Latest Post

Fauzi Bahar, Mantan Wali Kota Padang, /Ist


Jakarta, SN – Aturan siswi muslim berjilbab di sekolah di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) ditetapkan atas bannyak pertimbangan.

 

Persoalan dugaan pemaksaan berjilbab bagi siswi nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang, dinilai hanya miss komunikasi antara pihak sekolah dengan orangtua siswa.

 

Hal itu ditegaskan Mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar. Dia menolak keras aturan wajib berjilbab bagi siswa di sekolah dihilangkan Pemerintah Provinsi Sumbar.

 

"Kalau aturan itu akan diubah, saya yang akan menentang terlebih dahulu," katanya kepada Klikpositif.com, Sabtu (23/1/2021).

 

Ia mengkhawatirkan jika aturan tersebut diubah, maka akan berpengaruh pada siswa muslim lainnya.

 

"Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tidak mau saya karena memperjuangkan segelintir orang ini, akan rusak generasi kita," katanya.

 

Seharusnya, kata eks Wali Kota Padang dua periode itu, siswi nonmuslim menyesuaikan dengan muslim yang mayoritas berada di Kota Padang.

 

"Masa generasi kita dikorbankan hanya karena segelintir orang. Nanti mereka dibebaskan tidak menggunakan jilbab malah generasi kita ikut-ikutan tidak menggunakan jilbab. Saya menentang keras itu," katanya.

 

Sebelumnya, Fauzi Bahar mengatakan, permasalahan dugaan pemaksaan berjilbab di sekolah itu hanya sebuah miss komunikasi.

 

"Kalau saya menilai, itu hanya miss komunikasi antara pihak sekolah dan orangtua siswa saja," katanya kepada Klikpositif.com, Sabtu (23/1/2021).

 

Menurutnya, pemakaian jilbab di sekolah itu dibuat ketika ia memimpin Kota Padang di tahun 2004. Fauzi Bahar sendiri menjabat Wali Kota Padang selama 10 tahun atau dua periode. "Kami membuat aturan itu dulunya bukan tanpa alasan," tegasnya.

 

Salah satunya alasannya agar para siswi terhindar dari penyakit demam berdarah (DBD) kala itu, "Kalau menggunakan pakaian pendek, siswa tidak sadar mereka digigit nyamuk saat belajar. Dengan seluruhnya tertutup, maka hal itu tidak akan terjadi," terangnya.

 

Fauzi mengklaim upaya tersebut mampu menurunkan tingkat penyebaran DBD di Kota Padang, khususnya di sekolah.

 

Selain itu, kata Fauzi, pemakain jilbab diratakan bagi siswi muslin dan nonmuslim untuk menghindari aksi pembulian.

 

"Niat kami dengan aturan itu agar terjadi pemerataan dan tidak terlihat siapa yang kaya dan miskin. Karena dengan menggunakan jilbab, perhiasan yang mereka gunakan tidak terlihat," tuturnya.

 

Sebelumnya, Kepala Disdik Sumbar, Adib Alfikri mengatakan, pihaknya akan mengusut tuntas persoalan ini sesuai aturan yang berlaku.

 

Adib menegaskan, tidak ada aturan bahwa siswi SMK atau pun SMA wajib memakai jilbab. Aturan ini berlaku setelah SMA sederajat berada di bawah naungan Disdik Sumbar.

 

"Yang perlu ditegaskan, tidak ada pemaksaan dan tidak ada aturan yang mengatur untuk itu dan semua kita mengacu pada peraturan dari kementerian," katanya memberikan keterangan kepada wartawan, Jumat (22/1/2021) malam.

 

Pihaknya juga mengaku telah menurunkan tim untuk menyelidiki dan mengumpulkan data soal kasus di SMKN 2 Padang.

 

"Jika nanti dalam laporan tim ada temuan yang terkait dengan adanya dugaan penyimpangan dan itu tidak sesuai dengan aturan, tentu kita akan proses sesuai dengan aturan yang berlaku," tegasnya.

 

Sementara itu, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi memberikan klarifikasi soal kisruh pemaksaan seorang siswi nonmuslim untuk memakai jilbab di sekolah yang dipimpinnnya.

 

Menurut Rusmadi, orang yang bicara dalam video viral di medsos itu memang orangtua murid ketika berbicara dengan guru Bimbingan Konseling (BK).

 

Hanya saja, soal pemanggilan wali murid ke sekolah, kata Rusmadi, itu adalah keinginan muridnya untuk membawa orangtuanya dan bukan pemanggilan pihak sekolah.

 

"Pertama-tama, kami meyampaikan permohonan maaf karena takut terjadi gesekan antar agama. Tapi perlu diluruskan, kedatangannya wali murid ke sekolah adalah keinginannya sendiri," katanya kepada awak media, Jumat (22/1/2021) malam.

 

"Saat kejadian itu, saya sebagai Kepsek berada di sekolah dan kedatangannya itu adalah keinginan siswi sendiri untuk mendatangkan orangtuanya ke sekolah dan tidak ada pemanggilan dari pihak sekolah," sambungnya.

 

Kasus ini viral setelah ayah siswi tersebut mengunggah video percakapannya dengan pihak sekolah lewat siaran langsung di akun Facebook bernama Elianu Hia pada Kamis (21/1/2021).

 

"Lagi di sekolah smk negri 2 padang. Saya di panggil karna anak saya tdk pakai jilbab, kita tunggu aja hasil akhirnya. Saya mohon di doakan ya," tulisnya sembari membagikan video tersebut.

 

Dalam video tersebut, Elianu tampak berdebat dengan salah satu guru. Ia menyayangkan peraturan tersebut dan mengaku keberatan jika anaknya harus mengenakan jilbab selama bersekolah.

 

"Bagaimana rasanya kalau anak Bapak dipaksa ikut aturan yayasan. Kalau yayasan tidak apa, ini kan (sekolah) negeri," kata Elianu.

 

Pihak sekolah pun bersikeras bahwa peraturan itu sudah disepakati sejak awal siswa masuk ke sekolah itu. Para guru mengaku tak bisa mebiarkan salah satu siswa melanggar aturan itu. []




Jakarta, SN – Letnan Jenderal Suryo Prabowo ikut menanggapi soal hinaan yang dilontarkan oleh akun facebook yang diduga adalah relawan pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin Ambroncius Nababan kepada mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.

 

Dalam unggahannya, Ambroncius Nababan yang kerap kali mengunggah konten yang kontroversi, hoaks, dan bernada ejekan kali ini mengunggah foto Natalius Pigai yang disamakan dengan Orang Utan.

 

Suryo Prabowo mengatakan kalau orang seperti Ambroncius Nababan adalah orang yang dapat membuat NKRI terbelah.

 

Komentar tersebut didasarkan pada unggahan Ambroncius Nababan yang bernada hinaan dan rasis.

 

"Pernyataan orang seperti Ambroncius Nababan ini yang bisa membuat NKRI terbelah," cuit Suryo Prabowo, sebagaimana dikutip dari akun Twitter @JSuryoP1 pada Sabtu, 23 Januari 2021.

 

Kicauan Suryo Prabowo sebenarnya menanggapi twit unggahan dari pakar telematika, Roy Suryo.

 

Di akun Twitternya, Roy Suryo mengatakan kalau pernyataan dari Ambroncius Nababan tersebut termasuk ke dalam wilayah rasis (SARA).

 

Dia juga menyebut kalau sikap Ambroncius Nababan sebagai tindakan yang tidak pantas.

 

"Tweeps, sebagai sesama warga NKRI, dari sabang sampai Merauke. Apa yang dilakukan Ambroncius Nababan terhadap @NataliusPigai2 ini sungguh2 sangat Rasis (SARA) dan tidak pantas," kata Roy Suryo.

 

Unggahan dari Suryo Prabowo sendiri mendapat tanggapan dari warganet.

 

Salah satu akun mengatakan bahwa orang seperti Ambroncius Nababan sudah seharusnya ditangkap.

 

Karena merupakan penghancur NKRI yang sesungguhnya. Oknum relawan Jokowi tersebut disebut juga memiliki sikap yang menunjukkan radikalisme dan intoleran.

 

"Harusnya ditangkap orang seperti ini (AN).. inilah penghancur NKRI sesungguhnya.. radikalis sesungguhnya.. intoleran sesungguhnya.. menghina ciptaan Tuhan adalah perbuatan yang tak bisa dimaafkan," cuit akun @ivan_putranto.

 

Sementara akun yang lain mengatakan kalau manusia rasis seharusnya ditangkap, bukan hanya didiamkan.

 

“Manusia rasis harusnya ditangkap bukan didiamkan. Atau mungkin mau ditangkap diam diam lalu di iris tipis tipis,” kata akun @ChavidNew.

 

Dia juga mempertanyakan sikap aparat yang dianggapnya diam saja dan membisu bila berhubungan dengan kekuasaan.

 

“Kenapa aparat selalu diam membisu bila berhubungan dengan pemujaan kekuasaan. Jangan biarkan rakyat mengambil jalan hukumnya sendiri,” kicaunya.

 

Diketahui, akun Ambroncius Nababan kerap mengunggah foto dirinya bersama dengan pejabat, menteri, dan bahkan bersama presiden.

 

Bahkan di satu kesempatan, Ambroncius Nababan berswafoto dengan Jokowi sembari memakai seragam projo relawan Jokowi-Ma'ruf Amin. Selain itu, ia juga berfoto dengan Erick Thohir dan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.***


 



Jakarta, SN – Draf revisi Undang-undang (UU) tentang Pemilu yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR tahun 2021 mengatur larangan bagi eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi calon peserta pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

 

Aturan itu kini ditulis secara gamblang atau tersurat seperti seperti larangan bekas eks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu. Selama ini, larangan bagi eks HTI tak pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.

 

Merujuk Pasal 182 Ayat (2) huruf jj dalam draf revisi UU Pemilu yang diterima CNNIndonesia.com, diatur persyaratan pencalonan bagi peserta pemilu bukan bekas anggota HTI, "Bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," bunyi pasal 182 Ayat (2) tersebut.

 

Selain itu, pada Pasal 311, Pasal 349 dan Pasal 357 draf revisi UU Pemilu juga mewajibkan para calon presiden dan calon kepala daerah wajib melampirkan persyaratan administrasi berupa surat keterangan dari pihak kepolisian sebagai bukti tak terlibat organisasi HTI.

 

"Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari kepolisian," bunyi pasal tersebut.

 

HTI sendiri sudah menjadi ormas terlarang di Indonesia. Status itu sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

 

Pencabutan badan hukum HTI merupakan tindak lanjut dari penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Dalan draf revisi UU Pemilu juga diatur bahwa pilkada berikutnya akan digelar pada 2022 dan 2023 mendatang.

 

Pilkada 2022 dihelat di daerah yang mana gubernur, bupati dan wali kota sudah menjabat sejak 2015. Salah satu daerah yang akan menggelar pilkada 2022 adalah Provinsi DKI Jakarta.[]




BEKERJA sia-sia bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas diberikan bagi Komnas HAM yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI pada 7 Desember 2020.


Harapan publik begitu besar atas kerja keras, transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM.

 

Menurut UU 39/1999 tentang HAM, Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM.

 

Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM.

 

Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan 6 anggota laskar FPI, yaitu:

 

Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan TPF independen, maka sesuai UU 26/2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2).

 

Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam kasus ini.

 

Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture) bahkan terkesan menghindar, hal ini merupakan pelanggaran  atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan.

 

Keempat, Komnas HAM keliru hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden.

 

Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan.

 

Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar "mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM".

 

Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri.

 

Jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja.

 

M. Rizal Fadillah

(Pemerhati politik dan kebangsaan)


Foto: Gedung Komnas HAM di Jakarta/Net
Diterbikan: oposisicerdas.com, diteruskan @SANCAnews.id


Disclaimer : Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.



OLEH: ARIEF GUNAWAN

WAKTU Indonesia mau merdeka bumiputera terdidik jumlahnya cuma sedikit. Lebih sedikit lagi lulusan universitas. Ketika Sukarno terjun ke lapangan politik, 1927, lulusan HBS (SMA) hanya 78 orang.

 

Orang Belanda pertama-tama bikin sekolah pertanian. Disusul sekolah kedokteran. Sekolah hukum termasuk belakangan. Ilmu-ilmu humaniora lebih dulu mereka kembangkan.

 

Namun konstruksi konstitusi dan ketatanegaraan Republik ini dibangun oleh para ahli hukum bumiputera yang jumlahnya tak banyak itu. Mereka umumnya bukan hanya memiliki bobot intelektualitas dan pemahaman ilmu yang tinggi, tetapi juga bernyali.

 

Bernyali maksudnya berani mengambil keputusan yang memihak rakyat, yang tercermin dari produk konstitusi mereka yaitu UUD 1945, yang kini banyak diselewengkan elit kekuasaan.

 

Sutan Sjahrir yang anak jaksa studi hukum di Leiden. Ali Sastroamidjojo, Mr Soepomo, Iwa Kusumasumantri, dan lainnya. Mereka memandang hukum sebagai Volkgeist (Jiwa Bangsa) yang waktu itu lagi sakit. Karena itu harus disembuhkan.

 

Penyelewengan konstitusi kini justru dipertontonkan.

 

Salah satunya presidential treshold, ambang batas pencalonan presiden 20 persen yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu. Aturan ini seperti jagal. Menutup peluang figur potensial jadi presiden.

 

"Mahkamah Konstitusi sangat berwenang menghapusnya, sebagai satu-satunya lembaga yang ditugaskan mengawal UUD '45, agar betul-betul diterapkan dalam pembentukan undang-undang," kata pakar hukum tatanegara Feri Amsari.

 

Presidential treshold 20 persen nyatanya memang tidak diatur UUD '45.

 

Pasal 6A ayat (2) UUD '45 tidak menyebut pembatasan dalam pencalonan presiden. Justru menegaskan setiap partai politik dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

 

"Jadi secara konstitusional keberadaan ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak dibenarkan," tegas Feri Amsari.

 

Tokoh nasional Dr. Rizal Ramli sendiri menggugat peraturan tersebut melalui judicial review. Mahkamah Konstitusi menolak meski presidential treshold bertentangan dengan UUD '45.

 

"Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi bahwa saya tidak punya legal standing untuk menggugat presidential threshold, kekanak-kanakan," kata Rizal Ramli.

 

Presidential threshold pernah digugat dua belas kali. Sebelas diantaranya diterima dan diproses oleh Mahkamah Konstitusi. Para penggugat adalah individu, termasuk Rizal Ramli, maupun individu yang mewakili organisasi, "Mereka takut banget saya gugat," kata Rizal lagi. 


Faktanya Rizal Ramli punya legal standing dalam melakukan gugatan. Pada 2009 Rizal didukung sembilan partai yang tergabung dalam blok perubahan, antara lain Partai Buruh Sejahtera, Partai Kedaulatan, Partai PNBK dan lain-lain, untuk menjadi calon presiden, "Itu bukti saya sebetulnya bisa mencalonkan diri," tandas Rizal.

 

Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi tidak masuk logika, sebab menyebut Rizal Ramli tak memiliki legal standing, karena tidak mewakili partai politik sebagai pihak yang berkepentingan dengan pencalonan presiden.

 

"Lho, yang mau kita ubah ini pola dan perilaku partai yang selalu dapat setoran dari calon presiden, karena presidential threshold 20 persen. Mereka tidak suka kalau dihapus," kata Rizal.

 

Sistem ambang batas presiden 20 persen merupakan legalitas dari sistem politik uang dan demokrasi kriminal yang merusak kehidupan bernegara.

 

Mengakibatkan kekuatan uang jadi sangat menentukan dalam pemilihan pemimpin di Indonesia. Kelompok utama yang mendukung sistem ini adalah bandar dan cukong.

 

"Saya yakin kalau berdebat soal ini hakim Mahkamah Konstitusi enggak berani. Mereka tidak percaya diri bisa menang argumen. Kami memang meragukan bobot intelektual hakim Mahkamah Konstitusi," papar Rizal Ramli.

 

Hal lainnya, 48 negara di dunia menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia, tapi tidak memberlakukan presidential threshold.

 

"Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi ketinggalan, karena kurang baca. 48 negara sudah meninggalkan sistem presidential treshold," tegas Rizal.

 

(Penulis adalah wartawan senior.)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.