Latest Post


Jakarta, SNC - Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) meminta polisi membebaskan empat mahasiswa yang ditahan terkait aksi demo menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang berlangsung rusuh di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah, Rabu (7/10) lalu.


Permintaan GERAM disampaikan lewat aksi demo damai di bundaran Tugu Muda Semarang pada Minggu (11/10) sore.


Koordinator GERAM, Dephen mengatakan polisi seharusnya tidak melakukan penahanan terhadap empat mahasiswa yang disangka melakukan provokasi dan anarkisme. Pasalnya, mulai Senin (12/10), kampus tempat kuliah empat mahasiswa tersebut akan melakukan Ujian Tengah Semester (UTS).


"Yang ditahan itu mahasiswa, besok senin rekan-rekan kita itu akan UTS, sama seperti kita. Kasihan kan kalau tidak mengikuti karena harus ditahan di sel. Kita mohon polisi mengabulkan penangguhan penahanan yang diajukan Tim Kuasa Hukum," kata Dephen.


Sementara itu, Kapolrestabes Semarang Kombes Polisi Auliansyah Lubis menyebut proses penangguhan penahanan ada mekanisme dan proses yang mesti dilalui.


Aulia juga menegaskan bila pihaknya tak sembarangan dalam melakukan penyelidikan termasuk menjadikan empat mahasiswa sebagai tersangka, bila tidak disertai saksi dan bukti.


"Silakan saja ajukan penangguhan penahanan. Ada mekanisme dan prosesnya, tidak bisa serta merta. Kami pun tidak sembarangan dalam melakukan penyelidikan, dari keterangan saksi, bukti hingga gelar perkara sampai menjadikan status tersangka," terang Aulia.


Aulia juga menambahkan pihaknya menjamin keselamatan empat mahasiswa yang ditahan sehingga rekan-rekan aktivis mahasiswa tidak perlu kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


"Soal keselamatan, saya jamin. Percayakan saya, tidak akan terjadi apa-apa dengan adik-adik yang di dalam," tegas Aulia. (sanca) 


Sumber : cnnindonesia



Semarang, SNC - Gelombang massa di Kota Semarang yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja masih terus berlangsung. Mahasiswa, buruh dan berbagai elemen lainnya yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) kembali menggelar aksi di Bundaran Tugu Muda Semarang, Minggu (11/10/2020) sore.


Para demonstran membawa berbagai poster penolakan Omnibus Law dan kekecewaannya kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo serta DPR RI.


Selain menolak keras Omnibus Law, para mahasiswa bersolidaritas mendesak pihak kepolisian untuk segera membebaskan empat rekannya yang saat ini masih ditahan di Polrestabes Semarang.


Ini menjadi aksi lanjutan dari sebelumnya dilakukan pada 7 Oktober 2020 lalu. Para demonstran menilai, banyak sekali ditemukan aksi represif aparat kepolisian hingga terjadi tindakan kekerasan, pemukulan dan penangkapan terhadap demonstran.


“Bahkan hingga saat ini, masih ada empat mahasiswa yang masih ditahan di Polrestabes Semarang. Bukannya poin tuntutan disambut dengan baik, malah aksi dihadiahi represif yang kemungkinan berujung pada upaya kriminalisasi,” ungkap salah satu juru bicara aksi, Frans.


Para demonstran menilai, DPR RI menunjukkan sikap arogan karena RUU Cipta Kerja tetap dibahas dan disahkan meski telah mendapatkan protes keras dari berbagai pihak sejak awal.


“Baru saja kita memperingati 1 tahun usia gerakan #ReformasiDikorupsi yang terjadi pada September lalu dengan sejumlah poin tuntutan dari buruknya produk legislasi hingga persoalan demokrasi. Kini, bukannya pemerintah bersama DPR berbenah diri, malah menghadirkan persoalan baru,” tegasnya.


Aksi tersebut menyatakan sikap Mosi Tidak Percaya kepada pemerintah dan DPR RI, menolak UU Cipta Kerja, dan UU yang tidak pro rakyat. “Kami mendesak polisi untuk segera membebaskan empat mahasiswa peserta aksi yang masih ditahan di Polrestabes Semarang,” katanya.


Selain itu, para mahasiswa mendesak agar represifitas aparat kepolisian terhadap aksi pada 7 Oktober 2020 di depan halaman DPRD Jawa Tengah diusut tuntas. “Polisi harus menghentikan segala bentuk represifitas terhadap masyarakat yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan aspirasi dan pendapatnya,” tegas dia.


Sementara itu, perwakilan buruh di Semarang Ahmad Zainudin menegaskan pihaknya bersikap tegas menolak Omnibus Law. “Buruh akan melakukan perlawanan dengan cara apapun karena isi UU tersebut mendegradasi Undang-Undang yang ada,” ujarnya. (*)



Sumber : jatengtoday



Jakarta, SNC –  Empat jurnalis mendapat perlakuan represif dari oknum kepolisian ketika meliput demonstrasi tolak Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta pada Kamis (8/10/2020).

 

Menyoroti itu, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menerangkan, penangkapan dan penganiayaan sejumlah jurnalis terjadi saat kondisi demonstrasi ricuh. Alhasil, alih-alih melindungi jurnalis polisi malah menyelamatkan dirinya sendiri.

 

"Karena situasinya chaos dan anarkis anggota juga melindungi dirinya sendiri," kata Argo Yuwono kepada wartawan di gedung Bareskrim Polri, Jumat (9/10/2020).

 

Argo meminta jurnalis menunjukan ID Pers ketika meliput demonstrasi ke aparat kepolisian. Padahal, hampir semua jurnalis yang menjadi korban kekerasan hingga penangkapan sudah menunjukan ID Pers dan telah mengaku sebagai wartawan ke polisi.

 

"Disampaikan saja bahwa saya seorang wartawan sedang meliput, nanti di belakang dan akan dilindungi," tuturnya.        

 

Argo berjanji akan menyelidiki oknum anggota polisi yang melakukan pemukulan atau penganiayaan kepada sejumlah jurnalis. Mengingat, kejadian represif oknum polisi kepada jurnalis selalu berulang-ulang.

 

"Nanti kita akan kroscek dulu kejadiannya seperti apa," imbuhnya.

 

Argo mengakui, pihak kepolisian seharisnya melindungi jurnalis ketika bertugas. Termasuk saat kondisi di lapangan alami kericuhan.

 

"Kita memang harus jujur mengakui bahwa kita seharusnya melindungi wartawan ya," jelasnya.   

 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat 4 jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Jakarta, 8 Oktober 2020.      

 

Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan oknum polisi. Dia mendapat kekerasan karena dituding merekam oknum polisi bersikap represif kepada pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta Utara.

 

Tidak hanya dipukul, oknum polisi merampas ponsel milik Tohirin dan tanpa izin memeriksa dokumen pribadinya. Tidak lama kemudian, oknum polisi tersebut membanting ponsel Tohirin ke aspal hingga hancur, alhasil data liputan korban turut rusak.

 

“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat sebelum aksi pemukulan, Kamis (8/10/2020) malam.

 

Kemudian Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga jadi sasaran arogansi oknum polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Tiba-tiba oknum polisi berpakaian sipil menghampiri untuk meminta kamera korban. Namun, Peter menolak dan mengaku bahwa dirinya wartawan.

 

Tidak percaya penjelasan Peter, oknum polisi tadi merampas kameranya. Peter kemudian dipukul dan ditendang polisi hingga tangan dan pelipis matanya memar.

 

“Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter.

 

Selanjutnya, Ponco Sulaksono, jurnalis dari Merahputih.com. Dia hilang sebelum akhirnya diketahui telah dibekuk polisi. Ponco ditahan di Polda Metro Jaya.

 

Kemudian Aldi, wartawan Radar Depok. Aldi ditangkap polisi karena merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Dia sempat bersitegang dengan polisi sebelum akhirnya ikut digiring ke Polda Metro Jaya. [*]



Pamekasan, SNC - Ribuan massa dari Nahdlatul Ulama (NU) menggeruduk Polres Pamekasan menuntut pemilik akun Facebook Muhammad Izzul yang sudah melecehkan kiai dengan sebutan 'simpatisan PKI', Jumat (9/10/2020) siang.


Pelecehan terhadap Kiai yang dilakukan Muhammad Izzul itu diunggah di media sosial Facebook yang membubuhkan caption 'simpatisan PKI sejak dulu' pada sebuah berita yang terpampang foto Ketua PCNU Kabupaten Pamekasan, KH Taufik Hasyim.


Diketahui, kedatangan mereka ke Mapolres Pamekasan tersebut untuk menyampaikan dua tuntutan segera ungkap dan tangkap pemilik akun FB Muhammad Izzul yang melecehkan nama baik Ketua NU Pamekasan, KH Taufik Hasyim dan massa yang datang adalah gabungan dari kader Nahdlatul Ulama (NU), pengurus NU, muslimat NU, Fatayat NU, Ansor, dan Banser NU.


Orator Aksi, Imam S Arizal mengatakan, kedatangan ribuan massa ke Mapolres Pamekasan ini untuk menagih hasil pengungkapan kasus pelecehan nama baik Ketua NU Pamekasan.


Demonstrasi ini kata dia merupakan aksi yang kedua kalinya dan pada aksi pertama, pihaknya sudah memberikan waktu tiga hari kepada Satreskrim Polres Pamekasan untuk mengungkap siapa pemilik akun FB Muhammad Izzul. Namun waktu yang diberikan selama itu tidak dimanfaatkan sebaik mungkin dan belum diketahui secara pasti hasilnya.


"Apakah Kapolres Pamekasan takut untuk menangkap pelaku pemilik akun FB Muhammad Izzul ini, kalau takut kami siap ada di garda terdepan untuk mendampingi," teriak imam melalui pelantang suara.


Imam mengingatkan, jangan pernah Polres Pamekasan mau diintervensi oleh kelompok lain yang sengaja ingin membuat kegaduhan, bahkan pihaknya mengaku mendengar bisik-bisik bahwa polres Pamekasan khawatir untuk mengungkap identitas pemilik akun Facebook Muhammad Izzul ini.


Ia menduga, pemilik akun FB Muhammad Izzul tersebut adalah orang yang besar dan kelompok yang kuat, "Kami tidak ingin institusi Polri dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu, kami tidak mau itu," tegasnya.


Imam meminta kepada Polres Pamekasan agar bekerja ekstra dalam mengungkap pemilik akun Facebook bernama Muhammad Izzul tersebut, "Ingat siapapun yang ingin menghancurkan NU maka dia akan lebur dan hancur dengan sendirinya," tutupnya. (sanca)


Sumber: Tribun



Sukabumi, SNC - Sederet siswa dari sejumlah Sekolah Menengah Kejuruan (STM) turut serta dalam aksi massa Omnibuslaw di Kota Sukabumi. Aksi yang dipusatkan di lapangan merdeka itu mulai bergeser ke arah kantor DPRD dan Balai Kota Sukabumi, Rabu sore (7/10/2020).


Kedatangan pelajar STM ini sempat menyedot perhatian massa yang berkumpul di sepanjang jalan Djuanda (Dago), Kota Sukabumi dengan berseragam abu-abu dan almamater sekolah masing-masing, mereka bergabung untuk melawan Omnibuslaw.


“Kami mau dukung kakak kakak mahasiswa dan buruh menolak omnibuslaw. Negara jangan bikin susah rakyat,” teriak salah seorang pelajar.


Massa pelajar ini kemudian bergabung dengan mahasiswa, buruh dan ormas yang sudah mulai melakukan orasi di depan kantor DPRD Kota Sukabumi. Massa meminta DPRD Kota Sukabumi menyampaikan aspirasi mereka ke senayan.


Selain melalui jalur DPRD, massa juga akan meminta bantuan pemerintah daerah dalam hal ini pemkot Sukabumi ikut menyampaikan aspirasi ke Kementrian Tenaga Kerja dan Presiden. Aksi di DPRD dan Balai Kota Sukabumi ini mendapatkan pengawalan ketat dari personel keamanan. []

 


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.