Latest Post



Oleh: M. Rizal Fadillah

Demokrasi terpimpin telah dimulai.

PRESIDEN telah menandatangani dan memberlakukan Perpres No. 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

 

Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah "seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia".

 

Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu?

 

Terlebih jika dihubungkan dengan "mengancam rasa aman dan stabilitas nasional". Adakah kasus HRS dan FPI yang baru saja terjadi adalah model ancaman yang dimaksud?

 

Pentingnya kewaspadaan tentu dapat dipahami, akan tetapi jika berlebihan maka menjadi kontra produktif, tidak sehat, serta menciptakan kultur saling curiga.

 

Sosialisasi hingga pelatihan untuk mengadukan atau melaporkan kepada yang berwenang atas dasar kecurigaan dapat membangun budaya "main lapor" seenaknya atau rekayasa.

 

Budaya ini berbahaya dan dapat mengancam iklim demokrasi. Sikap kritis akan mudah dituduhkan sebagai ekstrimisme. Sementara pendukung kekuasaan atau mungkin penjilat menjadi nyaman dalam perilakunya yang  sebenarnya juga ekstrim, radikal, atau intoleran. Bernuansa teror pula.

 

Setelah dibombardir dengan isu dan  program deradikalisasi, anti kemajemukan, dan lainnya kini rakyat ditambah beban baru berupa penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme. Masyarakat terus ditakut-takuti dengan doktrin yang rumusannya bersifat multi tafsir atau bias makna.

 

Perpres 7/2021 ini berbahaya, karena: 

Pertama, dasar hukum Perpres yang tidak kuat. Jika dimaksud adalah UU 5/2018 yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, maka hal ini tidak adekuat. Terorisme memiliki rumusan delik yang jelas sedangkan ekstrimisme tidak.

 

Semestinya derivasi aturan pun adalah Peraturan Pemerintah bukan Perpres yang merumuskan "ekstrimisme" itu bias dan memungkinkan untuk ditarik kemana-mana meskipun dengan kalimat "berbasis kekerasan"

 

Kedua, melibatkan banyak kementrian, instansi, atau badan dan lembaga menyebabkan "ekstrimisme" menjadi isu di banyak ruang dan bidang. Program pelatihan kepada penceramah dan ruang ibadah sebagai contoh kegiatan yang dinilai tendensius.

Ekstrimisme yang diatur oleh Perpres menjadi racun baru yang dipaparkan ke publik, doktrin keseragaman, serta legalisasi untuk tindakan membungkam demokrasi.

 

Ketiga, sosialisasi yang masif dengan melibatkan banyak institusi adalah kebijakan membuka banyak proyek komersial berbasis ideologi. Dana negara  yang akan dihambur-hamburkan atas nama program strategis.

 

Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada "kegaduhan" radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk  menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi.

 

Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis. Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan di bawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya.

 

Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan, ditambah calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa kemana negara ini?

 

Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris.


Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini. (Pemerhati politik dan kebangsaan.). [gelora]





Jakarta, SN – Kelakuan mantan anggota DPRD Nusa Tenggara Barat berinisial AA sungguh keterlaluan. AA tega memperkosa anak kandungnya sendiri saat istrinya sedang menjalani perawatan di rumah sakit akibat terpapar Covid-19.

 

Korban yang merupakan anak kandung AA dari istri keduanya ini adalah seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA. Dalam laporannya di Mapolresta Mataram, korban mengaku mendapat perlakuan tidak senonoh dari ayah kandungnya pada 18 Januari 2021.

 

Kepada polisi, korban mengaku perbuatan itu terjadi ketika ibu kandungnya sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit karena terjangkit Covid-19.

 

“Berdasarkan hasil gelar perkara, kini yang bersangkutan kami tetapkan sebagai tersangka,” kata Kasat Reskrim Polresta Mataram Kompol Kadek Adi Budi Astawa di Mataram, Rabu (20/1), dikutip dari Antara.

 

Salah satu alat bukti yang menguatkan AA sebagai tersangka adalah hasil visum luar alat kelamin korban. Dalam catatan medis korban, menurut dia, terdapat luka pada alat kelamin korban. Begitu juga pada bagian payudara korban.

 

“Jadi kuat dugaan ada upaya paksa yang dilakukan pelaku terhadap korban,” ucapnya.

 

Dari hasil gelar perkara, kata Kadek Adi, perbuatan yang diduga dilakukan AA telah memenuhi unsur Pasal 82 Ayat 2 Perppu 1/2016 jo Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

 

“Kami terapkan ayat 2 karena yang bersangkutan ini adalah ayah kandung korban, sehingga ada tambahan sepertiga ancaman hukuman dari pidana pokoknya,” ujar dia.

 

Sesuai sangkaan pidananya, AA yang sudah lima periode menjabat sebagai anggota legislatif ini terancam pidana 20 tahun penjara. []


Pandji Pragiwaksono: FPI Selalu Ada Saat Dibutuhkan/Ist



Jakarta, SN – Aktor dan komedian, Pandji Pragiwaksono menilai langkah pemerintah membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI), bukan langkah yang tepat. Sebab akan muncul para simpatisan FPI ini dengan bentukan ormas yang berbeda.

 

“Ngebubarin itu percuma, karena nanti akan ada yang lain lagi, Front Pejuang Islam atau lainnya. Ngebubarin percuma kaya nutup situs bokep, entar juga kebuka lagi ga ada hujungnya gitu,” ujar Pandji ketika berdiskusi secara virtual dengan dua mantan anggota FPI, seperti dilansir dari chanel YouTubenya, Rabu (20/1).

 

Pandji Pragiwaksono mengatakan, di masyarakat ada banyak para simpatisan FPI. Terlebih lagi di kalangan bawah. Itu karena FPI selalu ada ketika masyarakat kalangan bawah meminta bantuan. Menurut Pandji Pragiwaksono, pendapat itu dia dengar dari Sosiolog Thamrin Amal Tomagola.

 

“FPI itu dekat dengan masyarakat. ini gue dengar dari Pak Thamrin Tomagola, dulu tahun 2012, kalau misalnya ada anak mau masuk di sebuah sekolah, kemudian ga bisa masuk, itu biasanya orang tuanya datangi FPI minta surat. Dibikinin surat ke FPI, dibawa ke sekolah, itu anak bisa masuk, terlepas dari isi surat itu menakutkan atau tidak, tapi nolong warga gitu,” ujar Pandji.

 

Pandji melanjutkan, FPI terkenal dan disukai di masyarakat kalangan bawah ketika para elit dari ormas Islam besar, yakni Nahdaul Ulama (NU) dan Muhammadiyah jauh dari masyarakat.

 

“FPI itu hadir gara-gara dua ormas besar Islam (NU dan Muhamamdiya) jauh dari rakyat. Mereka elit-elit politik. Sementara FPI itu dekat. Kalau ada yang sakit, ada warga yang sakit mau berobat, ga punya duit, ke FPI, kadang-kadang FPI ngasih duit, kadang FPI ngasih surat. suratnya dibawa ke dokter jadi diterima,” ungkap Pandji.

 

Pandji melanjutkan, menurut Tamrin Tomagola, pintu ulama-ulama dari kalangan FPI selalu terbuka untuk membantu masyarakat yang sedang kesusahan. Sementara NU dan Muhammadiyah, terlalu elitis, sehingga masyarakat enggan untuk mendekat.

 

“Kata Pak Tamrin Tomagola, pintu rumahnya ulama-ulama FPI kebuka untuk warga, jadi orang kalau mau datang bisa. Nah, yang NU dan Muhammadiyah yang terlalu tinggi dan elitis, warga tuh ngga kesitu, warga justru ke FPI. Makanya mereka pada pro FPI, karena FPI ada ketika mereka butuhkan,” ungkap pria 41 tahun ini.

 

Pandji bilang, bubarkan FPI bukan sebuah solusi yang tepat. Dia mengatakan, jika pemerintah tidak mau melihat FPI eksis, maka harus menyelesaikan masalah sosial lingkungan.

 

“Makanya gue bilang, bubarin FPI itu gampang tapi ga menyelesaikan masalahanya karena FPI menyediakan bantuan ketika rakyat lagi butuh selama elu ga kasi bantuan ketika rakyat lagi butuh, maka rakyat akan cari ormas lain untuk dapat bantuan,” ucap Pandji.

 

“Jadi kalau lu ga mau ormas itu tamba gede, tambah kekuatan, ya elu harus bisamenyelesaikan masalah sosial di lingkungan elu. Karena ketidak kepedulian lu terkaitpemasalahan sosial, akan berbalik dalam bentuk pemaslahan sosial lagi,” latanya lagi.

 

“Yang gampang adalah bubarin ormas, yang susah adalah peduli sama masyaraklatsekitar,” tutup Pandji.

 

Pemerintah resmi membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI) pada Rabu (30/12) lalu. Segala bentuk aktifitas FPI juga dilarang karena dianggap ilegal.[]




Jakarta, SN – Politisi PSI, Muannas Alaidid, tampak meradang dengan apa yang dikatakan aktor dan komedian Pandji Pragiwaksono tentang Front Pembela Islam bersama Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

 

Muannas mengingatkan Pandji agar jangan sekali-kali menjadi YouTuber dengan menginjak-injak NU dan Muhammadiyah.

 

“Cari duit dari pelawak sudah betul itu atau stand-up komedi menghibur banyak orang, jangan pengen jadi YouTuber anda menginjak-injak NU dan Muhammadiyah, kurang ngajar bener anda Pandji,” tulis Muannas di twitternya, dikutip Kamis (21/1).

 

Muannas menilai, Pandji memuji FPI dengan mengatakan selalu ada ketika dibutuhkan Masyarakat, seperti teori politik membela bambu. Memuji FPI namun menginjak NU dan Muhammadiyah.

 

“Teori managent konflik, cara Pandji ini politik belah bambu, dia angkat yang satu kemudian menginjak ormas-ormas terbesar yang betul-bet menjaga dan mencerdaskan anak bangsa,” kata Muannas.

 

Muannas bilang, membandingkan FPI dengan NU dan Muhammadiyah salah besar. Sebab kedua ormas Islam besar di Indonesia itu telah banyak berjasa kepada bangsa.

 

“NU dan Muhammadiyah berjasa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu masyarakat,” kata Muannas.

 

Sebelumnya, Pandji Pragiwaksono mengatakan, di masyarakat ada banyak yang menjadi simpatisan FPI. Terlebih lagi di kalangan bawah. Itu karena FPI selalu ada ketika masyarakat kalangan bawah meminta bantuan.

 

Menurut Pandji Pragiwaksono, pendapat itu dia dengar dari Sosiolog Thamrin Amal Tomagola ketika diwawancarainya di Har Rock FM Jakarta tahun 2012 silam

 

“FPI itu dekat dengan masyarakat. Ini gue dengar dari Pak Thamrin Tomagola dulu tahun 2012, kalau misalnya ada anak mau masuk di sebuah sekolah, kemudian ga bisa masuk, itu biasanya orang tuanya datangi FPI minta surat. Dibikinin surat ke FPI, dibawa ke sekolah, itu anak bisa masuk, terlepas dari isi surat itu menakutkan atau tidak, tapi nolong warga gitu,” ujar Pandji dilansir chanel YouTubenya, Rabu (20/1).

 

Pandji melanjutkan, FPI terkenal dan disukai di masyarakat kalangan bawah ketika para elit dari ormas Islam besar, yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah jauh dari masyarakat.

 

“FPI itu hadir gara-gara dua ormas besar Islam (NU dan Muhamamdiyah) jauh dari rakyat. Mereka elit-elit politik. Sementara FPI itu dekat. Kalau ada yang sakit, ada warga yang sakit mau berobat, ga punya duit, ke FPI, kadang-kadang FPI ngasih duit, kadang FPI ngasih surat. suratnya dibawa ke dokter jadi diterima,” ungkap Pandji.

 

Pandji melanjutkan, menurut Tamrin Tomagola, pintu ulama-ulama dari kalangan FPI selalu terbuka untuk membantu masyarakat yang sedang kesusahan. Sementara NU dan Muhammadiyah, terlalu elitis, sehingga masyarakat enggan untuk mendekat.

 

“Kata Pak Tamrin Tomagola, pintu rumahnya ulama-ulama FPI kebuka untuk warga, jadi orang kalau mau datang bisa. Nah, yang NU dan Muhammadiyah yang terlalu tinggi dan elitis, warga tuh ngga kesitu, warga justru ke FPI. Makanya mereka pada pro FPI, karena FPI ada ketika mereka butuhkan,” ungkap pria 41 tahun ini. []




Jakarta, SN – Seorang perempuan meluapkan emosinya di lokasi pengungsian gempa Sulawesi Barat di Stadion Manakarra, Mamuju, bertepatan dengan kedatangan Presiden Jokowi, Selasa (19/1).

 

Fajar melansir, dari beberapa tenda pengungsian yang dikunjungi Jokowi, ada satu tenda yang mendadak ramai lantaran salah satu pengungsi emosi.

 

Dia meluapkan emosinya di depan pengungsi lain dan sejumlah awak media. Hal itu terjadi lantaran tempat salatnya yang ada di dalam tenda yang dia tempati diinjak-injak pengungsi lain, awak media hingga paspamres.

 

Meski tempat salatnya itu hanya beralaskan kain tenda dan karpet karet, serta dibentangkan selembar sajadah, perempuan itu tetap kukuh agar tempat salatnya itu tak diinjak oleh siapa pun.

 

“Jangan diinjak, jangan diinjak. Tempat salatku itu,” kata perempuan tersebut.

 

Saat itu Presiden Jokowi membagikan makanan siap saji dan paket sembako.

 

Sementara sejumlah jurnalis dan pengungsi lain hendak mengambil foto Jokowi. Mereka pun berdesak-desakan hingga tak sengaja menginjak tempat salat itu.

 

Luapan emosi perempuan itu sia-sia. Karpet tempat dia salat terinjak juga. Namun kemarahan perempuan itu tak berlangsung lama dan tak terlalu memicu masalah.

 

Sebelum tiba di stadion itu, Jokowi bersama rombongan juga sempat mengunjungi gedung Gubernur Sulbar yang ambruk usai diguncang gempa. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.