Latest Post

Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis/Ist



Jakarta, SN – Awal tahun 2021, Kapolri Jenderal Idham Azis mengeluarkan pengumuman terkait penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Maklumat Kapolri nomor: Mak / 1 / I / 2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI.

 

Ada empat poin maklumat tersebut, Pertama, bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor: 220- 4780 Tahun 2020; M.HH 14.HH.05.05 Tahun 2020; 690 Tahun 2020; 264 Tahun 2020; KB/3/XII/2020; 320 Tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam.

 

Kedua, guna memberikan perlindungan dan menjamin keamanan serta keselamatan masyarakat pasca dikeluarkan keputusan bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI, dengan ini Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengeluarkan maklumat agar masyarakat tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung dan memfasilitasi kegiatan serta menggunakan simbol dan atribut FPI. Kemudian, masyarakat segera melaporkan kepada aparat yang berwenang apabila menemukan kegiatan, simbol, dan atribut FPI serta tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.

 

Polri akan mengedepankan Satpol PP dengan didukung sepenuhnya oleh TNI–Polri untuk melakukan penertiban di lokasi-lokasi yang terpasang spanduk/banner, atribut, pamflet, dan hal lainnya terkait FPI.

 

Masyarakat juga diminta tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.

 

"Bahwa apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat ini, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ataupun diskresi Kepolisian," demikian poin ketiga maklumat tersebut, dilansir Sindonews.com.

 

"Demikian maklumat ini, untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebagaimana mestinya," tutup Kapolri. (*)


Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengecam Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD karena tidak membuka ruang tanya jawab saat mengumumkan pembubaran FPI/ Ist




Jakarta, SN   Politisi Partai Gelora Fahri Hamzah langsung mengecam Menkopolhukam Mahfud MD saat mengumumkan keputusan pembubaran Front Pembela Islam (FPI).

 

Fahri menilai Mahfud sebagai seorang intelektual harus bisa membawa persoalan FPI ke jalur dialog dan ia mengingatkan bahwa dalam jumpa pers itu Mahfud didampingi oleh orang-orang pintar bergelar doktor dan guru besar, seperti Mahfud sendiri, bagi Fahri hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang diumumkan merupakan hasil olah pikir para cendekiawan.

 

Tetapi dia kecewa begitu Mahfud dalam konferensi per mengatakan bahwa pembubaran FPI adalah keputusan pemerintah dan meminta pers menyiarkan tanpa kesempatan tanya jawab.

 

”Sayang sekali, gesture orang2 pintar tidak gemar membuka dialog. Sayang sekali karena kekuasaan dianggap lebih penting dari ilmu pengetahuan. Percayalah pak prof, ilmulah yang punya masa depan, kekuasaan tidak pernah bisa bertahan. Seharusnya dialog adalah jalan kita,” cuit @FahriHamzah, dilansir Sindonews.com, Rabu (30/12/2020) petang.


Fahri mengingatkan Mahfud bahwa dulu mereka mengkritik praktik kekuasaan yang selalu menyimpang sehingga dialog dan demokrasi dipilih sebagai jalan. "Prof @mohmahfudmd lupa bahwa salah satu sebab kita mengambil dialog keterbukaan dan demokrasi sebagai jalan adalah karena kita sering melihat keluasaan selalu menyimpang. Ini pengalaman bangsa kita, pengalaman agama dan juga pengalaman ummat manusia. Apakah bapak belum paham?” tulis Fahri.

 

Sebagai yang sedang berkuasa, Fahri meminta agar Mahfud mengajarkan untuk mengedepankan dialog ketimbang tangan kekuasaan.

 

”Ajarlah bangsa ini prof @mohmahfudmd agar kami mengerti bahwa ilmu lebih penting dari kekuasaan dan agar kerukunan itu hadir pertama-tama dari ketenangan jiwa para pemimpin yang arif bijaksana. Jangan biarkan suasana jiwa yang gusar penuh dendam menyebar. Jangan!” cuit Fahri lagi.

 

”Banyak yang ingin saya sampaikan prof @mohmahfudmd sebagai kawan lama. Bapak pasti lebih mengerti sehingga jika memang suasana ini memang diniatkan. Silahkan diteruskan. Kami menyaksikan semua dengan doa semoga Allah SWT menjaga bangsa dan agama dari sengketa. Salam, FH,” tutup mantan Wakil Ketua DPR itu. (**)


Pemerintah telah menyatakan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang dan Pemerintah juga telah melarang berbagai kegiatan terkait FPI/Ist


Jakarta, SN –  Pemerintah telah menyatakan pelarangan terhadap ormas Front Pembela Islam (FPI) dan pelarangan tersebut menjadi perbincangan luas dan polemik, ada yang mendukung pelarangan begitu pula sebaliknya, ada yang mempertanyakan alasan melarang ormas yang dipimpin Habib Rizieq Shihab.

 

Salah satunya, Juanda Eltari, seorang advokat yang menilai organisasi kemasyarakatan (ormas) tidak berbadan hukum bebas memilih untuk mendaftarkan atau tidak mendaftarkan diri atau tidak boleh dilarang hanya karena tidak mendaftarkan diri atau tidak terdaftar.

 

"Ormas yang tidak mendaftarkan diri atau tidak terdaftar atau tidak SKT (surat keterangan terdaftar), bukan berarti ormas tersebut ilegal, apalagi jika sampai dianggap secara de jure telah bubar," kata advokat LBH Street Lawyer ini dalam keterangan tertulisnya, dilansir Sindonews.com, Rabu 30 Desember 2020.

 

Di sisi lain, lanjutnya, ormas bebas memilih untuk mendaftar atau tidak, dan tidak bisa dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena masalah pendaftaran. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82 / PUU-XI / 2013 halaman 125.

 

Dia lalu mengutip putusan MK. "Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak mendaftarkan.

 

Ketika suatu ormas yang tidak berbadan hukum telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai ormas yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun nasional. Suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu.

 

Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara).*


Komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan/Ist




Jakarta, SN – Wakil Ketua Internal  Komisi HAM Munafrizal Manan meminta pemerintah tidak membubarkan organisasi hanya berdasarkan prinsip contrarius actus dan tanpa mekanisme proses peradilan (due process of law).

 

Pandangan tersebut disampaikan Munafrizal pada acara diskusi publik bertajuk "Kebebasan Berserikat di Negara Demokrasi" yang diselenggarakan secara daring oleh Imparsial pada Selasa (29/12/2020).

 

Dalam kacamata HAM, menurutnya, sanksi pencabutan status badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas tidak dapat dibenarkan.

 

"Karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang dalam mematikan suatu organisasi,” kata Munafrizal dikutip dari laman resmi komnasham.go.id, Rabu (30/12/2020).

 

Terlebih, di mana negara dilarang melakukan intervensi yang mereduksi atas hak berkumpul. Negara juga memiliki kewajiban memastikan semua warganya menikmati hak tersebut.

 

“Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis," ucapnya.

 

"Kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya demokratis."

 

Komnas HAM mendefinisikan hak berserikat dan berkumpul merupakan hak yang bersifat individual dan kolektif yang memiliki irisan dengan hak sipil dan hak politik.

 

Hak ini juga saling berkaitan erat dengan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, yang diaktualisasikan melalui keleluasaan orang menyampaikan pikiran, ide, aspirasi, dan keyakinan secara kolektif.

 

Prinsip dasar umum mengenai hak kebebasan berserikat dijabarkan Munafrizal, antara lain:

 

1. Setiap orang berhak membentuk atau bergabung dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi.

 

2. Tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk bergabung dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi.

 

3. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif atas seseorang untuk menikmati hak kebebasan berserikat/berorganisasi/berasosiasi.

 

Munafrizal juga menyinggung hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights yang dalam keadaan dan situasi tertentu dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan.

 

Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan secara bersyarat sesuai International Covenant on Civil and Political Rights, UUD Tahun 1945, dan UU HAM.

 

Munafrizal menegaskan, pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul harus diatur oleh hukum.

 

"Jadi, keputusan pemerintah membatalkan status badan hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus berdasarkan putusan pengadilan,” katanya.

 

Berdasarkan prinsip due process of law, suatu organisasi yang melanggar hukum pidana, mengganggu ketertiban umum, mengancam keselamatan publik, atau membahayakan keamanan negara, dapat dibubarkan melalui proses pidana secara bersamaan terhadap orang-orang yang mewakili organisasi tersebut.

 

Dasar menimbangnya adalah melindungi kedaulatan negara, namun cenderung mengebiri kedaulatan rakyat.

 

UU ini dibentuk maksudnya untuk menerapkan sanksi yang efektif terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

 

Kemudian, terdapat kecenderungan melakukan asas contrarius actus dengan maksud untuk menjatuhkan sanksi yang efektif dan langsung berlaku serta mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana.

 

“Masyarakat sipil harus melihat dengan berperspektif hak asasi manusia, adanya pengaturan yang justru mereduksi hak kebebasan berserikat tidak boleh diamini. Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa bahwa kita negara hukum dan negara demokratis," katanya.

 

"Hubungan negara masyarakat, dalam konteks yang ideal demokratis dapat mencapai titik equilibrium, di mana tidak boleh ada negara yang lebih kuat dari masyarakat yang dikhawatirkan terjadinya represi. Namun tidak boleh juga masyarakat lebih kuat dari negara karena akan melahirkan vandalism dan anarkisme."[kompas.tv]


Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Heru Novianto (Rabu, 30 Desember 2020)/Ist


Jakarta, SN – Sehubungan dengan surat keputusan bersama yang diteken oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Jenderal Idham Azis, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar pada Rabu, 30 Desember 2020, tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta pemberhentian kegiatan Front Pembela Islam.

 

Setelah Front Pembela Islam atau FPI diumumkan pembubarannya, beberapa jam polisi langsung menuju markasnya di Jalan Petamburan III, Jakarta Pusat, kemudian polisi bersenjata lengkap mengawasi proses pencabutan semua atribut FPI di wilayah tersebut dan konferensi pers FPI untuk menanggapi pembubaran organisasi mereka juga dilarang.

 

Bantuan Hukum FPI  Dilarang Gelar Konferensi Pers/Ist

"Tidak boleh, karena mereka sudah tidak ada kewenangan lagi dan tidak ada legalnya lagi. Artinya tidak boleh," kata Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Heru Novianto di lokasi, Rabu, 30 Desember 2020.

 

Akibat penutupan kantor tersebut, tim Bantuan Hukum FPI, Sugito Atmo Prawiro dan Aziz Yanuar tidak bisa masuk dan menyayangkan tidak mengadakan konferensi pers.

 

Pemerintah hari ini mengumumkan pembubaran FPI sebagai organisasi kemasyarakatan, namun dilarang melakukan kegiatan atau menggunakan simbol dan atribut.

 

"Padahal preskon terhadap pembubaran FPI itu kan hak DPP FPI untuk menyikapi untuk menyampaikan. Tapi ini sampai tidak diperbolehkan, padahal hak menyampaikan pendapat itu adalah hak setiap warga negara," ujar Sigito. (sanca)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.