Latest Post

Para tokoh dan aktivis yang hadir dalam acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI)


Jakarta, SancaNews.Com - Sejumlah tokoh dan cendekiawan terkemuka atas nama perwakilan masyarakat yang peduli tentang masa depan bangsa berkumpul dan mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) menganggap bahwa keadaan saat ini telah menyimpang jauh dari aspirasi para pendiri bangsa, tepatnya di Jalan Raya Fatmawati No. 76, Jakarta Selatan, Minggu (2/8).

Para tokoh dan aktivis yang hadir dalam acara itu antara lain Din Syamsudin, Abdullah Hehamahua, Rocky Gerung, MS Ka’ban, M Said Didu, Refly Harun, Syahganda Nainggolan, Prof Anthony Kurniawan, Rohmat Wahab, Ahmad Yani, Adhie M Massardi, Moh Jumhur Hidayat, Ichsanudin Noorsy, Hatta Taliwang, Marwan Batubara, Edwin Sukowati, Joko Abdurrahman, Habib Muhsin Al Atas, Tamsil Linrung, Eko Suryo Santjojo, Chusnul Mariyah, dan Sri Bintang Pamungkas.

Din Syamsudin dalam sambutannya mengatakan, kapal besar Indonesia telah goyang dan hampir karam. Untuk itu perlu gerakan menyelamatkan Indonesia, yang berarti menyelamatkan jutaan keluarga karena kepala keluarganya kini tidak bisa lagi bekerja karena kena PHK.

“Menyelamatkan Indonesia adalah menyelamatkan dari oligarkhi, kleptokrasi, korupsi, dan politik dinasti,” kata Din dalam acara tersebut.

Din menilai, gerakan menyelamatkan Indonesia adalah gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang harus dilakukan setiap umat. Sebab, perjuangan menyelamatkan berat karena lingkaran setan yang membuat tidak tahu dari mana memulainya.

“Koalisi aksi menyelamatkan Indonesia pada pemahaman saya adalah sebuah gerakan moral seluruh elemen-elemen dan komponen bangsa lintas agama, suku, profesi, kepentingan politik kita bersatu, kita bersama-sama sebagai gerakan moral untuk menyelamatkan Indonesia,” katanya.

“Insya Allah gerakan moral rakyat Indonesia ini akan berlangsung dan saya selalu mengatakan perjuangan kita tidak ada titik kembali,” tambahnya.

Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung mengatakan, pertemuan ini untuk mengadu gagasan dalam upaya mengatasi masalah bangsa. Menurut dia, forum ini bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia.

Selanjutnya, mantan Sekretaris BUMN Said Didu mengajak para birokrat pemerintah, profesional, dan akademisi untuk bergabung bersama-sama menyelamatkan Indonesia, “Mari jadi pengawal kebenaran untuk masa depan bangsa. Jangan jadi pengkhianat kebenaran,” tuturnya.

Mengenai ketidakhadiran sejumlah tokoh dalam acara itu, Din Syamsudin menjelaskan bahwa Gatot Nurmantyo, Rahmawati Soekarnoputri, Rizal-ramli, dan Kwik Kian Gie telah menghubunginya melalui telepon, “Mereka mendukung KAMI tetapi hari ini tidak bisa hadir karena ada halangan,” ujar Din. (sindo)



Wajah Djoko Tjandra, alisnya tampak beda. (ist)

Jakarta, SancaNews.Com - Selama 11 tahun buron Djoko Tjandra alias Joker melakukan segala cara supaya tidak tertangkap. Salah satunya, diduga ia melakukan operasi plastik (oplas) dan sulam alis.

Masyarakat sempat menyoroti wajah Djoko Tjandra yang berubah dari aslinya saat turun dari pesawat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur.

Sebelumnya, Djoko Tjandra memiliki alis yang tipis, namun setelah ditangkap, alis Djoko Tjandra semakin tebal. Perubahan penampilan wajah tersebut diduga untuk menutupi pelariannya dari aparat kepolisian. Bahkan para Netizen curiga bahwa Djoko Tjandra yang diamankan tersebut bukan Djoko sebenarnya.

Menanggapi hal tersebut, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono memastikan bahwa yang ditangkap Bareskrim Polri tersebut benar-benar Djoko Tjandra. Hal tersebut dari hasil pemeriksaan Puslabfor Mabes Polri.

“Hasil pencocokan wajah oleh inafi s dan hasilnya memang benar Djoko Tjandra,” kata Argo, Sabtu (1/8/2020).

Usai menjalani tes kesehatan, Djoko Tjandra langsung dijebloskan keruang tahanan (rutan) Salemba cabang Bareskrim Polri. Ia menghuni sel nomor 1 seorang diri dengan bentuk ruangan persegi panjang. Ia ditahan terpisah dengan tersangka Brigjen Prasetijo Utomo yang berada di sel nomor 26.

Kabareskrim Polri, Komjen Listyo Sigit menjelaskan penahanan Joko di Rutan Bareskrim Polri lantaran pihaknya masih membutuhkan keterangan sang narapidana dalam sejumlah kasus.

Sejumlah kasus lain yang tengah menjerat Djoko Tjandra adalah tentang penerbitan surat jalan, surat keterangan sehat, keluar-masuk Indonesia hingga aliran dana.

“Kepentingan kami untuk lakukan pemeriksaan terkait kasus-kasus (Brigjen Prasetijo dan pengacara Anita Kolopaking) yang terjadi, yaitu terkait keluar masuknya Djoko Tjandra,” kata Listyo, Sabtu (1/8/2020).

Dikatakan, pemisahan sel tahanan terhadap Djoko Tjandra dan Brigjen Prastijo Utomo untuk kepentingan pemeriksaan lebih dalam terkait kasus mereka.

“Kita pisahkan, kita masing-masing memiliki kepentingan untuk kami melakukan pendalaman, tak mungkin kita jadikan satu. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan akan kembalikan sesuai kebijakan kepala rutan salemba,” tukasnya.


KAWAL PERSIDANGAN

Terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra akan menghadapi hukuman baru terkait pelariannya ke luar negeri. Pria yang dipanggil Joker ini sebelumnya ditangkap di Malaysia. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, Djoko Tjandra bisa diberi hukuman baru yang jauh lebih lama dari putusan yang ada sebelumnya.

“Itu karena tingkahnya selama ini hingga pada akhirnya tertangkap oleh Polri pada Kamis (30/7) malam lalu,” kata Mahfud MD melalui akun twitter pribadinya di @mohmahfudmd, dikutip Sabtu (1/8/2020).

Menurut Mahfud, karena tingkahnya, terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar itu bisa diberi hukuman baru yang jauh lebih lama.

Dia menilai, ada sejumlah dugaan pidana yang bisa dikenakan terhadap Djoko Tjandra.


HUKUM BERAT

Sedangkan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Ahmad Mubarok menegaskan Djoko Tjandra harus dihukum berat, perbuatannya sangat memalukan dan melecehkan lembaga hukum di Indonesia.

“Sebab itu, Djoko Tjandra akan mendapatkan tambahan hukum lagi, terkait pelariannya ke luar negeri, dan tentu saja siapapun pejabat yang terlibat kasus pelariannya harus dtindak,” ucap Mubarok dihubungi di Jakarta, Sabtu (1/8/2020).

Sedangkan pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Muzakir yang dihubungi di Jakarta, Sabtu (1/8) mendorong Presiden Jokowi untuk membuat tim untuk mengungkapkan kasus pelarian Djoko Tjandra.

Muzakir beralasan karena banyak sejumlah pejabat yang terlibat dalam kasus pelarian Djoko Tjandra, tidak hanya dari kepolisian tapi juga ada hakim dan jaksa, termasuk pengacaranya.

“Kasus ini harus diungkapkan secara serius, dan masyarakat harus bisa mengawal persidangan Djoko Tjandra nantinya ,” kata Muzakir. Sebab itu, Jokowi harus membentuk tim yang akan menyelidiki kasus ini. (poskota)

Ekonom senior, Rizal Ramli (dua dari kanan) dijadwalkan menghadiri deklarasi KAMI. (ist)

Jakarta, SancaNews.Com - Puluhan tokoh mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) akan berlangsung hari ini pukul 12:30 di RM Gudeg Kendil Mas, Jalan Raya Fatmawati No. 76, Jakarta Selatan, Minggu (2/8).

Tokoh-tokoh itu termasuk Rachmawati Soekarnoputri, Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, M. Din Syamsuddin, Rochmat Wahab, Abdullah Hehamahua, dan Kwik Kian Gie.

Kemudian Bachtiar Chamsyah, MS. Kaban, Said Didu, Muhammad Sidik, Anthony Budiawan, Ichsanuddin Noorsy, Muchsin Al-Atas, M. Hatta Taliwang, Mirah Sumirat, Tedjo Edhy, dan Edwin Soekowati.


"Sampai sejauh ini (para tokoh tersebut) konfirm mau hadir, kita nggak bisa ngomong semuanya hadir, tapi Insya Allah bisa hadir semuanya," ujar narahubung seperti diwartakan rmol.

Koalisi ini, kata Toha, merupakan perkumpulan yang peduli terhadap masa depan negara dan bangsa Indonesia.

"Ini kelompok kritis yang mengkritisi situasi bangsa yang kondisi sudah sangat memprihatinkan," kata Toha.

Dalam undangan yang diterima redaksi, sebagai pihak pengundang ialah Ahmad Yani, Adhie M. Massardi, Eko Suryo Santjojo, Moh. Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan.

Usai menggelar deklarasi, koalisi akan menggelar konferensi pers menjelaskan tujuan dibentuknya koalisi tersebut. (sanca)

Mendikbud Nadiem Makarim/ Ist




Jakarta, SancaNews.Com – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengirimkan surat terbuka kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim.

Surat tersebut dikirim Retno, sebagai seorang ibu yang pernah jadi guru hingga kepala sekolah, sebagai kritik atas cara pandang dan konsep berpikir Mas Menteri Nadiem terhadap pendidikan.

"Saya menulis surat terbuka ini sebagai seorang ibu yang merupakan Warga Negara Indonsia," tulis Retno dalam surat terbuka pada Sabtu (1/8).

Berikut surat terbuka Retno Listyarti kepada Mendikbud Nadiem Makarim:

Surat Terbuka Untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Jakarta, 1 Agustus 2020


Kepada Yth. Bapak Nadiem Makarim,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Di Jakarta Dengan hormat, Teriring salam dan doa semoga Bapak senantiasa sehat. Perkenalkan, saya Retno Listyarti, ibu dari tiga orang anak, pernah menjadi guru selama 24 tahun, sempat menjadi kepala sekolah selama 2 tahun, sempat memimpin organisasi profesi guru (FSGI), dan saat ini mendapat amanah menjadi Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kebetulan bidang yang saya tangani di KPAI adalah pendidikan. Saya menulis surat terbuka ini sebagai seorang ibu yang merupakan Warga Negara Indonsia.

Mas Menteri, tujuan saya menulis surat ini adalah untuk menyampaikan beberapa kritisi saya atas konsep berpikir Anda sebagai menteri yang mengurusi urusan pendidikan di negeri yang berpenduduk 269,60 juta jiwa dan luas wilayah yang mencapai 1.905 juta kilometer persegi.

Semua catatan yang saya sampaikan ada kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), karena kebetulan saat ini saya mengabdi di salah satu lembaga Negara yang kewenangannya memastikan pemenuhan hak-hak anak, termasuk hak pendidikan yang merupakan hak dasar yang harus dipenuhi negara dalam keadaan apa pun.

Sedikitnya ada 3 pertanyaan dan catatan yang ingin saya sampaikan pada Mas Menteri, yaitu : Pertama, Mengapa seorang Mendikbud Menyatakan bahwa Sekolah negeri diperuntukkan bagi siswa miskin?

Mas Menteri, saya terkejut membaca berita di media online terkait pernyataan Anda bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah atau dengan kata lain anak dari keluarga miskin.

Saya ambil kutipan media online sebagai berikut: "Secara prinsip undang-undang dasar kita, sekolah negeri itu seharusnya untuk yang paling membutuhkan secara sosial ekonomi. Itu kan prinsip keadilan sosial yang dijunjung tinggi," ujarnya dalam acara diskusi daring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (29/7).

Pernyataan tersebut menggambarkan dugaan kuat bahwa Mas Menteri belum memahami konstitusi Republik Indonesia. Silakan disimak bunyi pasal 31 UUD 1945, yang dengan sangat jelas mengamanatkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Ini adalah tanggung jawab pemerintah ataupun Negara dalam kemajuan bangsa ini. Bahkan pemenuhan hak atas pendidikan ini pun menjadi salah satu tujuan negera RI yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini menjadi salah satu alasan mengapa kita bernegara dan mengapa kita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bunyi pasal 31 tersebut secara terang benderang menyatakan bahwa hak atas pendidikan untuk semua warga Negara, bukan khusus warga Negara miskin atau kaya.
Pengertian kata setiap warga adalah seluruh anak Indonesia, baik yang pintar maupun tidak, yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin, dan yang disabilitas maupun yang tidak.

Sekolah negeri adalah sekolah yang dibangun pemerintah dalam upaya memenuhi hak atas pendidikan tersebut. Dengan demikian semua anak Indonesia berhak belajar di sekolah negeri.

Selain itu, kewajiban Negara dalam pembiayaan dan pemenuhan hak atas pendidikan  tertiang dalam konstitusi RI pada Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Hal tersebut menguatkan bahwa Negara Republik Indonesia memiliki komitmen untuk memenuhi hak atas pendidikan yang merupakan hak dasar, hak pokok yang wajib dipenuhi Negara dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status social ekonomi, kaya atau miskin.

Pendirian sekolah negeri adalah wujud Negara melakukan pemenuhan hak dasar tersebut, sehingga dengan demikian semua anak Indonesia berhak menikmati pendidikan di sekolah-sekolah negeri, tanpa memandang status ekonomi.

Dengan demikian, pernyatan bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah adalah pernyataan yang tidak tepat, terlebih dikemukakan oleh seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kedua, Mengapa Menteri Nadiem Menurunkan jalur zonasi dalam PPDB tahun 2020 dari 80% menjadi 50%? Dalam pemberitaan terkait diskusi daring tersebut, Mas Menteri menghubungkan kebijakan PPDB sistem zonasi dengan pernyataannya tentang sekolah negeri lebih tepat untuk anak-anak dari keluarga ekonomi rendah atau anak miskin.

Saya malah jadi menangkap kesan dari pernyataan tersebut, bahwa seolah-olah sekolah negeri memang tidak sejajar dengan sekolah-sekolah swasta papan atas yang berbayar sangat mahal, seperti sekolah CIKAL, Al Izhar, Al Azhar, Penabur, dan lain-lain.

Sebenarnya, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi adalah kebijakan yang dilahirkan oleh Menteri Muhajir Effendy pada tahun 2017 saat beliau baru menjabat sebagai Mendikbud RI. Dasar kebijakan PPDB sistem zonasi adalah mencegah pendidikan menjadi pasar bebas sehingga Negara harus hadir, dengan demikian seluruh anak Indonesia, baik kaya maupun miskin, pintar maupun tidak, berkebutuhan khusus/tidak berhak belajar di sekolah negeri, asalkan rumahnya secara jarak dekat dengan sekolah yang dituju.

Pada pelaksaan PPDB sistem zonasi tahun 2019, Mendikbud Muhajir bahkan sudah menetapkan jalur zonasi mencapai 80%, namun di era Mendikbud Nadiem diturunkan drastis menjadi 50%.

Jika Mas Menteri konsisten dengan pernyataan yang disampaikan dalam diskusi daring yang diselenggarakan KPK pada 29/7 lalu, maka menurunkan jalur zonasi hingga sebesar 30% justru mengarah pada ketidak konsistenan dalam berpikir soal keadilan social yang juga Mas Menteri singgung.

Mas Menteri juga menyatakan bahwa “Kalau kita hitung-hitung dari semua total jumlah kebutuhan sekolah di Indonesia dan kita proyeksikan ke depan, tidak mungkin [bisa terpenuhi] tanpa partisipasi pihak swasta,".

Padahal, jumlah sekolah negeri yang yang sedikit, tidak menyebar merata dan semakin naik jenjang pendidikan jumlahnya semakin sedikit bukan barang baru, ini kondisi puluhan tahun yang lalu, masalah lama yang belum diselesaikan.

Kalau Mas Menteri mau meningkatkan APK dan lamanya anak sekolah di Indonesia, maka program menambah jumlah sekolah negeri untuk jenjang SMP dan SMA/SMK mutlak dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang padat penduduk tetapi sekolah negerinya sangat sedikit dan tidak menyebar merata. Ini harus didasarkan pemetaan pemerintah daerah dan memerlukan kerjasama dengan pemerintah daerah.

Sebagai menteri pendidikan, semoga Mas Menteri sudah menyadari bahwa lama belajar di Indonesia baru ditingkatkan 9,1 tahun dalam RPJMN 2020/2024, sebelum tahun 2020 lama belajar anak Indonesia rata-rata hanya 7,9 sampai 8,5 tahun. Lulus SMP normalnya adalah 9 tahun, itu artinya mayoritas SDM kita lulusan Sekolah Dasar (SD). Anak-anak yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP dan SMA/SMK dikarenakan kemiskinan dan tidak ada sekolah negeri terdekat.

Oleh karena itu, daripada menyebar uang APBN dalam program organisasi penggerak (POP) pada organisasi dan yayasan-yayasan yang mayoritas belum jelas rekam jejaknya dalam meningkatkan kapasitas guru dan kepala sekolah, mengapa Mas Menteri tidak mengalihkan anggaran untuk penambahan jumlah sekolah negeri jenjang SMA/SMK yang jumlahnya hanya 6.683 se-Indonesia, angka itu jauh dari mencukupi. Selama jumlahnya tidak ditambah, maka kericuhan PPDB tidak akan mereda tahun-tahun kedepan.

Ketiga, Mengapa Menteri Nadiem yang milineal Tak Berdaya Mengatasi Persoalan PJJ bagi puluhan juta anak Indonesia ?

Pada era pandemic Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring maupun luring sarat kendala, mengapa Mas Menteri yang dijuluki menteri milineal justru terkesan tak berdaya? Tidak terlihat langkah-langkah konkrit Kemdikbud mengatasi berbagai kendala PJJ, padahal hasil survey berbagai pihak terhadap PJJ fase pertama seharusnya dapat dijadikan dasar menyelesaikan masalah. Namun, tidak ada terobosan apapun selama berbulan-bulan, sehingga permasalahan pelaksanaan PJJ fase kedua masih sama.

Padahal, jutaan anak Indonesia saat ini terkurung di rumah, dan para orangtua cemas terhadap efek jangka panjang pada anak-anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain, kesempatan bersosialisasi dan terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah. Data survey Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) fase 1 yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 76,7% responden siswa tidak senang belajar dari rumah.

PJJ adalah “hal baru” bagi anak, orangtua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika survei KPAI terkait PJJ fase pertama berjalan tidak efektif dan 77,8% responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah dengan rincian : 37,1% siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stress; 42% siswa kesulitan daring karena orang tua mereka tidak mampu membelikan kuota internet, dan 15,6% siswa mengalami kesulitan daring karena tidak memiliki peralatan daring, baik handphone, komputer PC, apalagi laptop.

Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring, karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum. Orang tua juga harus mengirim tugas-tugas anaknya kepada gurunya dalam bentuk foto dan video. Terbayang beratnya jika orangtua memiliki anak lebih dari satu yang bersekolah, termasuk beratnya kuota internet yang harus ditanggung orang tua.

Sementara itu, hasil survey yang dilakukan atas inisiasi pribadi oleh Komisioner KPAI bidang Pendidikan pada Juni 2020 terkait pembukaan sekolah menunjukkan hasil yang cukup menarik, di mana 66% orang tua dari 196.546 responden menolak sekolah di buka pada 13 Julli 2020. Namun, penolakan orang tua berbanding terbalik dengan sikap anak-anak yang justru setuju sekolah segera di buka sebanyak 63,7% dari 9 .643 responden.

Disisi lain, sikap pendidik yang berasal dari jumlah sampel 18.111 responden guru sama dengan para siswanya, yaitu 54% setuju sekolah di buka. Para guru dan siswa mendukung sekolah dengan tatap muka karena PJJ di fase pertama dinilai tidak efektif dan sarat kendala, baik bagi siswa maupun bagi guru itu sendiri.

Mas Menteri, ada jutaan anak Indonesia yang saat ini terisolasi di rumah mengalami frustasi karena tidak terlayani PJJ. Berdasarkan survey KPAI, PJJ menunjukan kesenjangan yang lebar dalam akses digital di kalangan peserta didik. Anak-anak dari kelas ekonomi menengah ke atas terlayani PJJ secara daring karena kelompok ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk belajar daring.

Namun, anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah tidak terlayani dalam PJJ karena kelompok ini tidak memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk PJJ daring. PJJ daring juga bias kota dengan desa dan bias Jawa dengan luar Jawa, 54% dari 608.000 anak Papua tidak terlayani PJJ daring karena tidak memiliki semuanya termasuk listrik.

Bagi anak dari keluarga miskin kondisi PJJ secara daring yang tidak mampu mereka akses membuat anak-anak menjadi kehilangan semangat untuk melanjutkan sekolah, apalagi dalam beberapa kasus, anak-anak yang tidak bisa mengikuti PJJ maupun ujian secara daring dianggap tidak mengumpulkan tugas sehingga nilai koginitifnya banyak yang tidak tuntas dan bahkan nilai sikap diberi C sehingga akhirnya anak tersebut dinyatakan tidak naik kelas. KPAI menerima tiga laporan terkait siswa tidak naik kelas karena tidak mampu mengikuti PJJ secara daring.

Mas Menteri, anda memiliki kewenangan sekaligus tanggung jawab besar bagi pelayananan dan pemenuhan hak atas pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Oleh karena itu, dengan kewenangan besar yang anda miliki, seharusnya Anda dapat meringan beban dan derita anak-anak Indonesia dalam PJJ fase kedua.

Untuk itu, saya mendorong batalkan program organisasi penggerak dan alihkan anggaran POP untuk mengatasi kendala PJJ yang sudah berlangsung hampir 5 bulan. Gunakan untuk: (1) pengratisan internet (Kemendikbud dapat berkoordinasi dengan Kemenkominfo sesuai kewenangannya); (2) bantuan gadget bagi anak-anak miskin dan para guru honorer; (3) Kemendikbud segera selesaikan kurikulum dalam situasi darurat “kurikulum adaptif” yang dapat meringankan guru, siswa dan para orang tua. Kalau berani menetapkan tahun ajaran baru 13 Juli 2020 dengan memperpanjang PJJ, seharusnya Kemendikbud sudah siap dengan kurikulum adaptifnya; dan (4) Kemdikbud dapat berkoordinasi dengan Kementerian Desa terkait penggunaan dana desa yang didorong membantu anak-anak desa melakukan PJJ di balai-balai desa dengan fasilitas wifi dan computer milik desa. Apalagi untuk anak-anak yang tinggal di wilayah yang sulit sinyal.

Akhir kata, saya sebagai seorang ibu dan warga Negara di Republik ini berharap banyak pada Anda untuk menunjukkan kemampuan dan kapasitas milineal Anda sebagai Mendikbud -didampingi para staf khusus Anda yang mayoritas milineal dan lulusan pendidikan luar negeri- untuk menyelesaikan masalah pendidikan di era pandemik, khususnya terkait PJJ. Saya menunggu gebrakan Anda bagi kepentingan terbaik untuk anak-anak Indonesia. Sukses dan sehat selalu. Salam hormat, Retno Listyarti. (sanca/jpnn)


Jakarta, SancaNews.Com - Revolusi mental yang merupakan jargon Presiden Joko Widodo saat pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu tidak terjadi hingga saat ini.

Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Sri Edi Swasono saat menjadi narasumber di Bravos Radio Indonesia.

Menurut Prof Sri Edi, tidak adanya yang namanya revolusi mental. Bahkan, ia menyindir bahwa revolusi mental merupakan new normal. Istilah new normal sendiri baru muncul belakangan ini di tengah masa pandemik virus corona baru (Covid-19).

"Revolusi mentalnya gak ada, revolusi mental itu ternyata new normal, sekarang menjadi new upnormal, kan cilaka itu. Tahukah anda bawa yang disebut new normal ternyata adalah new upnormal?" ujar Prof Sri Edi Swasono seperti yang dikutip rmol.id

Karena kata Prof Sri Edi, hingga saat ini masih banyaknya tindakan rasuah hingga mental dinasti kekuasaan, "Jadi revolusi mental tidak ada. Mental korupsi tidak pernah hilang, mental berkuasa dinastis-isme tidak hilang," katanya.

Bahkan, Prof Sri Edi pun menyindir mental dinastiisme malah dilakukan oleh Presiden Jokowi sendiri karena putranya, Gibran Rakabuming Raka diusung untuk maju di Pilkada Solo 2020.

"Kan tidak hilang dinasti-isme, malah Presiden sendiri anaknya diangkat untuk menjadi calon Walikota, itu kan gak pantas, jadi revolusi mental tidak terjadi," tegas Prof Sri Edi. (sanca)

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.