Latest Post



Jakarta, SN – Calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo berharap di masa kepemimpinannya nanti tidak ada lagi anggapan kriminalisasi terhadap ulama. Komjen Listyo Sigit memastikan akan membuka ruang komunikasi dengan ulama.


"Saya kira bahasa kriminalisasi itu ke depan kami harapkan tidak ada lagi. Artinya, memang kami akan membuka ruang komunikasi," kata Komjen Listyo Sigit setelah menjalani uji calon Kapolri, di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (20/1/2021).

 

Hal itu dikatakan Komjen Listyo Sigit sekaligus menjawab pertanyaan terkait tuduhan kriminalisasi ulama kepada pemerintahan saat ini. Komjen Listyo Sigit pun mewanti-wanti satu hal.

 

Dia meminta agar dibedakan antara ada dugaan tindak pidana dan tidak ada dugaan tindak pidana. Komjen Listyo Sigit menegaskan penegakan hukum tetap dilakukan jika ada dugaan tindak pidana.

 

"Namun demikian, tentu harus dibedakan bahwa ada tindak pidana, kemudian ada ruang komunikasi," sebutnya.

 

"Saya kira mudah-mudahan ke depan dengan komunikasi yang baik tidak ada lagi hal-hal yang... Namun demikian, kalau ada proses penegakan hukum yang kami lakukan karena kriminalisasi, namun karena ada tindak pidana yang terjadi," imbuh jenderal bintang tiga itu.

 

Sebelumnya, Komjen Listyo Sigit mengungkap program 100 hari pertama menjadi Kapolri nanti. Komjen Listyo Sigit Prabowo mengatakan akan menuntaskan kasus yang menjadi perhatian publik.

 

"Seratus hari ke depan tentunya kami sudah menyiapkan program-program yang langsung tentunya bisa kami laksanakan, salah satunya adalah penuntasan kasus-kasus yang menjadi perhatian publik yang saat ini ditunggu-tunggu," kata Komjen Listyo Sigit Prabowo setelah menjalani uji calon Kapolri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/1).(dtk)



Jakarta, SNKorupsi bantuan sosial 2020 diduga juga menyasar alokasi untuk penyandang disabilitas. Modusnya sama: pejabat di Kementerian Sosial era Juliari Batubara memungut sebagian bujet.

 

Kementerian Sosial menyalurkan 554 paket bantuan sosial bagi penyandang disabilitas yang terdampak Covid-19 di Kota Tangerang, Banten, 26 Juli 2020.

 

- Kementerian Sosial gagal menyalurkan 935.940 paket bantuan Covid-19 karena tidak akuratnya data penerima.

- Sisa paket bantuan kebutuhan pokok itu dialokasikan untuk pelbagai komunitas, seperti kelompok difabel dan panti jompo.

- Sejumlah pejabat di Kementerian Sosial diduga meminta upeti dari perusahaan penyedia bantuan bahan pokok untuk kaum difabel dan jompo itu.

 

Kementerian Sosial tak bisa membagi habis 22,8 juta paket bantuan sosial Covid-19 di daerah Jabodetabek pada 2020. Hampir satu juta paket bansos tak tersalurkan karena berbagai kendala, seperti alamat tak lengkap atau tumpang-tindih data.

 

Kemensos lantas mengalihkan sisa bantuan senilai Rp 280 miliar tersebut untuk berbagai komunitas, seperti kelompok difabel dan jompo, melalui puluhan perusahaan yang diduga menyetor upeti ke sejumlah pihak.

 

Masalahnya, jatah bantuan sosial untuk komunitas itu diduga menjadi bancakan berbagai pihak, termasuk pejabat di Kementerian Sosial.

Dari setiap paket bantuan sosial, dikutip fee dengan jumlah bervariasi. “Perlakuannya hampir sama dengan bantuan sosial secara umum,” kata sumber yang mengetahui praktik kutipan ilegal di Kementerian Sosial itu.

 

Kepala Biro Humas Kementerian Sosial Wiwit Widiansyah belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal kutipan ilegal bantuan sosial ini.

 

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang membawahkan Kementerian Sosial, Muhadjir Effendy, tak bersedia mengomentari persoalan tersebut. “Itu wewenang Kemensos sebagai kementerian teknis,” kata Muhadjir.

 

Sejauh ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pengurus perusahaan penyedia bantuan sosial dan menggeledah beberapa kantor mereka.

 

Komisi antirasuah sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi bantuan sosial ini. Seorang di antaranya adalah Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial sekaligus Wakil Bendahara Umum PDIP. Lalu dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial, yaitu Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, serta dua orang penyedia bantuan sosial bernama Harry Sidabukke dan Ardian IM.[]


Ketua Bidang Politik dan Pemerintahan PP GP Ansor, Luqman Hakim /Ist

 

Jakarta, SN – Ketua Bidang Politik dan Pemerintahan PP GP Ansor, Luqman Hakim meradang melihat polisi tak memproses lebih jauh dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Raffi Ahmad dkk.

 

Luqman bahkan membandingkan kasus kerumunan yang dilakukan Raffi Ahmad, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga Gading Martin di Rumah Sean Gelael dengan kasus Habib Rizieq Shihab di Petamburan.

 

“Kumpul belasan orang tanpa masker dan jarak, tidak langgar aturan Prokes? Apakah ini berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia? Kenapa beda perlakuan dengan acara maulid Rizieq Shihab di Petamburan (14/11)?” kata Luqman di akun Twitternya, Selasa (19/1/2021).

 

Legislator fraksi PKB DPR RI itu meminta polisi berlaku adil terhadap semua warga negara.

 

“Apakah Raffi, Ahok @basuki_btp dkk manusia istimewa?,” tanyanya disertai dua simbol wajah cemberut marah.

 

Sebelumnya, penyidik Polda Metro Jaya memastikan, tidak ada unsur pidana yang ditemukan dalam penyelenggaraan pesta yang dihadiri Raffi Ahmad, Komisaris Utama PT Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan kawan-kawan.

 

Hal itu didapat berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan penyidik. Demikian disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Mapolres Metro Depok, Senin (18/1/2021).

 

“Unsur persangkaan di Pasal 93 itu tidak ada karena cuma 18 orang di situ,” ungkapnya.

 

Selain itu, semua undangan yang datang ke pesta itu juga masuk dengan protokol kesehatan.

 

“Sudah kita periksa semuanya, ada swab antigen,” sambungnya.

 

Selain itu, pesta yang digelar di rumah Ricardo Gelael itu juga dihadiri oleh orang terbatas.

 

Mantan Kabid Humas Polda Jawa Barat itu menyatakan bahwa pembuat pesta juga telah menerapkan aturan ketat saat menggelar pesta dimaksud.

 

“Nggak ada beda dengan bikin kegiatan di luar, kebetulan itu lagi ulang tahun,” jelasnya. []




Jakarta, SN Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja mengunjungi korban gempa bumi di Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar). Dalam kunjungan itu, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah akan turun tangan membantu korban gempa Sulbar.

 

Salah satu yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi ialah terkait dengan perbaikan rumah korban gempa Sulbar.

 

Rumah-rumah milik korban gempa Sulbar akan dibantu perbaikannya oleh pemerintah pusat hingga Rp50 juta. Namun, ucapan Presiden Jokowi ini dicibir oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. 

 

Pasalnya, Presiden Jokowi tidak hanya sekali mengumbar janji soal perbaikan rumah korban gempa. Sebelum terjadi gempa Sulbar, korban gempa Lombok dua tahun lalu juga diberi janji serupa.

 

Presiden Jokowi sempat menjanjikan uang perbaikan rumah senilai Rp50 juta kepada korban gempa Lombok saat berkunjung ke Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Senin 30 Juli 2018.

 

"Masing-masing rumah yang rusak berat akan diberikan dana sebesar Rp50 juta," kata Jokowi.

 

"Pembangunan dan supervisi akan dibantu oleh TNI, sedangkan untuk pengawasan dilakukan oleh gubernur, bupati dan perangkat yang lain," ujar Presiden Jokowi menambahkan.

 

Hingga Januari 2019, tak nampak tanda-tanda digelontorkannya bantuan dari Presiden Jokowi maupun pemerintah pusat untuk perbaikan rumah korban gempa Lombok.

 

"Kami butuh bukti, bukan janji," ucap Kepala Desa (Kades) Jeringo Kabupaten Lombok Barat, Sahril pada Jumat 11 Januari 2019.

 

Padahal, bantuan tersebut sudah dicantumkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres RI) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi Lombok.

 

Sebenarnya, pada Desember 2018, pemerintah pusat dikabarkan sudah mengirim dana perbaikan rumah kepada warga Kabupaten Lombok Barat dengan total mencapai Rp278,21 miliar.

 

Namun, kebutuhan dana untuk melakukan perbaikan puluhan ribu rumah di Kabupaten Lombok Barat yang rusak akibat gempa Lombok mencapai Rp1,4 triliun.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim telah mengucurkan dana hingga triliunan rupiah untuk korban gempa Lombok. Akan tetapi, tampaknya bantuan itu belum semuanya sampai kepada korban gempa Lombok.

 

Masalah janji bantuan perbaikan rumah korban gempa Lombok ini menjadi perhatian Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyebut Presiden Jokowi sebetulnya tak perlu mengulang janji yang sama jika tidak mampu memenuhinya.

 

Hidayat Nur Wahid mendesak Presiden Jokowi untuk lebih solutif saat mengunjungi lokasi bencana dan membantu korban, termasuk korban banjir Kalimantan Selatan (Kalsel).

 

"Kehadiran Presiden Jokowi mestinya jadi solusi jangka pendek dan panjang," kata Hidayat Nur Wahid dikutip dari cuitan akun Twitter @hnurwahid pada Rabu 20 Januari 2021.

 

"Tidak untuk menambah kontroversi dan apatisme soal sebab banjir Kalsel atau menambah janji yang sulit dipenuhi," ujar Hidayat menjelaskan.

 

"(Yakni) bantu perbaiki rumah korban gempa Sulbar sampai dengan Rp50 juta. Karena janji serupa untuk NTB belum terlaksana juga," kicau Hidayat Nur Wahid menutup kritiknya pada Presiden Jokowi.

 

Sebagaimana dikabarkan Pikiran-Rakyat.com, Presiden Jokowi bantuan perbaikan rumah korban gempa Sulbar akan diberikan sesuai dengan kerusakan yang dialami masing-masing warga.

 

“Untuk rumah penduduk yang roboh, pemerintah akan membantu untuk yang rusak berat Rp50 juta, rusak sedang Rp25 juta, dan rusak ringan Rp10 juta,” ujar Jokowi. (*)




Jakarta, SN  Tim Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melaporkan kasus penembakan enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) di tol Jakarta-Cikampek dan peristiwa 21-22 Mei 2019 ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda.

 

Pelaporan itu dilayangkan dengan alasan dua insiden tersebut sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat resmi negara.

 

"Laporan tim advokasi korban pelanggaran HAM berat oleh aparat negara ke ICC. Tragedi 21-22 Mei 2019 dan pembantaian 7 Desember 2020," kata salah satu tim advokasi, Munarman kepada CNNIndonesia.com, Rabu (20/1).

 

Berdasarkan tangkapan layar surat elektronik yang diterima CNNIndonesia.com dan sudah dikonfirmasi, laporan itu resmi dilayangkan pada 16 Januari lalu. Laporan dikirimkan kepada Juru Bicara dan Kepala Departemen Luar Negeri ICC Fadi El-Abdallah.

 

Dalam laporan itu tertulis bahwa Tim Advokasi meminta ICC bisa menindaklanjuti laporan kasus insiden 7 Desember 2020 dan Tragedi 21-22 Mei 2019.

 

Masih dalam surat elektronik itu, Tim Advokasi meminta agar ICC mampu mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi yang dilakukan aparatur negara terhadap warga negaranya sendiri.

 

"Kami memohon secara hukum untuk meminta Anda [ICC] menghentikan rezim Indonesia yang secara konsisten dan berkelanjutan menggunakan cara-cara intimidasi, penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dalam melengkapi kebijakan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh kritis," kata isi laporan tersebut.

 

Terpisah, Ketua Badan Pengurus PUSHAMI, Hariadi Nasution mengakui bila dirinya yang mengajukan pelaporan kepada ICC sebagai kuasa tim advokasi para korban.

 

Ia mengatakan dokumen laporan yang telah dikirim ke ICC bersifat rahasia. Sebab, di dalamnya terdapat nama-nama pejabat yang bertanggung jawab atas insiden tersebut.

 

"Karena ada nama nama pejabat yang bertanggung jawab dan bisa menjadi suspect dan bisa diseret ke ICC nantinya," kata pria yang akrab disapa Ombat tersebut.

 

Diketahui, bentrokan antara polisi dengan pengawal Rizieq Shihab itu terjadi di Tol Cikampek KM 50 pada Senin (7/12) dini hari lalu. Dalam kejadian tersebut, enam anggota FPI tewas ditembak aparat kepolisian. (sanca)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.