Latest Post



Jakarta, SN – Menegaskan dirinya tidak mempunyai keinginan menjadi capres di 2024 dengan cara mengkudeta pimpinan di Partai Demokrat, Moeldoko mendapat kritikan pedas dari Demokrat.

 

Kritikan ditujukan pada penggunaan bahasa kepala Kantor Staf Presiden (KSP) tersebut dalam kesempatan jumpa pers menampik isu menjadi capres.

 

"Terus dibilangin mau jadi presiden, yang enggak-enggak saja. Kerjaan gue setumpuk begini. Ngurusin yang enggak-enggak saja," ujar Moeldoko di kediamannya, di Jakarta Pusat, Rabu (3/2).

 

Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) Partai Demokrat Muhammad Rifai Darus, menyampaikan kritikan terkait hal tersebut kepada Moeldoko.

 

"Gue ... Gue ... Gue.... Cara Komunikasi Publik dari pejabat kayak apa begitu yah," ujar Rifai dalam akun Twitternya, @RifaiDarusM, Kamis (4/2) dikutip dari RMOL.

 

Kata-kata yang keluar dari sosok pejabat, menurut Rifai seharusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat, bukan justru menggunakan kata-kata seperti yang disampaikan Moeldoko.

 

"Berikanlah suritauladan yang baik sebagai seorang pejabat publik yang gajinya dibayar oleh rakyat Indonesia," demikian Muhammad Rifai Darus. (*)




Jakarta, SN – Mantan Sekretaris Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan (Sulsel) Agus Salim Syam menepis pernyataan polisi yang menyebut teroris yang dipindahkan ke Jakarta hari ini adalah anggota FPI Makassar. Ia mengatakan, teroris yang ditangkap polisi tidak pernah menjadi anggota, melainkan hanya terlibat dalam kegiatan FPI.

 

"Jadi begini, yang ngaku-ngaku ini kan memang pernah ikut dalam kegiatan FPI ketika kami menolak peredaran minuman keras tahun 2015-an. Tetapi mereka tidak masuk ke dalam keanggotaan Front Pembela Islam saat itu," ujar Agus saat dihubungi detikcom, Kamis (4/2/2021).

 

Agus mengatakan FPI selalu terbuka kepada siapa pun yang ingin ikut berpartisipasi dalam kegiatan mereka, "Iya (cuma berpartisipasi). Karena kami kan setiap kegiatan siapapun yang sempat ikut kegiatan kami silakan untuk kemudian kita saling mendukung sesama," tuturnya.

 

Agus pun menyinggung salah seorang teroris atas nama Ahmad Aulia yang sempat mengaku sebagai anggota FPI Makassar kepada polisi. Menurutnya, memang betul Ahmad pernah berpartisipasi dalam kegiatan FPI. Kala itu, Ahmad mengikuti kegiatan penolakan peredaran minuman keras di Makassar pada 2015 yang diadakan oleh FPI.

 

"Pernah ikut tahun 2015 penolakan peredaran miras di Makassar. Kita adakan kegiatan-kegiatan itu," terang Agus.

 

Namun, sejak saat itu keberadaan Ahmad tidak diketahui. Ahmad dan teman-temannya tidak pernah ikut kegiatan FPI lagi, termasuk pengajian.

 

"Sudah tidak pernah lagi. Karena tiba-tiba mereka, karena nggak pernah lagi ikut kegiatan. Artinya tidak pernah lagi bergabung, baik dalam kegiatan misal penolakan peredaran minuman alkohol maupun kegiatan pengajian yang kami lakukan secara terbuka yang memang kami lakukan setiap malam Ahad. Itu pengajian memang terbuka, siapapun boleh ikut," tandasnya.

 

Sebelumnya, sebanyak 19 orang terduga terduga teroris di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), yang ditangkap beberapa waktu lalu dibawa ke Jakarta. Polisi menyebut mereka sebagai anggota FPI dari wilayah Kota Makassar.

 

"Semuanya itu adalah anggota FPI," kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Zulfan saat dimintai konfirmasi, Kamis (4/2).

 

Dia menyebutkan ke-19 terduga teroris ini telah dikirim ke Jakarta hari ini, dengan rincian 16 orang laki-laki dan 3 perempuan. "Mereka semua adalah anggota FPI Makassar," tegasnya.

 

Zulfan menambahkan mereka semua telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Terorisme.

 

"Ini ancaman hukuman mereka seumur hidup. Sudah diterbangkan semua ke Mabes Polri," ucapnya.

 

Kapolda Sulsel Irjen Pol Merdisyam sebelumnya mengatakan para anggota FPI ini berbaiat kepada Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi.

 

"Jadi mereka berbaiat ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi di tahun 2015," imbuhnya.

 

Polisi mengatakan pembaiatan itu dihadiri oleh sejumlah pimpinan FPI, "Tahun 2015 itu ada pembaiatan di Limboto. Pembaiatannya waktu itu sama anggota FPI," tuturnya. (*)




Jakarta, SN – Politisi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, mengungkap adanya restu 'Pak Lurah' kepada Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko atas isu kudeta. Waketum Gerindra, Habiburokhman, meminta PD selesaikan masalah internal tanpa perlu membawa-bawa pemerintah, apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

"Kami menghormati Pak AHY dan juga Pak Moeldoko, kami harap mereka bisa menyelesaikan masalah antara mereka secara baik-baik tanpa perlu membawa-bawa nama Pak Presiden," kata Habiburokhman, kepada wartawan, Kamis (4/2/2021).

 

Habiburokhman mengatakan Presideh Jokowi saat ini tengah fokus menangani pandemi. Dia mengajak PD saling membantu di tengah masa pandemi dibanding mengumbar isu ke ruang publik.

 

"Biarlah Pak Presiden urus rakyat, terutama terkait penanganan pandemi dan dampak ekonominya," ujarnya.

 

"Kita juga jangan mengekspose masalah ini secara berlebihan di ruang publik karena sangat tidak produktif. Lebih baik kita bahas bagaimana perbaikan kebijakan mengatasi COVID-19," lanjut Habiburokhman.

 

Soal restu Pak Lurah itu sebelumnya disampaikan oleh politikus Partai Demokrat Andi Mallarangeng. Dia awalnya mengungkap isi pertemuan Moeldoko dengan kader Demokrat.

 

Berdasarkan laporan kader, kata Andi, dalam pertemuan itu, Moeldoko berbicara terkait rencana pengambilalihan PD melalui kongres luar biasa (KLB). Menurut Andi, Moeldoko bahkan mengatakan telah mendapat restu dari Pak Lurah, termasuk sejumlah menteri, salah satunya Menkum HAM Yasonna Laoly.

 

"Dan kemudian katanya juga sudah direstui oleh Pak Lurah serta menteri lainnya, termasuk Menkum HAM," ujarnya. (*)




Jakarta, SN – Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar Front Pembela Islam (FPI) Abdullah Hehamahua meminta Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo untuk memecat Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.

 

Mantan penasihat KPK itu mengatakan, pengusutan kasus kematian enam laskar FPI dapat dilakukan secara objektif dan transparan, hanya jika Irjen Fadil telah disingkirkan dari Polda Metro Jaya.

 

"Presiden kan atasan Kapolri, makanya kami minta agar Presiden memberikan perintah ke Kapolri agar memecat Kapolda Metro Jaya. Sebab secara struktural instruktif maka presiden tidak bisa langsung melakukannya," kata Abdullah Hehamahua di kanal YouTube Refly Harun.

 

Dikatakannya, Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo, yang masih menjabat sebagai kepala Bareskrim ketika kasus itu mulai diusut, wajib bertanggung jawab menyelesaikannya.

 

"Waktu di Polda Metro Jaya diambil oleh Kabareskrim tetapi sampai sekarang kan bagaimana progresnya," katanya.

 

Disebutkannya, beberapa keganjilan dalam pengusutan kasus itu seperti tidak ada police line, kemudian tidak ada upaya mendapatkan barang bukti sebanyak-banyaknya dan yang terjadi malah para saksi mata mendapatkan tekanan, "Katakanlah kalau menurut SOP ada kejadian apa saja ada police line, ini tidak ada," ujarnya.

 

Kemudian seharusnya polisi mendapatkan barang bukti sebanyak mungkin tetapi salah satu barang bukti itu adalah tempat istirahat KM 50 itu malah ditutup. Lalu para saksi mata seperti itu ditekan oleh mereka supaya dihapuskan foto-foto yang mereka ambil pada waktu kejadian maka wajar kalau beranggapan bahwa Kabareskrim waktu itu tidak serius menyelesaikan hingga kemudian beliau jadi Kapolri, "Makanya kami harus langsung kepada atasan langsungnya yaitu presiden," ucapnya.

 

Dia berharap dengan posisinya sebagai Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo bisa menuntaskan kasus ini dengan terang benderang, "Harapannya begitu, karena beliau sekarang Kapolri," tandasnya. []




Jakarta, SN – Penangkapan terhadap pendiri pasar Muamalah Zaim Saidi adalah berlebihan. Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hajar, Zaim Saidi ditangkap dan diproses hukum dengan sangkaan yang menurut masih debatable.

 

"Polisi juga salah menilai dalam mempersangkakan dan menjerat Zaim Saidi," kata Fickar dalam keterangan tertulis, dilansir Republika, Kamis (4/2).

 

Dikatakan Fickar, semangat bersyariah tidak melulu dicita-citakan dan digandrungi masyarakat muslim, sebagai sebuah "platform yang adil". Ini justru menjadi pilihan banyak masyarakat yang tidak terbatas pada masyarakat muslim saja.

 

Sebagai contoh, kata dia, pimpinan beberapa bank syariah di Spore atau beberapa negara lain tidak diisi oleh mereka yang muslim. Kenapa? Karena realitasnya ternyata ekonomi syariah menjadi platform ekonomi yang banyak menjadi pilihan di dunia.

 

"Realitas yang contradiktif terjadi hari ini 'ditersangka'kannya inisiator pasar muamalah yang juga merupakan irisan ekonomi syariah. ZS ditangkap dan diproses hukum dengan sangkaan yang menurut saya masih debatable dan berlebihan," ungkap Fickar.

 

Dia kemudian menjelaskan, bahwa Pasal 9 UU No.1/1946 yang berbunyi "Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun."

 

Menurutnya Pasal tersebut tidak tepat digunakan untuk menjerat Zaim Saidi. Karena yang dilarang adalah membuat mata uang yang seolah-olah berlaku di Indobesia ic rupiah, tetapi faktanya, Zaim hanya membuat atau memesan emas dari PT Antam.

 

"Realitasnya yang dibuat atau dipesan dari Antam adalah batangan kecil emas yang diidentifikasi sebagai mata uang dinar atau dirham. Jika ini dianggap sebagai pidana, maka Antam pun sebagai pembuatnya harus dipertanggung jawabkan," tegas Fickar.

 

Termasuk jika yang dimaksud membuat semacam kupon atau bentuk barang yang diidentifikasi sebagai alat bayar, maka tafsir ini juga berbahaya. Karena kata dia, banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon atau semacam benda yang dapat digunakan sebagai alat bayar dikasir tertentu akan dilarang juga seperti E&E atau TZ.

 

"Demikian halnya dengan sangkaan Pasal 33 UU No.7/2011 tentang mata uang, di mana tersangka ZS disangka tidak menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran dalam transaksi, juga masih debatable," kata Fickar.

 

Alasannya, ucap Fickar, pertama, apakah kepingan emas yang digunakan dan didentifikasi sebagai mata uang itu benar produk sebuah Negara dengan identifikasi seri mata uang atau hanya kepingan emas saja yang nilai tukarnya sama dengan berat ringannya. Jika benda yang disebut dirham itu bukan produk Negara yang mengeluarkan, maka polisi tidak bisa menjerat ZS dengan ketentuan ini.

 

Kedua, lanjut Fickar, jika tekanannya pada perbuatan mencari keuntungan, maka tidak tepat juga menerapkan pasal mata uang ini. Karena jika masyarakat yang membeli merasa dirugikan itu namanya penipuan, tetapi jika tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang menuntut, maka itu masuk pada ranah perdata perjanjian biasa sebagai sebuah kesepakatan, dan tangan pidana tidak dapat menjeratnya.

 

"Perbuatan ini baru bisa ditarik ke ranah pidana jika ada kepentingan umum yang terlanggar dalam hal ini 'menggunakan mata uang asing' dalam bertransaksi di Indonesia. Realitasnya belum tentu yang disebut dinar itu masuk kualifikasi sebagai mata uang, yang pasti ia benda berharga, yaitu logam mulia," kata Fickar.

 

"Hati-hati, jangan sampai timbul kesan bersyariah kok dipidanakan ? Kemana KNKS atau MES, kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Jangan membuat menara gading yang sulit dijangkau masyarakat, institusi ini bukan dibuat seperti sebagian akademisi yang melayang layang di atas awan," tambahnya. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.