Jakarta, SN – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
menyoroti buzzer menyerang kelompok yang mengkritisi pemerintah di media
sosial. YLBHI menilai mestinya pemerintah bisa mengontrol dan mengambil
tindakan terhadap buzzer itu meski tidak 100%.
Ketua YLBHI Asfinawati awalnya mengungkapkan bahwa sulit
untuk tidak mengkaitkan buzzer itu sebagai pendukung pemerintah. Asfinawati
kemudian mengungkapkan beberapa laporan mengenai buzzer itu.
"Kan pemerintah selalu bilang (buzzer) itu bukan dari
mereka. Tapi kalau kita lihat sulit untuk menepis tidak adanya relasi, baik itu
relasi dari mereka yang mendukung Pak Jokowi ketika mencalonkan diri atau dari
yang lain-lain," kata Asfin kepada wartawan, Selasa (9/2/2021).
Asfinawati mengatakan pemerintah harusnya bisa mengendalikan
oknum yang menjadi buzzer itu. Sebab, menurut Asfinawati oknum tersebut adalah
pendukung pemerintah dan ada di bawah pemerintah.
"Ya menurut saya pada akhirnya pasti tidak bisa 100%
dikontrol tapi sebagian besar sebetulnya bisa dikendalikan oleh pemerintah baik
dalam lembaga yang ada di bawah dia maupun orang-orang yang menjadi
pendukungnya," katanya.
Lebih lanjut Asfinawati menyinggung buzzer yang kebal dengan
UU ITE. Berbeda dengan oposisi yang melakukan kritikan di media sosial.
"Juga salah satu indikasi bahwa ada diskriminasi
penegakan hukum kalau yang melakukan kesalahan adalah oposisi atau orang yang
kritis meskipun sudah di-take down postingannya, minta maaf tetap
dikriminalisasi, tetap dikriminalkan. Tetapi kalau sebaliknya influencer yang
sering membantu narasi-narasi pemerintah dia seperti kebal hukum,"
katanya.
Menurut Asfinawati serangan buzzer itu sejatinya sudah bisa
dilihat. Seperti buzzer yang memproduksi serangan kepada pihak oposisi yang
suka mengkritisi.
"Itu dan sebetulnya simpul-simpulnya kelihatan ya,
simpul yang produksi dan mengorkestrasi serangan-serangan itu kan sebenarnya
udah ketahuan. Seperti yang saya katakan tadi, ada dua sebagai pendukung dia
maupun ada, ada di bawah kalau tadi bagian dari influencer yang dibayar dengan
uang negara itu kan lain lagi pendekatannya," jelasnya.
Selain itu, Asfin juga menanggapi pernyataan Sekretaris
Kabinet Pramono Anung yang menyatakan pemerintah terbuka dengan kritik. Menurut
Asfin, pertanyaan dari Istana itu harus diimplementasikan.
"Sebagai sebuah pernyataan formal itu kan baik ya,
pernyataan yang betul dan baik. Tetapi agar pernyataan itu mendarat maka harus
ada kebijakan-kebijakan yang diambil. Salah satu kebijakan yang ada dalam
kontrol pemerintah sebagai kepada pemerintahan adalah politik hukum, politik
hukumnya jangan melakukan kriminalisasi kepada orang yang melakukan kebebasan
berpendapat," ucap Asfin.
Asfin berharap pernyataan pemerintah itu dilaksanakan dalam
penegakan hukum. Dia berharap pemerintah mengambil tindakan jika terjadi
kriminalisasi hukum.
"Nah polisi itu kan ada di bawah Presiden. Jadi kalau
polisi melakukan penyimpangan fungsi tugasnya, mengkriminalisasi orang yang
menyampaikan kebebasan berpendapat, harusnya diperingatkan Presiden. Kalau ini
tidak dilakukan ini cuma kosong aja. Pada akhirnya saya melihatnya kalau tidak
diikuti dengan kebijakan itu, jadi semacam kontranarasi bahwa survei-survei
mengatakan kebebasan di Indonesia menyempit. Jadi ini adalah bentuk pencitraan
yang berikutnya kalau tidak ada kebijakan," kata dia.
Kwik Kian Gie itu sebelumnya mengaku khawatir usai
mengemukakan pendapat berbeda dengan rezim akan langsung diserang buzzer di
media sosial. Hal itu disampaikan lewat akun Twitter @kiangiekwik pada 6
Februari lalu.
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan
pendapat yg berbeda dng maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja
di-buzzer habis2an, masalah pribadi diodal-adil," kata Kwik melalui akun
twitternya, seperti dilansir detikcom.
Kwik kemudian membandingkan saat dia menyampaikan kritik saat
Soeharto berkuasa. Kwik mengaku leluasa melontarkan kritik ke rezim Orde Baru
di kolom harian Kompas. Menurutnya, kritik yang dia sampaikan saat itu juga
tergolong tajam, "Kritik2 tajam. tidak sekalipun ada masalah,"
ujarnya.
Pihak Kantor Staf Presiden (KSP) merespons pernyataan mantan
Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri, Kwik Kian Gie itu. KSP menegaskan
pemerintah tidak antikritik.
"Pertama, pemerintah tidak alergi kritik, setiap hari
pemerintah dihujani kritik baik media mainstream, online, maupun sosial,"
kata Tenaga Ahli Utama KSP, Donny Gahral Adian, kepada wartawan, Selasa
(9/2/2021).
Donny mengatakan ketakutan Kwik Kian Gie itu tak beralasan.
Sebab, kata Donny, buzzer bukan representasi pemerintah.
"Kedua, pemerintah mampu membedakan mana kritik mana
hasutan atau ujaran kebencian, kritik halal dalam demokrasi, sementara ujaran
kebencian itu tindak pidana," kata Donny.
"Ketakutan Pak Kwik tidak beralasan, jika khawatir
dengan buzzer, patut dicatat buzzer adalah buzzer dan bukan pemerintah, oposisi
pun mempunyai buzzer-nya sendiri," sambung Donny.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya menekankan
mengenai pentingnya kritik dan saran bagi pemerintah. Menurut Pramono, kritik
yang keras dan terbuka akan membuat pembangunan lebih terarah.
"Sebagai negara demokrasi, kebebasan pers merupakan
tiang utama untuk menjaga demokrasi tetap berlangsung. Bagi pemerintah,
kebebasan pers adalah sesuatu yang wajib dijaga dan bagi pemerintah kebebasan
pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Dan kita
memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena
dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih
benar," kata Pramono saat menyampaikan ucapan selamat Hari Pers Nasional
2021 seperti ditayangkan akun YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa (9/2). (sanca)