Latest Post



Banten, SNC –  Sekitar 50 ribu buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Banten Bersatu (AB3) dijadwalkan akan mengepung Istana Negara pada 20-22 Oktober 2020 mendatang.


Hal itu dilakukan untuk mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Omnibus Law Cipta Kerja.


Hal itu merupakan aksi lanjutan yang akan dilakukan para buruh untuk menggagalkan Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu.

 

Sebab, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja dianggap tidak berpihak pada masyarakat kecil. Khususnya para buruh.


Tanggal tersebut dipilih para buruh di Banten karena bertepatan dengan setahun pelantikan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.


Dikatakan Presidium AB3, Dedi Sudrajat, jika pihaknya bersama aliansi buruh dari DKI Jakarta dan Jawa Barat akan bergabung bersama-sama mendesak Jokowi mengeluarkan Perppu.

 

Bahkan, pihaknya sudah mengkoordinir seluruh buruh untuk melakukan pemberangkatan ke Ibu Kota.


“Hampir 50 ribu se-Provinsi Banten. Nanti kita gabung dengan DKI dan Jabar. Tuntutannya sama, Presiden mengeluarkan Perppu. Itu aja. Kita mah enggak melebar kemana-mana,” ucapnya saat dihubungi melalui telepon seluler, Senin (12/10/2020).


Diungkapkannya, jika para buruh yang tergabung dalam AB3 akan berangkat menggunakan bis yang sudah disewa.

 

Namun, bagi para buruh yang berada di daerah Tangerang akan berkonvoi menggunakan sepeda motor.


Dedi mengatakan pihaknya tidak akan melakukan judicial review terkait pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi beberapa hari lalu.


Menurutnya, hal itu terkesan percuma, karena pihaknya tidak akan menang dalam gugatan di Mahkamah Konstitusi.


“Kita tidak berhasrat, karena hakim MK itu diajukan oleh Presiden, diajukan DPR, diajukan Mahkamah Agung (MA), kemudian ditetapkan oleh Presiden. Logikanya yang kita lawan Presiden sama DPR, mana bakal kita menang? Percuma. Pasti pemerintah berupaya sistem politiknya kondusif,” jelasnya.[*]






Jakarta, SNC - Kini giliran Aliansi Nasional Anti Komunis Republik Indonesia yang berdemonstrasi menentang Istana Kepresidenan Jakarta untuk menolak UU Cipta Kerja dimulai pukul 13.00 WIB oleh Front Pembela Islam, Persaudaraan Alumni  212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama ikut bergabung dengan aliansi tersebut, Selasa (13/10/2020).

 

Ketika dihubungi Suara.com, Wakil Sekretaris Jenderal PA 212 Novel Bamukmin mengonfirmasi rencana aksi damai tersebut.

 

Tuntutannya, selain menolak UU Cipta Kerja, juga menolak RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan RUU Haluan Ideologi Pancasila serta mendesak pembubaran BPIP.

 

Dalam poster berisi undangan aksi yang ditunjukkan Novel kepada Suara.com, tertulis pesan, "jangan pulang sebelum UU Ciptaker tumbang."

 

Kepada semua peserta aksi, koordinator lapangan Damai Hari Lubis dan komandan lapangan Abdul Qodir Aka juga menyerukan kepada mereka untuk membawa bendera merah putih, taat pada komando pimpinan, selalu menjaga ketertiban dan kebersamaan, jalankan protokol kesehatan cegah Covid-19, dilarang membawa atau melibatkan anak-anak serta jangan terprovokasi selama perjalanan.

 

Estimasi massa yang akan ikut aksi besok, kata Ketua PA 212 Slamet Maarif ketika dihubungi Suara.com, mencapai ribuan.

 

Panitia aksi, kata Slamet, sudah mengirimkan surat pemberitahuan rencana unjuk rasa ke Polda Metro Jaya sejak Jumat (9/10/2020).

 

Menanggapi gelombang demonstrasi dengan mengangkat isu penolakan UU Cipta Kerja, peneliti politik dari lembaga Political and Public Policy Studies Jerry Massie mengatakan demonstrasi, terutama jika untuk membela kepentingan kaum lemah, tidak dilarang.

 

"Saya nilai kalau demo kepentingan kelompok lebih baik jangan berdemo. Tapi kalau demo membela kaum buruh itu tak dilarang. Semua demo dalam menyampaikan aspirasi itu tak dilarang atau kata lain dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Tapi kalau sadah menjurus ke anarkisme maka itu tak diperkenankan," katanya.

 

Rencana demonstrasi kelompok PA 212, menurut Jerry, kalau bertujuan untuk mengingatkan pemerintah mengenai kontroversi UU Cipta Kerja tak menjadi masalah. "Yang bahaya ada penunggang gelap. Saya sarankan 212 gelar RDP dengan DPR dan pemerintah itu lebih santun dan terhormat," katanya.

 

Jerry menekankan kepada semua pihak untuk hindari politik adu domba. "Paling penting demo tanpa ada muatan politis atau demo murni," katanya. (*)


Saksikan Videonya





Jakarta, SNC - Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) meminta polisi membebaskan empat mahasiswa yang ditahan terkait aksi demo menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang berlangsung rusuh di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah, Rabu (7/10) lalu.


Permintaan GERAM disampaikan lewat aksi demo damai di bundaran Tugu Muda Semarang pada Minggu (11/10) sore.


Koordinator GERAM, Dephen mengatakan polisi seharusnya tidak melakukan penahanan terhadap empat mahasiswa yang disangka melakukan provokasi dan anarkisme. Pasalnya, mulai Senin (12/10), kampus tempat kuliah empat mahasiswa tersebut akan melakukan Ujian Tengah Semester (UTS).


"Yang ditahan itu mahasiswa, besok senin rekan-rekan kita itu akan UTS, sama seperti kita. Kasihan kan kalau tidak mengikuti karena harus ditahan di sel. Kita mohon polisi mengabulkan penangguhan penahanan yang diajukan Tim Kuasa Hukum," kata Dephen.


Sementara itu, Kapolrestabes Semarang Kombes Polisi Auliansyah Lubis menyebut proses penangguhan penahanan ada mekanisme dan proses yang mesti dilalui.


Aulia juga menegaskan bila pihaknya tak sembarangan dalam melakukan penyelidikan termasuk menjadikan empat mahasiswa sebagai tersangka, bila tidak disertai saksi dan bukti.


"Silakan saja ajukan penangguhan penahanan. Ada mekanisme dan prosesnya, tidak bisa serta merta. Kami pun tidak sembarangan dalam melakukan penyelidikan, dari keterangan saksi, bukti hingga gelar perkara sampai menjadikan status tersangka," terang Aulia.


Aulia juga menambahkan pihaknya menjamin keselamatan empat mahasiswa yang ditahan sehingga rekan-rekan aktivis mahasiswa tidak perlu kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


"Soal keselamatan, saya jamin. Percayakan saya, tidak akan terjadi apa-apa dengan adik-adik yang di dalam," tegas Aulia. (sanca) 


Sumber : cnnindonesia



Semarang, SNC - Gelombang massa di Kota Semarang yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja masih terus berlangsung. Mahasiswa, buruh dan berbagai elemen lainnya yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) kembali menggelar aksi di Bundaran Tugu Muda Semarang, Minggu (11/10/2020) sore.


Para demonstran membawa berbagai poster penolakan Omnibus Law dan kekecewaannya kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo serta DPR RI.


Selain menolak keras Omnibus Law, para mahasiswa bersolidaritas mendesak pihak kepolisian untuk segera membebaskan empat rekannya yang saat ini masih ditahan di Polrestabes Semarang.


Ini menjadi aksi lanjutan dari sebelumnya dilakukan pada 7 Oktober 2020 lalu. Para demonstran menilai, banyak sekali ditemukan aksi represif aparat kepolisian hingga terjadi tindakan kekerasan, pemukulan dan penangkapan terhadap demonstran.


“Bahkan hingga saat ini, masih ada empat mahasiswa yang masih ditahan di Polrestabes Semarang. Bukannya poin tuntutan disambut dengan baik, malah aksi dihadiahi represif yang kemungkinan berujung pada upaya kriminalisasi,” ungkap salah satu juru bicara aksi, Frans.


Para demonstran menilai, DPR RI menunjukkan sikap arogan karena RUU Cipta Kerja tetap dibahas dan disahkan meski telah mendapatkan protes keras dari berbagai pihak sejak awal.


“Baru saja kita memperingati 1 tahun usia gerakan #ReformasiDikorupsi yang terjadi pada September lalu dengan sejumlah poin tuntutan dari buruknya produk legislasi hingga persoalan demokrasi. Kini, bukannya pemerintah bersama DPR berbenah diri, malah menghadirkan persoalan baru,” tegasnya.


Aksi tersebut menyatakan sikap Mosi Tidak Percaya kepada pemerintah dan DPR RI, menolak UU Cipta Kerja, dan UU yang tidak pro rakyat. “Kami mendesak polisi untuk segera membebaskan empat mahasiswa peserta aksi yang masih ditahan di Polrestabes Semarang,” katanya.


Selain itu, para mahasiswa mendesak agar represifitas aparat kepolisian terhadap aksi pada 7 Oktober 2020 di depan halaman DPRD Jawa Tengah diusut tuntas. “Polisi harus menghentikan segala bentuk represifitas terhadap masyarakat yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan aspirasi dan pendapatnya,” tegas dia.


Sementara itu, perwakilan buruh di Semarang Ahmad Zainudin menegaskan pihaknya bersikap tegas menolak Omnibus Law. “Buruh akan melakukan perlawanan dengan cara apapun karena isi UU tersebut mendegradasi Undang-Undang yang ada,” ujarnya. (*)



Sumber : jatengtoday



Jakarta, SNC –  Empat jurnalis mendapat perlakuan represif dari oknum kepolisian ketika meliput demonstrasi tolak Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta pada Kamis (8/10/2020).

 

Menyoroti itu, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menerangkan, penangkapan dan penganiayaan sejumlah jurnalis terjadi saat kondisi demonstrasi ricuh. Alhasil, alih-alih melindungi jurnalis polisi malah menyelamatkan dirinya sendiri.

 

"Karena situasinya chaos dan anarkis anggota juga melindungi dirinya sendiri," kata Argo Yuwono kepada wartawan di gedung Bareskrim Polri, Jumat (9/10/2020).

 

Argo meminta jurnalis menunjukan ID Pers ketika meliput demonstrasi ke aparat kepolisian. Padahal, hampir semua jurnalis yang menjadi korban kekerasan hingga penangkapan sudah menunjukan ID Pers dan telah mengaku sebagai wartawan ke polisi.

 

"Disampaikan saja bahwa saya seorang wartawan sedang meliput, nanti di belakang dan akan dilindungi," tuturnya.        

 

Argo berjanji akan menyelidiki oknum anggota polisi yang melakukan pemukulan atau penganiayaan kepada sejumlah jurnalis. Mengingat, kejadian represif oknum polisi kepada jurnalis selalu berulang-ulang.

 

"Nanti kita akan kroscek dulu kejadiannya seperti apa," imbuhnya.

 

Argo mengakui, pihak kepolisian seharisnya melindungi jurnalis ketika bertugas. Termasuk saat kondisi di lapangan alami kericuhan.

 

"Kita memang harus jujur mengakui bahwa kita seharusnya melindungi wartawan ya," jelasnya.   

 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat 4 jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Jakarta, 8 Oktober 2020.      

 

Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan oknum polisi. Dia mendapat kekerasan karena dituding merekam oknum polisi bersikap represif kepada pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta Utara.

 

Tidak hanya dipukul, oknum polisi merampas ponsel milik Tohirin dan tanpa izin memeriksa dokumen pribadinya. Tidak lama kemudian, oknum polisi tersebut membanting ponsel Tohirin ke aspal hingga hancur, alhasil data liputan korban turut rusak.

 

“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat sebelum aksi pemukulan, Kamis (8/10/2020) malam.

 

Kemudian Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga jadi sasaran arogansi oknum polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Tiba-tiba oknum polisi berpakaian sipil menghampiri untuk meminta kamera korban. Namun, Peter menolak dan mengaku bahwa dirinya wartawan.

 

Tidak percaya penjelasan Peter, oknum polisi tadi merampas kameranya. Peter kemudian dipukul dan ditendang polisi hingga tangan dan pelipis matanya memar.

 

“Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter.

 

Selanjutnya, Ponco Sulaksono, jurnalis dari Merahputih.com. Dia hilang sebelum akhirnya diketahui telah dibekuk polisi. Ponco ditahan di Polda Metro Jaya.

 

Kemudian Aldi, wartawan Radar Depok. Aldi ditangkap polisi karena merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Dia sempat bersitegang dengan polisi sebelum akhirnya ikut digiring ke Polda Metro Jaya. [*]


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.