Latest Post

Jakarta, SNC - Pernyataan Ketua Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, ditujukan untuk mengobrak-abrik demonstran dan menuntut Presiden Joko Widodo mundur karena sampah demokrasi berubah menjadi polemik.


Sejumlah tokoh politik dan agama pun menyampaikan tanggapan balik melalui media sosial. Salah satunya adalah politikus dari Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, mengingatkan Ngabalin bahwa orang-orang yang hadir dalam demonstrasi itu sedang mempraktikkan demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.


“Pendemo itu bukan sampah demokrasi, Mas Ali. Tapi mereka menggunakan hak demokrasi yang dijamin UUD. Tiap warga negara punya hak bicara, hak kerja dan hidup yang layak. Anda baca UUD NRI tahun 1945 lagi deh,” demikian ditulis Tifatul dalam media sosial yang diakhiri dengan tanda: *KacangLupaKulit#


Kritik keras disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Tengku Zulkarnain. Tengku menekankan pendemo yang memprotes ketidakadilan dan UU Cipta Kerja yang dirasa tidak adil adalah pejuang demokrasi, bukan sampah demokrasi.


“Buat apa dibuat pasal di UUD 1945 jika sampah? Berani menuduh UUD 1945 sebagai sampah? Sampah demokrasi itu penjilat rezim… Salah-benar jilat. Paham?” kata Tengku, Rabu (14/10/2020).


Sedangkan politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik mengingatkan Ngabalin tentang pernyataannya. Rachland mengkritik balik Ngabalin.


“Pak Ngabalin, demokrasi itu bersih. Otoriterismelah yang mengotori demokrasi. Dan Anda yang di istana: Andalah sampah otoriterisme!” [*]


Jakarta, SNC - Buntut dari pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR beberapa waktu lalu, serentetan demonstrasi pecah di berbagai daerah khususnya di Jakarta.


Akan tetapi, demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi rakyat tersebut berujung bentrok antara massa aksi dengan pihak kepolisian.


Pihak kepolisian yang dibekali dengan persenjataan sering kali menembakkan gas air mata untuk memukul mundur peserta aksi.


Seperti yang terjadi di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020), polisi bahkan menembakkan gas air mata di pemukiman warga.


Akibatnya anak-anak dan balita menjadi korban kebrutalan polisi tersebut hingga video-videonya viral di media sosial.


Salah satu video yang menunjukkan anak-anak jadi korban gas air mata polisi diunggah oleh pengelola akun Twitter @SaveMoslem1.


"Dalam kondisi apapun, hal yang paling menyakitkan dan membuat marah adalah apabila ada anak dan balita yang menjadi korbannya. Malam ini di Kwitang, saat polisi melakulan sweeping, masuk ke gang-gang kecil pemukiman warga dan melepaskan tembakan gas air mata," tulis @SaveMoslem1 menerangkan videonya.


Di video lain yang diunggah @harisamsir67, beberapa anak kecil terlihat murung setelah terkena gas air mata polisi.


"Matanya pada merah, kena gas air mata, polisi biad*b. Anak gue yang satu nih matanya pada merah, kena di dalam rumah, masuk gasnya," kata perekam video unggahan @harisamsir67 penuh amarah. (Videonya di sini.)


Tidak cukup sampai di situ, sejumlah orang dewasa juga menjadi korban gas air mata polisi seperti yang ditunjukkan oleh akun @Dahnil_Arief dalam video unggahanya.


"Buat temen-temen tolong dong, ini kita warga 1C, trus polisi lemparin gas air mata ke rumah, tolong kalian viralin," kata perempuan dalam video tersebut.


Ia memperlihatkan kerabatnya yang mengalami luka-luka akibat serangan polisi.


Atas insiden memilukan itu, penyanyi senior Neno Warisman ikut mempertanyakan tanggung jawab kepolisian.


"Adakah S.O.P untuk para PETUGAS tidak melemparkan GAS AIR MATA di Pemukiman Warga.??" tanya Neno di kanal YouTubenya.


Hingga artikel ini diturunkan, ribuan warganet angkat bicara mengutuk perbuatan polisi tersebut.


"Menyerang perkampungan apakah itu bukan sebuah tindakan kriminal? Walaupun itu aparat sekalipun? Tindakan mereka sudah di luar batas," kata warganet dengan akun @AbuHa***


"Memang gas air mata itu perih, dulu rusuh di tanahabang itu, paginya masih terasa menyengat," ujar akun @evalez***



Video Gas Air Mata di Kwitang Viral Dimedsos :





Jakarta, SNC - Polisi menembakka gas air mata beberapa kali ke kawasan pemukiman di jalan Kwitang Jakarta Pusat pada selasa malam, 13 Oktober 2020.

Dikutip dari Tempo, Ketua RT 02 RW 01 Kwitang, Syahruddin mengatakan peristiwa ini terjadi mulai sekitar pukul 19.30 WIB.  

Syahruddin mengatakan ketika itu para demonstran aksi 1310 yang menolak omnibus law memang masuk ke kawasan tersebut dari arah Jalan Kramat Kwitang. Polisi lantas memberondong dengan gas air mata dan peluru karet.

“Mereka menembak bukan ke atas (udara) lagi, tapi ke arah rumah warga,” kata Syahruddin ketika ditemui Tempo pada Rabu dini hari, 14 Oktober 2020.

Tak ayal menimbulkan korban dari warga sekitar, termasuk anak-anak dan balita. Berikut video-video korban tembakan gas air mata aparat yang menyasar wanita dan anak-anak, KORBAN ANAK ANAK Penyerangan polisi diKwitang pic.twitter.com/peJ8bYDGbB


— 🇮🇩HARISAMSIR67🇮🇩 (@harisamsir67) October 13, 2020


Warga Tak Bersalah pun jadi korban kebrutalan Aparat!!!


Indonesia bukan lagi rumah yang nyaman untuk kita😭😭😭 pic.twitter.com/J9JI1DNdTe


— ARIEFCHI (@Dahnil_Arief) October 13, 2020


Dalam kondisi apapun, hal yg paling menyakitkan dan membuat marah adalah apabila ada anak dan balita yg menjadi korbannya.


Malam ini di kwitang, saat polisi melakulan sweeping, masuk ke gang2 kecil pemukiman warga dan melepaskan tembakan gas air mata…. pic.twitter.com/F1MxFDGSBH


— GERAKKANKEMBALIKE UUD’45 (@SaveMoslem1) October 13, 2020


Astagfirullah asal nembak” in warga gatau apa banyak anak kecil dan lansiaa !!! Gaseharunyaa apart seperti itu . Bayi banyak yg troma gr “ denger suara tembakan 😭😭😭😭 banyak korban juga!! #kwitang #tolakomnisbuslaw pic.twitter.com/mmfzhJd3Vm


— GebbyFebrina (@GebbyFebrina_) October 13, 2020



Jakarta, SNC - Unjuk rasa yang belum lama berselang setelah disahkannya UU Cipta Kerja memanas dengan narasi sejumlah tokoh. Alih-alih menenangkan, beberapa narasi yang bermunculan justru menyulut polemik baru.


Kali ini, pernyataan kontroversial disampaikan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin yang menyebut istilah ‘sampah demokrasi’ saat ada aksi demo oleh Aliansi Nasional Anti Komunis (Anak) NKRI di sekitar kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (13/10).


Sontak, pernyataan tersebut pun memancing berbagai reaksi dan salah satunya politikus yang menanggapi pernyataan Ali Ngabalin adalah politikus Demokrat Rachland Nashidik. 


Melalui akun Twitternya, Selasa malam (13/10), Rachland tak sependapat dengan Ngabalin, “Pak Ngabalin, demokrasi itu bersih,” kata Rachland.


Aksi unjuk rasa yang belakangan terjadi di Tanah Air adalah merupakan hak konstitusional masyarakat. Sebaliknya, menurut Rachland, demokrasi akan terciderai bukan karena unjuk rasa melainkan perilaku otoriter.


“Otoriterismelah yang mengotori demokrasi. Dan Anda yang di istana: Andalah sampah otoriterisme!” tandasnya. (*)



Jakarta, SNC - Politisi PKS yang juga pendakwah Kingkin Annida itu ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyebarkan informasi palsu terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sebelumnya, mantan calon PKS Kingkin itu ditangkap pada 10 Oktober 2020 di Tangerang Selatan pukul 13.30 WIB.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan bahwa pendakwah Ustadzah Kingkin Anida ditetapkan tersangka setelah menjalani pemeriksaan selama 1×24 jam. “Kalau yang sudah 1×24 jam itu sudah jadi tersangka,” kata Awi kepada wartawan di gedung Mabes Polri, Jakarta, Selasa (13/10/2020).


Setelah ditetapkan tersangka, Kingkin langsung ditahan penyidik Direktorat Siber Bareskrim Polri. “Saat ini yang bersangkutan (KA) sudah ditahan karena sudah lebih dari 1 x 24 jam,” ujarnya.


Sementara itu, Polri belum bisa menjelaskan secara lebih detail terkait kronologi kejadian dan konstruksi hukumnya dan motif yang dilakukan oleh terduga pelaku penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Awi beralasan karena masih dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


“Kita masih menunggu keterangan dari tim siber atau Dit Tipid Siber Bareskrim Polri setelah nanti dilakukan pemeriksaan secara intensif, akan disampikn lebih lanjut bagaimana kejadiannya, kelanjutannya, kronologisjya, kemudian apa motif,” paparnya.


Sementara untuk petinggi aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana (AP) yang juga anggota eksekutif KAMI pusat belum ditetapkan sebagai tersangka. Dan terakhir Kholid Saifullah (aktifis PII) yang juga ikut tertangkap.


“Ada yang masih belum (ditahan), karena masih proses pemeriksaan hari ini,” tukasnya. Diketahui, sejumlah pengurus KAMI yang ditangkap dalam hal ini SG, JH, AP, dan KA, serta Kholid Saifullah (KS), diduga melanggar UU ITE dan ujaran kebencian, pasal 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP tentang penghasutan.


Kemudian anggota KAMI Sumatera Utara yang ditangkap tim Siber Bareskrim, pertama Juliana Devi, Khairi Amri, dan Wahyu Rasari Putri yang merupakan KAMI Medan Sumatera Utara. Dan Videlya Esmerella sebagai Aktivis perempuan Makassar. “Kemudian inisial JD dan NZ ditangkap Tim siber Polda Sumatera Utara pada 10 Oktober 2020,” tuturnya.


Pada hari berikutnya, tanggal 12 Oktober 2020, atas nama inisial WRP ditangkap Tim Siber Polda Sumatera Utara. “Mereka semua ditangkap karena terkait dengan adanya demo menolak Omnibus Law yang berakhir anarkis di Sumatera Utara,” tandasnya. [*]


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.