Pakar Hukum: Jerat Pidana Pendiri Pasar Muamalah Debatable dan Berlebihan
Jakarta, SN – Pendiri Pasar Muamalah di Depok, Zaim Saidi, ditetapkan
sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada Rabu (3/2). Zaim dijerat dengan
Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan atau Pasal 33 UU No. 7
Tahun 2011 tentang Mata uang.
Berikut adalah bunyi dari kedua pasal tersebut:
Pasal 9 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana
Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang
kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai
alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya
lima belas tahun.
Pasal 33 poin 1a Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang
Mata Uang
Setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi
yang mempunyai tujuan pembayaran dapat dikenakan pidana. Hukumannya antara lain
berupa kurungan penjara maksimal satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, sangkaan
terhadap Zaim itu masih bisa diperdebatkan dan berlebihan. “ZS ditangkap dan
diproses hukum dengan sangkaan yang menurut saya masih debatable dan
berlebihan,” ujar Abdul kepada kumparan, Kamis (4/2).
Untuk jeratan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum
Pidana, menurut Abdul, hal itu tidak tepat. Sebab, aturan tersebut melarang
penggunaan mata uang lain yang seolah-olah berlaku di Indonesia selain rupiah.
Pada realitasnya yang dibuat atau dipesan dari PT Antam Tbk adalah batangan
kecil emas yang diidentifikasi sebagai dinar atau dirham.
Jika ini dianggap sebagai pidana, maka Antam pun sebagai pembuatanya harus dipertangungjawabkan.-Abdul Fickar Hadjar
“Jika yang dimaksud membuat semacam kupon atau bentuk barang yang diidentifikasi sebagai alat bayar, maka tafsir ini berbahaya karena berapa banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon atau semacam benda yang dapat digunakan sebagai alat bayar di kasir tertentu akan dilarang juga,” lanjut dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.
Kemudian, terkait sangkaan Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang, hal itu masih bisa diperdebatkan. Sebab, apakah kepingan emas
yang digunakan dan diidentifikasi
sebagai mata uang itu benar produk sebuah negara dengan identifikasi
seri mata uang atau hanya dengan berat ringannya.
“Jika benda yang disebut dirham itu bukan produk negara yang
mengeluarkan, maka ZS tidak bisa dijerat dengan ketentuan ini,” tambah Abdul.
Ia menegaskan, jika penekanannya pada perbuatan mencari
keuntungan, hal ini dinilai tidak tepat untuk menerapkan pasal UU Mata Uang.
“Artinya jika masyarakat yang membeli merasa dirugikan itu
namanya penipuan. Jika tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang menuntut,
itu masuk pada ranah perdata perjanjian biasa sebagai sebuah kesepakatan,”
pendapat Abdul.
Menurutnya, perbuatan itu bisa ditarik dengan ranah pidana dengan syarat ada kepentingan umum yang terlanggar. Dalam hal ini adalah menggunakan mata uang asing dalam bertransaksi di Indonesia.