Latest Post



Jakarta, SNC - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, menyampaikan apresiasinya kepada Polri atas penangkapan Sugi Nur Raharja atau Gus Nur terkait dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Nahdatul Ulama (NU) di YuoYube.


“Sugi selamat datang di Hotel Prodeo. mulutmu adalah harimau kau, tahukah kau wahai Sugi semua org memberi apresiasi pada Bareskrim Polri kita.” Ujar Ngabalin dikutip dari akun Instagram resminya, Senin (26/10).


Ngabalin berharap, Polri juga bisa menangkap Refly Harun selaku pemilik kanal YouTube dan Ustad Muhammad Yahya Waloni yang kerap memberikan kritik keras kepada pemerintah.


“Kami juga mendoakan agar sahabatmu Waloni dan Refly bisa nyusul kau. biar kalian tahu inilah demokrasi, pancasila azas negeri ini,” kata Ngabalin.


Ngabalin berharap agar Sugi Nur bisa berhenti menyebar kebencian di media sosial. Agar kerukunan bangsa bisa terjaga.


“Sugi semoga kau cepat siuman yang lain berhentilah kalian menghujat dan mencaci maki, mengkafir-kafirkan orang lain, kita mau rukun dan damai hidup di negeri ini semua komunitas rukun dan damai Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu serta Aliran Kepercayaan semuanya memiliki NKRI dengan hak dan kedudukan yang sama- berhentilah klian menyebarkan kebencian.” Tutup Ngabalin.


Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bergerak cepat merespon laporan dari warga Nahdatul Ulama (NU) terhadap Sugi Nur Raharja alias Gus Nur atas dugaan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap NU di media sosial YouTube.


Gus Nur di tangkap pada Sabtu (24/10/2020), dini hari di kediamannya di Sawojajar, Kecamatan Pakis, Malang.


Dia dilaporkan oleh Ketua Pengurus NU Cabang Cirebon Azis Hakim ke Bareskrim Polri yang terdaftar dengan nomor laporan LP/B/0596/X/2020/Bareskrim tertanggal 21 Oktober 2020.


Selain itu, laporan juga datang dari Aliansi Santri Jember juga melaporkan Gus Nur ke Polres Jember.


Setelah ditangkap dan jalani pemeriksaan, Gus Nur ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan selama 20 hari ke depan. 


Sumber : fajar.co.id




Jakarta, SNC - Kuasa hukum Sugik Nur Rahardja alias Gus Nur Chandra Purna Irawan meminta penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk memprioritaskan penerapan Restorative Justice dalam menangani kasus kliennya.


Sebagai informasi, upaya keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan yang tujuannya mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.


Konsep pendekatan restorative justice lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.


Gus Nur saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan ujaran kebencian terhadap Nahdlatul Ulama (NU).


"Semestinya restorative justice ini yang didahulukan, pendekatan pidana semestinya menjadi solusi terakhir," kata Chandra kepada wartawan melalui keterangan resmi, Senin (26/10).


Dia menuturkan bahwa dalam tubuh Polri sendiri, setidaknya ada dua rujukan yang mengatur soal penerapan restorative justice sebagai upaya penegakan hukum. Chandra mengklaim bahwa dalam kasus ini, masih dapat dilakukan upaya mediasi antara kedua pihak yang berkonflik.


Pertama, kata dia, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 dan Surat Telegram Kabareskrim Nomor: STR/583/VIII/2012 tanggal 08 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice.


Semestinya juga, Chandra mengatakan bahwa seharusnya kliennya dipanggil terlebih dahulu sebagai saksi dan dimintai klarifikasinya sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu dinilainya bertentangan dengan aturan yang berlaku dalam KUHAP.


"Tetapi justru malah ditangkap tanpa proses pemeriksaan awal dan baru diperiksa dan diambil keterangan setelah ditangkap dan dibawa ke Mabes Polri," kata dia. 


Tim kuasa hukum juga menuturkan bahwa Gus Nur baru satu kali diperiksa sebagai tersangka usai ditangkap pada 24 Agustus lalu.


Sebagai informasi, kasus Gus Nur bermula dari wawancara dirinya dalam acara Youtube Refly Harun pada 18 Oktober 2020. Video berdurasi 29 menit 57 detik itu berjudul 'Setengah Jam dengan Gus Nur, Isinya Kritik Pedas Semua'.


Pernyataan Gus Nur yang dipermasalahkan adalah bahwa "NU saat ini dapat diibaratkan sebagai bus umum--yang sopirnya dalam kondisi mabuk, kondekturnya teler, keneknya ugal, dan penumpangnya kurang ajar".


Gur Nur, dalam acara diskusi tersebut, pun mengibaratkan para penumpang bus tersebut menganut pemikiran liberal, sekuler, dan merupakan PKI.


Walhasil, ucapan itu mendapat kecaman dari pihak NU. Termasuk, upaya hukum dengan melaporkan Gus Nur ke kepolisian. Salah satu laporan yang teregister dilayangkan oleh Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, Azis Hakim ke Bareskrim Polri pada 21 Oktober 2020.


Selang beberapa waktu, pada Sabtu (24/10) dini hari, Gus Nur ditangkap oleh aparat kepolisian di wilayah Malang, Jawa Timur. Dia pun langsung jadi tersangka dan ditahan. [cnnindonesia]


Ribuan pengunjuk rasa datang dari berbagai latar belakang mulai dari pelajar hingga mahasiswa dan buruh menolak UU Ciptaker./Net


Jakarta, SNC - Unjuk rasa yang melibatkan sejumlah elemen masyarakat menentang Omnibus Law (UU) Cipta Kerja mengakibatkan kekerasan dan penangkapan dari pihak kepolisian. Ada ribuan pengunjuk rasa dikatakan telah disiksa, ditangkap dan dibebaskan kembali oleh polisi. Diketahui, pengunjuk rasa yang menolak Ciptaker berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pelajar hingga mahasiswa dan buruh.


"Hingga kini yang kami dapat di Jakarta ada ribuan ditangkap dan mengalami penyiksaan lalu setelah itu dibebaskan," kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti dalam diskusi virtual, Minggu (25/10).


Menurut Fatin dari ribuan orang yang ditangkap di Jakarta, 200 pendemo di antaranya dijadikan tersangka. Kini para pendemo di Jakarta sudah disebar diseluruh direktorat kepolisian.


Belum ada keterangan dan tanggapan dari Mabes Polri terkait pernyataan KontraS tersebut, ia mengaku belum memperoleh data pasti mengenai jumlah total pendemo yang ditangkap kemudian disiksa aparat untuk seluruh Indonesia dan para pendemo penolakan UU ini terjadi di berbagai wilayah Tanah Air, "Kami masih kumpulkan," ucap Fatia.


Perwakilan Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur Andy Irfan juga mengakui adanya dugaan tindakan represif aparat kepada peserta unjuk rasa. Sementara itu Polda Jawa Timur sebelumnya menyebutkan telah menangkap 182 orang terkait demo walau berjalan kondusif. Demo berlangsung pada Selasa (20/10) lalu.


"Ratusan mahasiswa dan pelajar di Jawa Timur dilaporkan mendapat pemukulan dan perlakukan kasar dari aparat hukum," ucap Andy.


Tak Ada Pendamping Hukum

Andy menambahkan aparat juga membatasi akses pendamping bantuan hukum kepada mereka yang ditahan, "Jadi untuk akses bantuan hukumnya itu dipersulit," kata Andy.


Fatia membenarkan hal tersebut, menurut Fatia tidak ada transparansi dari aparat terhadap para pendemo yang mereka amankan.


"Jadi hari ini pendampingan hukum tidak bisa diakses. Dan tidak ada transparansi bagaimana tujuan tentang orang yang ditangkap. Jadi ditangkap acak dengan sweeping dan tentunya tanpa surat penangkapan," kata Fatia.


Pada demo terakhir di Jakarta, 20 Oktober lalu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana membantah frasa penangkapan terhadap massa aksi, ia memilih menggunakan frasa 'diamankan', "Ini kami amankan, bukan kami tangkap," kata Nana kepada wartawan di sekitar lokasi demonstrasi di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Selasa (20/10). []


Walikota Surabaya, Tri Rismaharini


Surabaya, SNC - Terkait dugaan pidana pemilu yang dilakukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini masih terus berlanjut, karena Ketua DPD KAI (Kongres Advokat Indonesia) Jatim Abdul Malik melaporkannya.


Malik telah melaporkan Risma ke Gubernur Jatim, Bawaslu RI, DKPP RI, hingga Mendagri, terkait acara kampanye online Risma pada 18 Oktober lalu. Hal tersebut dinilai telah melanggar PKPU dan sejumlah aturan lainnnya.


“Risma melakukan pelanggaran berat dan dapat kena hukuman penjara," kata Abdul Malik di Surabaya, sebagaimana dilansir Pikiranrakyat, Minggu 25 Oktober 2020.


Lebih lanjut, Malik menambahkan, "Ia menyuruh warga memilih Eri Cahyadi dan menjelekkan paslon lain. Dan semua itu tidak ada izinnya."


Sebelumnya, telah ada penjelasan dari BPB Linmas Irvan Widyanto bahwa Risma sudah mengantongi izin dari Gubernur Jatim untuk melakukan kampanye. Namun Malik menegaskan bahwa hal itu layak dipertanyakan kebenarannya.


Berdasarkan informasi yang didapatkan Malik, izin kampanye Risma hanya untuk tanggal 10 November.


"Dalam kampanye online itu Risma juga bohong menyebut Eri sebagai anaknya. Saya ini praktisi hukum, Eri bukan dilahirkan Risma. Risma sudah berbohong," ujarnya.

Malik menegaskan, pelanggaran yang dilakukan Risma pada 18 Oktober lalu adalah pelanggaran berat.


Harusnya, menurut Malik, Risma kena pindana kurungan seperti yang dialami lurah di Mojokerto bernama Suhartono. Ia ditahan 2 bulan dan denda Rp 6 juta.


"Kalau Risma beralasan kampanye yang dia lakukan di hari Minggu, Suhartono juga kena pidana pemilu karena ikut menyambut Sandiaga Uno di hari Minggu."


"Saya pengacara Suhartono dalam menghadapi proses hukum pidana pemilu itu. Jadi sudah ada yurisprudensi-nya,” kata Malik.


Malik menegaskan bahwa dirinya akan all-out untuk mengawal kasus ini. Semua instansi terkait akan ia lapori. Dia juga meminta kejaksaan dan polisi untuk menggunakan instrumen mereka untuk mengusut.


"Mengusut penggunaan APBD untuk kepentingan yang tidak semestinya, korupsi, tercium keras," ujar dia.


Dia menyayangkan sikap Risma yang secara terbuka dan terang-terangan mengkampanyekan pasangan Eri Cahyadi-Armuji.


Di ujung masa jabatannya, Risma dinilai melakukan pelanggaran demi pelanggaran yang dikhawatirkan bakal meninggalkan kesan buruk kepadanya.


"Kalau mau bebas kampanye, lebih baik Risma mundur saja. Serahkan jabatan wali kota ke wakil Whisnu Sakti Buana. Begitu vulgar Risma kampanye, bagaimana mungkin ia tidak melakukan penyelewengan kewenangan dan APBD," ucap Malik mengakhiri. (*)




SancaNews.Com - Banyak yang mempertanyakan soal penegakan hukum di negeri ini di era rezim Jokowi yang dinilai tidak adil, betapa cepat dan mudahnya mereka yang tidak berpihak pada penguasa akan segera ditangkap.


Sebut saja para tokoh dan aktivis KAMI, seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana. Atau yang menimpa ustadzah Kingkin Anida. Dan terbaru yang menimpa Gus Nur.


Namun disisi lain, berapa banyak kasus yang dilakukan para pendukung penguasa, tapi mereka seakan tak tersentuh. Walaupun sudah berkali-kali dilaporkan.


Ade Armando dilaporkan atas penghinaan terhadap Anies Baswedan. Tak ada kabarnya. Bahkan Ade Armando ini sudah berstatus Tersangka dalam kasus penodaan agama, namun kasusnya entah kemana. Masih bebas melenggang.


Abu Janda dilaporkan atas penghinaan terhadap bendera Tauhid. Tak ada beritanya sampai sekarang. 


Denny Siregar dilaporkan atas penghinaan santri dan sudah berbulan-bulan tidak juga diperiksa. Apakah ini penegakkan hukum yang adil?


Padahal menteri yang bertanggungjawab terhadap penegakkan hukum di negeri ini, Menko Polhukam Mahfud MD dengan berapi-api berkhutbah tentang kehancuran negeri kalau hukum tidak ditegakkan dengan adil.


Menko Polhukam Mahfud MD dalam Khutbah Jumat pada 31 Januari 2020 lalu mengatakan; "Kalau orang kuat melakukan kejahatan tidak dihukum, sementara orang lemah berbuat salah langsung dihukum, maka negara akan hancur pada saatnya!"


Video ini kembali viral di sosial media, "Pak Mahfud lagi menceramahi pak Menkopolhukam," sindir netizen.


Khutbah ini diabadikan dalam video. Dan tentu diabadikan dan dicatat malaikat.. untuk diminta pertanggungjawaban kelak di Akhirat..


[Video]


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.