Jakarta, SN – Penangkapan terhadap pendiri pasar Muamalah
Zaim Saidi adalah berlebihan. Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas
Trisaksi Abdul Fickar Hajar, Zaim Saidi ditangkap dan diproses hukum dengan
sangkaan yang menurut masih debatable.
"Polisi juga salah menilai dalam mempersangkakan dan menjerat Zaim Saidi," kata Fickar dalam keterangan tertulis, dilansir Republika, Kamis (4/2).
Dikatakan Fickar, semangat bersyariah tidak melulu
dicita-citakan dan digandrungi masyarakat muslim, sebagai sebuah "platform
yang adil". Ini justru menjadi pilihan banyak masyarakat yang tidak
terbatas pada masyarakat muslim saja.
Sebagai contoh, kata dia, pimpinan beberapa bank syariah di
Spore atau beberapa negara lain tidak diisi oleh mereka yang muslim. Kenapa?
Karena realitasnya ternyata ekonomi syariah menjadi platform ekonomi yang
banyak menjadi pilihan di dunia.
"Realitas yang contradiktif terjadi hari ini
'ditersangka'kannya inisiator pasar muamalah yang juga merupakan irisan ekonomi
syariah. ZS ditangkap dan diproses hukum dengan sangkaan yang menurut saya
masih debatable dan berlebihan," ungkap Fickar.
Dia kemudian menjelaskan, bahwa Pasal 9 UU No.1/1946 yang
berbunyi "Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas
dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat
pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima
belas tahun."
Menurutnya Pasal tersebut tidak tepat digunakan untuk
menjerat Zaim Saidi. Karena yang dilarang adalah membuat mata uang yang
seolah-olah berlaku di Indobesia ic rupiah, tetapi faktanya, Zaim hanya membuat
atau memesan emas dari PT Antam.
"Realitasnya yang dibuat atau dipesan dari Antam adalah
batangan kecil emas yang diidentifikasi sebagai mata uang dinar atau dirham.
Jika ini dianggap sebagai pidana, maka Antam pun sebagai pembuatnya harus
dipertanggung jawabkan," tegas Fickar.
Termasuk jika yang dimaksud membuat semacam kupon atau bentuk
barang yang diidentifikasi sebagai alat bayar, maka tafsir ini juga berbahaya.
Karena kata dia, banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon
atau semacam benda yang dapat digunakan sebagai alat bayar dikasir tertentu
akan dilarang juga seperti E&E atau TZ.
"Demikian halnya dengan sangkaan Pasal 33 UU No.7/2011
tentang mata uang, di mana tersangka ZS disangka tidak menggunakan rupiah
sebagai alat pembayaran dalam transaksi, juga masih debatable," kata
Fickar.
Alasannya, ucap Fickar, pertama, apakah kepingan emas yang
digunakan dan didentifikasi sebagai mata uang itu benar produk sebuah Negara
dengan identifikasi seri mata uang atau hanya kepingan emas saja yang nilai
tukarnya sama dengan berat ringannya. Jika benda yang disebut dirham itu bukan
produk Negara yang mengeluarkan, maka polisi tidak bisa menjerat ZS dengan
ketentuan ini.
Kedua, lanjut Fickar, jika tekanannya pada perbuatan mencari
keuntungan, maka tidak tepat juga menerapkan pasal mata uang ini. Karena jika
masyarakat yang membeli merasa dirugikan itu namanya penipuan, tetapi jika
tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang menuntut, maka itu masuk pada ranah
perdata perjanjian biasa sebagai sebuah kesepakatan, dan tangan pidana tidak
dapat menjeratnya.
"Perbuatan ini baru bisa ditarik ke ranah pidana jika ada kepentingan umum yang terlanggar dalam hal ini 'menggunakan mata uang asing' dalam bertransaksi di Indonesia. Realitasnya belum tentu yang disebut dinar itu masuk kualifikasi sebagai mata uang, yang pasti ia benda berharga, yaitu logam mulia," kata Fickar.
"Hati-hati, jangan sampai timbul kesan bersyariah kok
dipidanakan ? Kemana KNKS atau MES, kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi
tanggung jawabnya. Jangan membuat menara gading yang sulit dijangkau
masyarakat, institusi ini bukan dibuat seperti sebagian akademisi yang melayang
layang di atas awan," tambahnya. []