|
AMSI menilai
butir 2 huruf d Maklumat Kapolri Nomor: Mak / 1 / I / 2021 tanggal 1 Januari
2020 mengancam kebebasan pers dan bertentangan dengan UU Pers dan UUD 1945./Ist |
Jakarta, SN – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai
butir 2 huruf d Keputusan Kapolri Nomor: Mak / 1 / I / 2021 tanggal 1 Januari
2020 mengebiri kebebasan berekspresi masyarakat.
Diketahui Kapolri Jenderal Idham Azis telah mengeluarkan
Maklumat Nomor: Mak / 1 / I / 2021 tanggal 1 Januari 2020 tentang Kepatuhan
Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian
Kegiatan Fron Pembela Islam (FPI).
Dipoin 2 huruf d menyatakan bahwa untuk memberikan
perlindungan dan menjamin keselamatan dan keamanan masyarakat, setelah ada
ketetapan bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut
serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) dengan ini, Kapolri
mengeluarkan pengumuman kepada: "d. Publik tidak mengakses, mengunggah,
dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media
sosial."
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua I AMSI Suwarjono mengatakan,
butir 2 huruf d Maklumat Kapolri Nomor: Mak / 1 / I / 2021 tanggal 1 Januari
2020 memiliki ekses bagi kebebasan warga negara atau masyarakat umum untuk
berpendapat. Padahal, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang
telah dijamin oleh UUD 1945. Menurut Suwarjono, aturan angka 2 huruf d itu
jelas sangat aneh dan seharusnya tidak ada.
"Ini (poin 2 huruf d Maklumat Kapolri Nomor:
Mak/1/I/2021) mengebiri kebebasan masyarakat untuk berpendapat," tegas
Suwarjono saat berbincang dengan KORAN SINDO dan MNC News Portal, di Jakarta,
Jumat (1/1/2021) sore.
Mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
ini menggariskan, berdasarkan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya
jelas bahwa masyarakat memiliki hak dan kebebasan berpendapat sepanjang tidak
menimbulkan kebencian dan keresahan, tidak mengajak orang melakukan kerusuhan
dan anarki, tidak menimbulkan atau mengajak orang lain melakukan kekerasan,
hingga tidak melanggar hukum. Tapi kata Suwarjono, kalau masyarakat hanya
berpendapat tidak setuju dengan pembubaran FPI maka pendapat tersebut tidak
masalah.
"Agak aneh ketika melarang masyarakat agar tidak
berpendapat tidak setuju. Karena kemudian kalau ini adalah larangan, oh ini
sangat bahaya sekali," ujarnya.
Suwarjono membeberkan, jika larangan berpendapat atas
pembubaran FPI tetap diberlakukan maka berpotensi juga bagi organisasi
kemasyarakatan (ormas) lain. Karenanya sekali lagi menurut dia, ketentuan poin
2 huruf d Maklumat Kapolri Nomor: Mak/1/I/2021 berimbas bagi hak kebebasan
masyarakat menyampaikan pendapat, "Ini yang menurut saya, ancaman
kebebasan yang sangat berlebihan," katanya.
Terkait dengan hal itu, Munarman , deklarator Front Persatuan
Islam tidak menanggapi substansi isi maklumat. Dia juga tidak menegaskan
sikapnya terhadap maklumat tersebut. Tetapi, dia menyebutkan bahwa setidaknya
ada lima sumber hukum di Indonesia.
"Sumber hukum di Indonesia adalah 1. Undang-Undamg Dasar
(UUD) 2. Undang-Undang, 3. Peraturan Pemerintah, 4. Peraturan Menteri, 5.
Peraturan Daerah," ucap Sekretaris Umum FPI sebelum dibubarkan pemerintah
itu ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat, dilansir Sindonews.com, Sabtu
(2/1/2021).
Munarman sebelumnya menyebut bahwa dilarangnya ormas FPI
melalui tidak punya dasar hukum. Tetapi dia tidak kaget karena pembubaran
organisasi masyarakat maupun partai politik sudah pernah terjadi pada era
Nasakom. Pada era Nasakom, sambungnya, sasaran pembubaran adalah Ormas dan
Parpol yang menentang terhadap Rezim Nasakom, terutama Ormas dan Parpol Islam.
Nasakom merupakan akronim nasionalis, agama dan komunis, yang
dipopulerkan Presiden Soekarno pada periode yang dikenal sebagai demokrasi
terpimpin. Soekarno ingin menyatukan ketiga ideologi yang banyak pengikutnya
itu demi menopang pemerintahannya.
Tetapi banyak tokoh Islam menolaknya, terutama dari Masyumi.
Soekarno akhirnya membubarkan Masyumi bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI)
pada 17 Agustus 1960.
Menurut Munarman, pemberedelan FPI oleh rezim saat ini adalah
merupakan de javu alias pengulangan rezim nasakom tersebut. Bahkan, Surat
Keputusan (SKB) Bersama melalui enam Instansi Pemerintah, menurutnya sebagai
bentuk pengalihan issue dan obstruction of justice atau penghalang-halangan
pencarian keadilan terhadap peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI dan
bentuk sebuah kezaliman terhadal rakyat.
"Bahwa oleh karena Keputusan Bersama tersebut adalah
melanggar konstitusi dan bertentangan dengan hukum, secara substansi Keputusan
Bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum baik dari segi legalitas maupun
dari segi legitimasi," ungkapnya.
Pemerintah sendiri secara resmi mulai melarang segala
aktivitas FPI, berikut penggunaan simbol atributnya sejak diumumkan
Menkopolhukam Mahfud MD pada 30 Desember 2020. Alasannya FPI suka main hakim
sendiri, tidak memiliki izin dari Mendagri, hingga keterlibatan anggotanya pada
aksi terorisme. [*]