Jakarta, SNC – Sekretaris FPI Sumut Amru Fikriadi meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.
Kemudian FPI Sumut (Sumut), Ulama GNPF Sumut, dan PA 212 Sumut juga mengecam Polri atas meninggalnya enam anggotanya dan ia juga meminta kepada pihak-pihak terkait untuk diberhentikan karena enam Laskar FPI Habib Rizieq Shihab ditembak mati oleh polisi.
"Menuntut Presiden agar segera mencopot Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan pihak lain yang terlibat," ujar Amru, Selasa (8/12/2020).
Ketua PA 212 Sumut Affan Lubis mengatakan pihaknya berduka atas tewasnya keenam orang tersebut. Dia berharap keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.
"Awalnya kami menyampaikan turut berdukacita atas meninggalnya enam orang laskar. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan," kata Affan.
"Enam mujahid revolusi akhlak. Yang dilakukan oleh aparat keamanan, kami menilai ini extrajudicial killing," imbuhnya.
Affan meminta ada tim independen yang dibentuk untuk menyelidiki peristiwa yang menyebabkan enam orang itu tewas. Dia meminta tim tersebut diisi orang-orang dari organisasi HAM internasional.
"Menuntut segera dibentuk tim pencari fakta independen yang mengikutsertakan organisasi HAM internasional, Amnesty International, yang dipimpin oleh Komnas HAM secara transparan, untuk mengusut tuntas kasus," ucapnya.
Sementara itu, Ketua GNPF Sumut Aidan Nazwir Panggabean mengimbau umat Islam melakukan salat gaib untuk keenam orang anggota laskar FPI yang tewas tersebut.
"Kita juga mengimbau agar umat Islam di Sumut menggelar salat gaib untuk para laskar," jelasnya.
Sebelumnya, enam dari sepuluh pengikut Habib Rizieq tewas ditembak polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Senin (7/12) dini hari. Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran mengungkapkan penembakan tersebut dilakukan lantaran mereka melakukan penyerangan terhadap polisi.
"Anggota yang terancam keselamatan jiwanya karena diserang kemudian melakukan tindakan tegas dan terukur, sehingga terhadap kelompok yang diduga pengikut MRS yang berjumlah 10 orang, meninggal sebanyak 6 orang," kata Fadil Imran, yang didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman, di Polda Metro Jaya.
Fadil menjelaskan peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 00.30 WIB. Petugas kepolisian mulanya melakukan penyelidikan setelah mendapat informasi adanya rencana pengerahan massa mengawal Habib Rizieq terkait pemeriksaan pada Senin (7/12). Polisi kemudian menyelidiki informasi tersebut dan melakukan pembuntutan.
Fadil Imran menyebut pengikut Habib Rizieq menyerang para petugas dengan senjata api, sehingga tindakan tegas dan terukur pun dilakukan.
"Terkait hal tersebut, kami kemudian melakukan penyelidikan kebenaran informasi tersebut. Dan ketika anggota PMJ mengikuti kendaraan yang diduga adalah pengikut MRS, kendaraan petugas dipepet, lalu kemudian diserang dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam sebagaimana yang rekan-rekan lihat di depan ini," kata Fadil Imran.
"Saya ulangi, terhadap kelompok MRS yang menyerang anggota, dilakukan tindakan tegas dan meninggal dunia sebanyak 6 orang," imbuhnya.
Polri juga mempersilakan Komnas HAM mengusut masalah ini. Polri mengatakan bakal bersikap transparan.
"Ya, nggak apa-apa, itu bentuk pengawasan eksternal," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (8/12).
"Nanti kita akan membantu terkait apa-apa saja data yang dibutuhkan. Selama ini kita transparan. Nanti silakan saja," sambungnya. (dtk)
Jakarta, SNC – Tindakan polisi yang memutuskan untuk menembak enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), di tol Jakarta-Cikampek Km 50, bisa digolongkan pembunuhan di luar putusan pengadilan (Extra Judicial Killing).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid menjelaskan, polisi seharusnya hanya dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai ultimum remedium atau sebagai alat atau upaya terakhir.
"Itu pun harus berdasarkan pada kondisi objektif serta merupakan situasi luar biasa untuk melindungi keselamatan dirinya dan atau orang lain," ujar Fahri dalam siaran pers yang dibagikan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (8/12).
Fahri mengatakan, dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun hukum positif, tindakan yang bercorak extra judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan tidak dipakai aparat keamanan.
"Larangan tersebut dimuat di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 12 Tahun 2005," katanya.
Selain itu, penggunaan instrumen kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia telah diatur sedemikian rupa melalui Peraturan Kapolri tentang Penerapan Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan PERKAP No. 8 Tahun 2009.
Selain itu, Fahri juga menyebutkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 1/2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Di mana esensinya menjelaskan penggunaan senjata api hanya diperbolehkan jika sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan penggunaan kekuatan secara umum.
"Harus diatur berdasarkan prinsip legalitas, kebutuhan, proporsionalitas, kewajaran serta mengutamakan tindakan pencegahan," ungkapnya.
Dengan demikian Fahri menyimpulkan, secara hukum penggunaan kekuatan, kekerasan, dan senjata api yang potensial melanggar hukum oleh polisi tidak dapat dibenarkan.
"Jika tidak (dalam kondisi menyelamatkan nyawa diri sendiri dan orang lain) maka tindakan itu bisa tergolong unlawful killing yang sifatnya adalah melanggar hukum karena tindakan tersebut hahikatnya adalah kejahatan dan dapat di usut secara hukum," tambah Fahri.
Lebih lanjut, Fahri Bachmid meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen yang diisi oleh berbagai pihak.
Diantaranya seperti Komnas HAM, tokoh-tokoh masyarakat yang Independen, kalangan kampus yang dijamin integritasnya, serta imparsial yang bertugas untuk melakukan investigasi menyeluruh dan komprehensif guna mengungkap fakta dan peristiwa yang sesungguhnya.
"Hal ini sangat penting dilakukan sebagai sebuah upaya responsif pemerintah atas persoalan ini, karena meninggalnya enam warga tersebut merupakan hal yang sangat serius," pungkasnya. (RMOL)