Latest Post



Jakarta, SN – Sindiran pedas nampaknya belum berhenti dikeluarkan politisi Partai Demokrat Roy Suryo kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini, sindiran itu dikeluarkan Roy Suryo saat foto-foto Risma meninjau lokasi  bencana, dari gempa di Mamuju sampai Banjir di Halmahera Utara.

 

Pada foto pertama, Mensos Risma terlihat ikut membungkus nasi di area tenda pengungsi bencana bersama sejumlah orang lainnya. Sementara pada foto kedua, terlihat momen saat Mensos Risma berkalung toa ikut mengangkat kayu di lokasi pengungsian.

 

Sontak saja, foto-foto itu langsung mendapatkan sorotan tajam dari pakar telematika tersebyt. Lewat jejaring Twitter miliknya pada Rabu (22/1/2021) membagikan dua potret Mensos Risma saat sedang berada di tempat pengungsian.

 

"Tweeps, kali ini coba kita positive thinking saja, bagaimana? Apa tanggapan netizen melihat 2 foto Mansos di lokasi bencana ini," ujar Roy Suryo, seperti dikutip Suara.com.

 

"Ikut masak dan bungkus-bungkus nasi bungkus. Ikut angkat-angkat kayu di pengungsian," sambungnya menerangkan isi foto.

 

Setelahnya, Roy Suryo mulai menuliskan sedikit tanggapan soal foto aksi Mensos Risma tersebut, "Harus bilang WOW kah? Jangan salah sebut jadi 'positif tinsing' ya... Ambyar!" tandas Roy Suryo.

 

Roy Suryo mengomentari aksi Mensos Risma di pengungsian (Twitter/KRMTRoySuryo2).

 

Sebelumnya, pemberitaan Mensos Risma yang kocar-kacir saat gempa disorot oleh Roy Suryo. Dia merasa kasihan. Hanya saja, cuitannya disertai dengan emoji tertawa terpingkal-pingkal.

 

"Dalam bahasa jawa, ini yang disebut 'ngono yo ngono, ning ojo ngono'. Meski (fakta) memang begitu, tetapi (mbok) tidak usah (sampai ditulis) begitu," tulis Roy Suryo lewat jejaring Twitter miliknya, Minggu (17/1/2021).

 

Roy Suryo menguraikan alasan dia merasa kasihan dengan Mensos Risma. Kata dia, mensos sudah bingung mencari angle pemotretan yang tepat untuk disebarluaskan, tetapi berita malah pakai sudut pandang lain.

 

"Kasihan lah dia, sudah bingung mau cari angle yang tepat buat jeprat-jepret dan tayang. Malah beritanya begitu. Ambyar," tukas Roy Suryo disertai emoji tertawa.[sanca]


Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi/ Net



Jakarta, SN – Tim penyidik Bareskrim Polri telah melakukan tahap I pelimpahan berkas perkara kasus tes swab Habib Rizieq Shihab di RS UMMI ke Kejaksaan. Berkas perkara Habib Rizieq dan dua tersangka lainnya dilimpahkan kemarin.

 

"Berkas perkara tiga tersangka kasus RS UMMI sudah tahap I kemarin," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi, saat dihubungi, Kamis (21/1/2021).

 

Dalam kasus ini, tim penyidik Bareskrim Polri menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Habib Rizieq Shihab; menantu Habib Rizieq, Muhammad Hanif Alatas; dan Dirut RS Ummi Andi Tatat.

 

Kasus RS UMMI terkait tes swab Habib Rizieq bermula saat Andi Tatat dilaporkan ke polisi. Andi Tatat dilaporkan Satgas COVID-19 Kota Bogor dengan laporan bernomor LP/650/XI/2020/JBR/POLRESTA BOGOR KOTA tertanggal 28 November 2020.

 

Andi Tatat dilaporkan karena dinilai menghalang-halangi upaya Satgas melakukan swab test terhadap Habib Rizieq. Saat Satgas hendak melakukan swab test, Habib Rizieq sedang menjalani perawatan di RS UMMI Bogor. Polisi mengatakan Andi Tatat bertanggung jawab atas data hasil swab test Habib Rizieq.

 

"Dia (Dirut RS Ummi) penanggung jawab di situ. Dan Rumah Sakit Ummi itu rumah sakit rujukan COVID," kata Brigjen Andi saat dihubungi detikcom, Selasa (12/1).

 

Meski demikian, hingga saat ini tim penyidik belum melakukan penahanan terhadap dua tersangka yakni Hanif dan Juga Andi Tatat. Tidak ditahannya keduanya karena berbagai pertimbangan.

 

"Karena tidak semua orang yang berhadapan dengan hukum harus ditahan," ujar Andi, Sabtu (16/1).(dtk)


Ubedilah Badrun/ Ist



Jakarta, SN – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Rizal Ramli (RR) soal ambang batas pencalonan presiden dinilai berpihak pada kekuasaan dan dapat mempengaruhi kualitas presiden Indonesia di masa depan.

 

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menilai jalan pikiran hakim MK tidak progresif. Mereka tidak memiliki niatan untuk memikirkan masa depan demokrasi yang berkualitas.

 

"Tentu ini keputusan yang tidak berpikir ke depan, tidak progresif, tidak memikirkan masa depan Indonesia dan masa depan demokrasi yang berkualitas," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (21/1).

 

Ubedilah pun mempertanyakan kredibilitas argumen lima dari sembilan hakim MK yang menolak gugatan RR. Di mana, MK menilai bahwa permohonan RR tidak dapat diterima karena lemahnya legal standing.

 

"Saya mencermati putusan MK ini aneh, sebab sebelumnya 12 gugatan kepada MK tentang threshold dengan individu dan lembaga, 11 dari 12 gugatan itu diperkenankan dibahas, diadili oleh MK. Jadi sebenarnya legal standing mereka sama seperti Rizal Ramli," jelas Ubedilah.

 

Tak pelak, sambungnya, putusan MK atas gugatan RR itu memunculkan dugaan kuat bahwa MK tidak menjalankan fungsinya dengan benar.

 

"Terlihat lebih berpihak pada kekuasaan. Rasa keadilan terlihat diabaikan. Jadi jika ada yang mengatakan MK itu bukan Mahkamah Konstitusi tapi Mahkamah Kekuasaan itu ada benarnya," pungkasnya.(RMOL)




Oleh: M. Rizal Fadillah

Demokrasi terpimpin telah dimulai.

PRESIDEN telah menandatangani dan memberlakukan Perpres No. 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

 

Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah "seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia".

 

Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu?

 

Terlebih jika dihubungkan dengan "mengancam rasa aman dan stabilitas nasional". Adakah kasus HRS dan FPI yang baru saja terjadi adalah model ancaman yang dimaksud?

 

Pentingnya kewaspadaan tentu dapat dipahami, akan tetapi jika berlebihan maka menjadi kontra produktif, tidak sehat, serta menciptakan kultur saling curiga.

 

Sosialisasi hingga pelatihan untuk mengadukan atau melaporkan kepada yang berwenang atas dasar kecurigaan dapat membangun budaya "main lapor" seenaknya atau rekayasa.

 

Budaya ini berbahaya dan dapat mengancam iklim demokrasi. Sikap kritis akan mudah dituduhkan sebagai ekstrimisme. Sementara pendukung kekuasaan atau mungkin penjilat menjadi nyaman dalam perilakunya yang  sebenarnya juga ekstrim, radikal, atau intoleran. Bernuansa teror pula.

 

Setelah dibombardir dengan isu dan  program deradikalisasi, anti kemajemukan, dan lainnya kini rakyat ditambah beban baru berupa penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme. Masyarakat terus ditakut-takuti dengan doktrin yang rumusannya bersifat multi tafsir atau bias makna.

 

Perpres 7/2021 ini berbahaya, karena: 

Pertama, dasar hukum Perpres yang tidak kuat. Jika dimaksud adalah UU 5/2018 yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, maka hal ini tidak adekuat. Terorisme memiliki rumusan delik yang jelas sedangkan ekstrimisme tidak.

 

Semestinya derivasi aturan pun adalah Peraturan Pemerintah bukan Perpres yang merumuskan "ekstrimisme" itu bias dan memungkinkan untuk ditarik kemana-mana meskipun dengan kalimat "berbasis kekerasan"

 

Kedua, melibatkan banyak kementrian, instansi, atau badan dan lembaga menyebabkan "ekstrimisme" menjadi isu di banyak ruang dan bidang. Program pelatihan kepada penceramah dan ruang ibadah sebagai contoh kegiatan yang dinilai tendensius.

Ekstrimisme yang diatur oleh Perpres menjadi racun baru yang dipaparkan ke publik, doktrin keseragaman, serta legalisasi untuk tindakan membungkam demokrasi.

 

Ketiga, sosialisasi yang masif dengan melibatkan banyak institusi adalah kebijakan membuka banyak proyek komersial berbasis ideologi. Dana negara  yang akan dihambur-hamburkan atas nama program strategis.

 

Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada "kegaduhan" radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk  menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi.

 

Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis. Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan di bawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya.

 

Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan, ditambah calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa kemana negara ini?

 

Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris.


Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini. (Pemerhati politik dan kebangsaan.). [gelora]





Jakarta, SN – Kelakuan mantan anggota DPRD Nusa Tenggara Barat berinisial AA sungguh keterlaluan. AA tega memperkosa anak kandungnya sendiri saat istrinya sedang menjalani perawatan di rumah sakit akibat terpapar Covid-19.

 

Korban yang merupakan anak kandung AA dari istri keduanya ini adalah seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA. Dalam laporannya di Mapolresta Mataram, korban mengaku mendapat perlakuan tidak senonoh dari ayah kandungnya pada 18 Januari 2021.

 

Kepada polisi, korban mengaku perbuatan itu terjadi ketika ibu kandungnya sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit karena terjangkit Covid-19.

 

“Berdasarkan hasil gelar perkara, kini yang bersangkutan kami tetapkan sebagai tersangka,” kata Kasat Reskrim Polresta Mataram Kompol Kadek Adi Budi Astawa di Mataram, Rabu (20/1), dikutip dari Antara.

 

Salah satu alat bukti yang menguatkan AA sebagai tersangka adalah hasil visum luar alat kelamin korban. Dalam catatan medis korban, menurut dia, terdapat luka pada alat kelamin korban. Begitu juga pada bagian payudara korban.

 

“Jadi kuat dugaan ada upaya paksa yang dilakukan pelaku terhadap korban,” ucapnya.

 

Dari hasil gelar perkara, kata Kadek Adi, perbuatan yang diduga dilakukan AA telah memenuhi unsur Pasal 82 Ayat 2 Perppu 1/2016 jo Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

 

“Kami terapkan ayat 2 karena yang bersangkutan ini adalah ayah kandung korban, sehingga ada tambahan sepertiga ancaman hukuman dari pidana pokoknya,” ujar dia.

 

Sesuai sangkaan pidananya, AA yang sudah lima periode menjabat sebagai anggota legislatif ini terancam pidana 20 tahun penjara. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.