta benda wakaf dari masyarakat. Berarti, status Badan Wakaf
Indonesia harus berubah dari lembaga negara menjadi organisasi atau badan hukum
dalam bidang Nazhir seperti diatur dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang
Wakaf.
Semoga pertentangan kedua undang-undang tersebut dapat segera
diselesaikan. Semoga Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan fungsinya
sebaik-baiknya sesuai tujuan mulia perwakafan, tanpa bertentangan dengan
undang-undang lainnya: Keuangan Negara.
Managing Director Political Economy and Policy Studies
(PEPS)