Latest Post

Natalius Pigai jadi korban Rasisme dari para pendukung Jokowi/ Net



Jakarta, SN – Serangan rasis kembali dilakukan terhadap aktivis HAM asal Papua, Natalius Pigai. Jika sebelumnya dilakukan Permadi Arya alias Abu Janda, kali ini ujaran rasis tersebut dilakukan oleh Ambroncius Nababan.

 

Hal inipun memicu kecaman dari berbagai pihak. Bahkan, akun media sosial Twitter @albertsamuel28 meminta Kaesang Pangarep mengingatkan ayahnya, Presiden Joko Widodo.

 

Sebab, Ambroncius Nababan diduga relawan Jokowi dengan menjabat Ketua Umum Projamin.

 

"Sejak saya lahir sampe dewasa sekarang ini, baru di era Jokowi saya sering temukan orang Batak pendukung @jokowi yang rasis seperti ini terhadap orang Papua. @kaesangp, belum terlambat untuk kamu ingatkan bapak kamu agar dirinya bisa kontrol pendukungnya fanatisme seperti ini," cuit akun tersebut.

 

"Mohon agar teman-teman yang orang Batak tidak ikut tersinggung, yah. Terima kasih," tambahnya.

 

Baru-baru ini, beredar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ambroncius Nababan yang melontar ujaran rasis terhadap aktivis HAM Natalius Pigai.

 

Parahnya lagi, Ambroncius diduga merupakan relawan Presiden Joko Widodo. Ujaran tersebut telah beredar dan membuat heboh media sosial.

 

Sejumlah netizen pun mengecam aksi tersebut. Namun berdasar penelusuran Indozone.id, akun Facebook Ambroncius diduga telah dihapus setelah unggahannya viral. Meski demikian, unggahan-unggahan tersebut sudah beredar luas di media sosial.

 

"Mohon maaf yg sebesar-besar nya. Vaksin sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?" tulis akun Facebook Ambroncius Nababan pada Selasa (12/1/2021).

 

Berdasarkan penelusuran, Ambroncius diduga menjabat sebagai Ketua Umum Projamin. Namun yang bersangkutan belum dapat dimintai konfimasi mengenai hal ini, dikutip Gelora.co, Jumat (23/1/21).

 

Sementara itu, kecaman sudah beredar luas di media sosial.

"Contoh kelakuan rasis : (trus saya diblock...) pintar! Kl ada yg mau, direport saja org tsb. Kalau suku - suku lain di Indonesia, yang merasa dirinya lebih cakep secara fisik dibandingkan orang - orang Papua terus saja mengolok - olok orang Papua, maka jangan marah kalau mereka minta merdeka," tulis akun Facebook Kezia Dewi.

 

"Gilak nih orang. Rasisnya sudah kelewatan. Kenapa orang-orang kayak gini bebas menebar kebencian dan permusuhan?" tulis akun Facebook Wendra Setiawan. (**)



Contoh kelakuan rasis : (trus saya diblock... 😆) pintar! Kl ada yg mau, direport saja org tsb. Kalau suku - suku lain...

Posted by Kezia Dewi on Wednesday, January 20, 2021

Gilak nih orang. Rasisnya sudah kelewatan. Kenapa orang-orang kayak gini bebas menebar kebencian dan permusuhan? https://www.facebook.com/ambroncius.nababan

Posted by Wendra Setiawan on Wednesday, January 20, 2021

 



Jakarta, SN – Aparat kepolisian diminta bersikap adil dalam mengatasi isu bernada SARA yang terjadi di negeri ini. Seperti kasus rasial terbaru yang menimpa mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.

 

Perlakuan rasial itu tersirat dari apa yang dilakukan Ketua Relawan Pro Jokowi Amin (Projamin), Ambroncius Nababan.

 

Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma menilai aksi Ambroncius yang seolah menyamakan Natalius Pigai dengan seekor gorila sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa didiamkan begitu saja. Dia mendesak aparat kepolisian bisa adil dalam melihat kasus tersebut.

 

“Sudah berkali-kali Natalius Pigai mendapat perlakuan rasis. Kali ini Ambroncius Nababan yang bahkan menyamakan Natalius dengan Gorilla. Ini sangat keterlaluan dan jelas tindakan rasis yang tidak sedikitpun mencerminkan manusia Indonesia yang ber-Pancasila,” ujarnya kepada redaksi RMOL, Minggu (24/1).

 

“Karena itu, kami meminta polisi segera menangkap orang itu,” sambung Lieus.

 

Lieus menjelaskan bahwa dalam postingan di akun Facebook pribadi pada Selasa (12/1), Ambroncius Nababan kedapatan memasang foto Natalius berdampingan dengan seekor Gorilla dengan tambahan kalimat yang berbunyi;  “Mohon maaf yg sebesar-besarnya. Vaksin sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?”.

 

Namun unggahan itu, duga Lieus, sudah dihapus karena tak ada lagi di FB milik Ambroncius. Hanya saja, unggahan tersebut telah viral dan beredar luas di media sosial.

 

Menurut Lieus, penghinaan dan tindakan rasis Ambroncius Nababan yang diduga menjabat sebagai Ketua Umum Projamin itu tidak bisa dibenarkan.

 

“Ini rasisme yang sangat parah. Seolah dia orang yang paling kecakepan di negeri ini dengan mengata-ngatai dan menyamakan Natalius yang asal Papua itu seperti gorilla. Biadab sekali pola pikir orang ini,” tegas Lieus.

 

Ditambahkan Lieus, janganlah perbedaan pendapat atau dukungan dalam politik menjadikan bangsa ini jadi kehilangan adab.

 

“Tak ada satupun manusia di bumi ini yang sempurna. Sikap seperti si Ambroncius inilah yang memecah belah bangsa ini dan membuat orang-orang Papua minta merdeka,” kata Lieus.

 

Lieus mengaku tidak habis pikir kenapa saat ini orang-orang penyebar kebencian dan bersikap rasis seperti Ambroncius Nababan ini seakan mendapat angin dari pemerintah.

 

“Mereka seolah-olah bebas melakukan dan mengatakan apa saja. Jika hal seperti ini terus  dibiarkan, maka akan sulit bagi bangsa ini untuk tetap bersatu dalam bingkai kebhinnekaan,” katanya lagi.

 

Oleh karena itu, tambah Lieus, sebelum semuanya terlambat, Polisi harus segera bertindak.

 

“Tangkap orang ini karena dia telah menimbulkan keresahan dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan,” ujar Lieus.

 

“Jangan karena dia relawan Jokowi dan merasa punya kedekatan dengan para pejabat di negeri ini, dia bisa berbuat sesukanya dan polisi memdiamkannya. Padahal kalau yang melakukan penghinaan itu orang yang lain, polisi sangat cepat bertindak,” ujar Lieus kesal.(sanca)




Jakarta, SN – Aksi Ketua Relawan Pro Jokowi Amin (Projamin), Ambroncius Nababan yang diduga menghina aktivis Papua, Natalius Pigai secara rasial ternyata mendapat kecaman dari sesama relawan Jokowi.

 

Salah satunya dari Barisan Nusantara (Baranusa), yang apda Pilpres 2019 lalu turut mendukung pemenangan Joko Widodo.

 

“Kami mengecam ucapan Ambroncius Nababan karena hal tersebut rasis dan sangat mengundang perpecahan," ujar Ketua Umum Baranusa, Adi Kurniawan kepada Kantor Berita Politik RMOL

 

Sikap Ambroncius dalam menyikapi perbedaan sikap politik, kata Adi, tidak patut didukung karena dapat membuat situasi semakin gaduh.

 

"Sebab itu, menurut saya Ambron harus segera menarik ucapannya dan meminta maaf karena ini menyangkut nama baik daerah Papua," tegas Adi.

 

Dia mengingatkan bahwa ucapan rasis Ambroncius dapat mengundang gejolak masyarakat di Papua.

 

"Ini kelakuan relawan Jokowi yang bisa mengundang perpecahan, rasis dan tidak beradab," pungkas Adi.(sanca)



Pernyataan orang seperti Ambroncius Nababan ini yg bisa membuat NKRI terbelah 😡 https://t.co/DJvwne5Iuw

— J Suryo Prabowo (@JSuryoP1) January 23, 2021




SETELAH anak Pak Lurah sekarang muncul tokoh baru yang disebut "Madam" dalam rentetan korupsi bantuan sosial yang mengalir sampai jauh.

 

Dua tokoh itu sama-sama misterius karena tidak diungkap identitasnya dengan jelas. Tokoh Pak Lurah kemudian diasosiasikan kepada Jokowi, dan anak Pak Lurah langsung dikaitkan dengan anak-anak Jokowi.

 

Tentu saja menjadi pertanyaan anak Jokowi yang mana, karena anak Jokowi bukan cuma satu. Maka yang ketiban abu panas adalah Gibran Rakabuming Raka, anak mbarep Jokowi yang baru saja mulus menang di pilwali Solo melawan calon dagelan.

 

Si Anak Pak Lurah ini disebut-sebut memberi rekom bagi perusahaan tertentu di Solo supaya dapat proyek dari Kemensos. Anak Pak Lurah sudah membantah tudingan ini, dan sampai sekarang belum ada perkembangan baru.

 

Beberapa hari belakangan ini muncul tokoh baru yang diidentifikasikan sebagai Madam.

 

Jatidirinya misterius. Tidak ada inisial yang disebut. Tidak juga disebutkan apakah Madam itu anak Pak Lurah atau bukan, karena anak Pak Lurah juga ada yang perempuan, Kahiyang Ayu yang sekarang menjadi Madam Walikota Medan.

 

Sebutan Madam sangat mungkin berkaitan dengan tokoh perempuan karena madam adalah istilah Inggris "Madame" yang merujuk pada gelar aristokrasi bangsawan tinggi. Jadi sangat mungkin tokoh Madam bukan Pak Lurah tapi Bu Lurah.

 

Sang Madam ini dikait-kaitkan dengan petinggi partai politik tertentu. Tidak jelas apakah yang dimaksud petinggi partai ini adalah petinggi yang tertinggi atau petinggi tapi bukan tertinggi. Kalau yang dimaksud petinggi partai adalah orang tertinggi dalam hirarki partai apakah yang dimaksud adalah ketua umum partai atau lainnya.

 

Harap maklum, di negeri +62 ini ada ketua umum parpol dan ada juga owner parpol, dua-duanya sama-sama petinggi, tapi owner jauh lebih powerful dibanding ketua partai meskipun tidak punya jabatan resmi. Jangan keliru, owner bukan sebutan untuk pemilik partai, tapi lebih kepada bandar, bohir, atau cukong yang membiayai partai.

 

Maklumlah di negeri ini ada ketua partai yang didapuk sebagai pajangan saja dan kekuasaan yang sebenarnya ada di bohir yang mendanai partai.

 

Madam ketua parpol tidak banyak di Indonesia hanya satu gelintir atau dua gelintir saja. Dan dalam kasus korupsi bansos ini Sang Madam dikait-kaitkan dengan Partai PDIP karena menteri yang dicokok KPK berasal dari partai itu proyek triliunan rupiah disebut-sebut mengalir ke orang-orang yang berkaitan dengan partai itu.

 

Beda dengan Pak Lurah yang langsung mengarah pada figur tertentu, Sang Madam masih misterius. Mungkin saja Sang Madam ini adalah Bu Lurah yang menjadi lurah di parpol, atau mungkin juga Anak Bu Lurah yang juga punya jabatan petinggi di parpol itu.

 

Semakin besar skala korupsi semakin rumit jaringannya dan semakin canggih operasionalisasinya. Setelah terbongkar publik bisa terkaget-kaget betapa tidak bermoralnya praktik korupsi ini. Dalam kasus korupsi bansos ini terlihat bahwa para koruptor itu levelnya sudah seperti Jin Ifrit yang lebih jahat dari Iblis.

 

Katanya ada wacana agar pelaku korupsi bansos dihukum mati. Tapi publik paling cuma ketawa-ketawa saja karena sudah hafal di luar rambut soal sandiwara hukum di negeri ini. Di China koruptor dipotong lehernya, di Arab Saudi koruptor dipotong tangannya, di Indonesia koruptor dipotong masa tahanannya.

 

Di tengah musim pandemi rakyat diminta melakukan 3 M, tapi di tengah pandemi sang menteri malah dapat 7 M.

 

Korupsi-korupsi gigantik selalu melahirkan tokoh-tokoh yang misterius yang tidak boleh disentuh karena mereka memang orang-orang yang tidak tersentuh, The Untouchables. Jangankan disentuh, disebut nama pun tidak boleh. Dia hanya boleh disebut the supremo, the boss, pak ketua, atau pak lurah. Bahkan, dalam dunia mafia tertinggi tidak boleh ada sebutan apapun bagi orang tertinggi itu saking sakral dan misteriusnya. Ketika ingin menyebutnya cukup dengan menyebut "beliau" sambil tangan kita membuat isyarat tertentu misalnya menyentuh ujung telinga kiri.

 

Itulah kode-kode khusus para mafioso kelas atas yang canggih. Komunikasi di kalangan mereka bersifat isoteris, hanya dipahami oleh kalangan mereka sendiri. Karena itu pernah ada istilah "Apple Washington" untuk menyebut mata uang dolar.

 

Pada 2012 anggota DPR RI, Angelina Sondakh, divonis 12 tahun penjara setelah banding, ditambah denda Rp 500 juta karena terbukti menerima uang tidak sah.

 

Salah satu sandi yang dipakai Sondakh adalah "apel Washington" untuk menyebut pembayaran dengan mata uang dolar Amerika.

 

Sejak itu bermunculan kata-kata sandi yang kemudian banyak dipakai dalam pembicaraan umum dan menjadi kosakata dan diksi baru.

 

Misalnyan kata "meter" dipakai untuk menyebut "miliar", karena singkatannya sama-sama huruf "M". Sepuluh meter berarti sepuluh miliar.

 

Lalu ada kata "ton" untuk menyebut "triliun" karena awalannya sama-sama huruf "T". Satu ton berarti satu triliun.

 

Bahasa dan semiotika korupsi memang selalu rumit dan berbelit. Dr Aceng Abdullah, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung meneliti semiotika korupsi ini dalam disertasi doktoralnya berjudul "Komunikasi Korupsi: Studi Etnografi Komunikasi Tentang Bahasa yang Digunakan dalam Aktivitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme" (2013).

 

Abdullah menemukan adanya bahasa isoterik yang hanya dipakai dan dipahami secara terbatas dan tertutup di kalangan pelaku korupsi.

 

Abdullah mengidentifikasi sedikitnya 11 istilah yang banyak dipakai untuk mengaburkan korupsi, misalnya uang lelah, uang bensin, dan bahkan shodaqah.

 

Studi terbaru dari Aspinall dan Berenschot (2019) "Democracy for Sale" juga menyoroti peliknya korupsi klientelisme yang melibatkan anggaran negara, melalui bagi-bagi proyek dari pejabat (patron) dan pengusaha (klien) sebagai imbalan dukungan politik.

 

Aspniall dan Berenschot menyorot beda peran parpol di Indonesia, di India, dan di Argentina. Di dua negara itu anggota partai beroperasi sampai ke desa-desa untuk menjadi ujung tombak partai dan menjaring apa saja persoalan rakyat untuk disampaikan ke partai. Penguasa partai setempat kemudian mencarikan solusi untuk mengatasi persoalan itu. Mesin partai berjalan secara aktif sepanjang waktu.

 

Di Indonesia mesin partai hanya berjalan lima tahun sekali saat pemilu atau pilkada, itu pun fungsinya lebih banyak bagi-bagi sembako, sarung, dan amplop politik uang. Praktik vote buying sudah menjadi hal yang jamak di Indonesia dan ujung tombaknya adalah kader partai bersama tim sukses.

 

Kasus korupsi di Partai Demokrat pada 2012 menunjukkan bahwa jaringan korupsi di lingkungan partai berkait berkelindan satu sama lain dengan rapi dan rahasia. Partai Demokrat ketika itu gencar melakukan kampanye "Say No to Corruption", tapi dalam waktu bersamaan sejumlah pengurus partai yang menjadi bintang iklan itu malah ramai-ramai dicokok KPK dan mendekam di penjara.

 

Selain "Madam Angelina Sondakh", nama-nama lain yang menghuni penjara adalah Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Nazarudin, bendahara umum Demokrat yang bertugas mengumpulkan uang dengan cara menggarong anggaran dan mencari rente dari proyek-proyek negara

 

Partai Demokrat relatif cepat dan tuntas menyelesaikan kasus korupsi ini meskipun ketika itu "Anak Pak Lurah" juga disebut-sebut tapi lolos juga.

 

Kali ini PDIP akan diuji apakah bisa menyelesaikan jaringan korupsi ini secara tuntas dengan berani mengorbankan Anak Pak Lurah atau Sang Madam yang bisa membongkar rantai korupsi yang panjang dan berliku. Jawabannya agak meragukan, karena dalam kasus Harun Masiku saja sampai sekarang pat gulipat masih tetap berlipat dan sulit diungkap.

 

Kisah tradisional China menyebut biang korupsi ibarat pohon besar. Sekali pohon itu ditebang maka monyet-monyet akan berhamburan. Sang Madam dan Anak Pak Lurah adalah pohon besar itu. Kalau dua-duanya ditebang maka para koruptor kelas monyet pasti akan berhamburan. **

 

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

(Wartawan senior, yang juga Wakil Ketua Bidang Komunikasi Politik dan Media DPW PAN Jatim)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.