Latest Post


Jakarta, SancaNews.Com - Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai, seharusnya Presiden Joko Widodo mampu mencegah keluarganya maju pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020.

Seperti diketahui, saat ini putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai kandidat calon Wali Kota Solo dan menantunya Bobby Nasution sebagai calon Wali Kota Medan. Menurut Pangi, hal itu harus dilakukan untuk menghindari munculnya dinasti politik.

"Jokowi harusnya hambat juga dinasti politik. Minta keluarganya untuk tidak maju dulu, menahan diri dulu untuk masuk ke politik ini," ujar Pangi seperti diwartakan kompas.com, Selasa (28/7/2020).

Pangi mengatakan, untuk menghindari dinasti politik sebaiknya ada jeda selama lima tahun sejak Jokowi selesai menjabat, jika keluarga mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu ingin terjun ke politik praktis.

Dengan demikian, potensi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power bisa dihindari, "Seharusnya ada jeda lima tahun (dari jabatan Jokowi), baru anak Jokowi bisa bertarung. Jadi tidak langsung nyambung dan supaya tidak ada terjadi potensi abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan," kata Pangi.

Pangi menilai, saat ini Jokowi sedang membangun dinasti politiknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah, mengikuti penjaringan calon Wali Kota Tangerang Selatan.

" Dinasti politik sangat mengganggu kita saat ini. Harusnya lima tahun dulu, jauh dari kekuasaan dulu, baik anak maupun menantunya. Tapi sudah terlanjur," kata dia.

Pangi juga menilai apa yang terjadi dengan keluarga Jokowi saat ini merupakan sejarah baru di Indonesia. Sebab, Jokowi masih aktif sebagai Presiden, sedangkan keluarganya, mulai dari anak, menantu hingga iparnya, bertarung dalam Pilkada 2020. (sanca)



Jakarta, SancaNews.Com - Anggapan publik mengenai dinasti politik yang dibangun Presiden Joko Widodo makin menguat dengan dugaan intervensi presiden dalam Pilkada Gunungkidul.

Di Pilkada Gunungkidul, Jokowi disebut meminta Partai Nasdem tidak mencalonkan Wahyu Purwanto yang merupakan adik ipar Jokowi. Hal itu diduga semata-mata untuk mengaburkan isu politik dinasti.

Namun hal itu disayangkan pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam. Seharusnya jika Jokowi ingin menghilangkan kesan dinasti politik, yang harus ditarik dari pencalonan adalah anaknya, bukan Wahyu yang kini sudah menyatakan mundur dari pencalonan.

"Kok Presiden Jokowi lebih mengorbankan iparnya daripada anaknya sendiri? Mestinya kalau mau bikin contoh (menghapus politik dinasti) anaknya atau menantunya sendiri (yang dikorbankan)," ujar Saiful Anam seperti diwatakan rmol, Selasa (28/7).

Permintaan Jokowi kepada Nasdem tersebut menurut Saiful menunjukkan bahwa sebenarnya Jokowi tahu dan mendengar protes publik mengenai isu dinasti politik yang selama ini terdengar.

"Tapi mengapa tidak perintahkan Gibran atau Bobby mundur dari pencalonan? Mestinya Bobby atau Gibran dilarang dong, jangan justru harapan publik lebih kepada Gibran dan Bobby, kok malah iparnya yang dilarang maju Pilkada," kritik Saiful.

Oleh karenanya, ia menganggap manuver tersebut semakin memperkuat adanya campur tangan Presiden Jokowi dalam persoalan politik keluarganya.

"Saya menduga Gibran dan Bobby bisa jadi yang mendorong maju adalah Presiden Jokowi. Kalau itu benar, maka tepat juga anggapan publik tentang dinasti politik," terang Saiful.

"Berdasarkan pemberitaan yang ada, Jokowi meminta langsung kepada Surya Paloh agar tidak mengusung iparnya dalam Pilkada. Meskipun agak sedikit aneh, tapi hal tersebut membuktikan bahwa presiden turut memengaruhi kebijakan politik yang diambil oleh keluarganya," pungkas Saiful. (rmol)


Ustaz Felix Siauw di Balai Kota DKI Jakarta

Jakarta, SancaNews.Com - Pendakwah ustaz Felix Siauw geram dengan aksi pendemo tolak khilafah hingga membakar dan menyobek spanduk bergambar pentolan FPI Rizieq Shihab. Felix Siauw menduga 'PKI' menjadi dalang dibalik aksi tersebut.

Kegeraman Felix Siauw disampaikan melalui akun Instagram miliknya @felixsiauw. Felix mengaku tak bisa memastikan identitas mereka, namun dugaan kuat mengarah pada 'PKI' dengan plesetan kepanjangan Partai Klepon Indonesia.

"Di Indonesia hanya satu kelompok yang nyata-nyata menunjukkan kebencian pada ulama. Saya tak bisa memastikan, hanya menduga keras, sebab Partai Klepon Indonesia ini memang punya cara yang khas yaitu cara-cara nir-agama, anti-agama," kata Felix seperti dikutip suara.com, Selasa (28/7/2020).

Felix menyebut aksi pendemo menolak khilafah dengan alasan Pancasila mirip seperti yang terjadi pada 1948 atau 1965. Pada tahun itu, Partai Komunis Indonesia atau PKI melakukan pemberontakan.


Felix juga menuding PKI sebagai dalang dibalik isu 'klepon jajanan tidak Islami' yang sempat viral beberapa waktu lalu.

"Saya yakin juga di balik isu klepon, tak lain, ini mirip-mirip dengan apa yang dilakukan di 1948 atau 1965," ungkapnya.

Felix mengaku tak memahami maksud para pendemo membakar hingga merobek spanduk foto Rizieq. Felix menyebut Rizieq tak melakukan perbuatan buruk.

"Apa masalahnya dengan foto yang mereka nistakan itu? Adakah HaRiSy (Habib Rizieq Shihab) itu maling uang negara? Jual narkoba? Jual beli jabatan BUMN? Korupsi? Dukung eljibiti?" tutur Felix.

Felix juga menduga para pendemo memiliki kedekatan dengan kekuasaan sehingga berani melakukan tindakan seperti itu. Menurutnya, para pendemo memiliki seseorang yang pasti akan membelanya.

"Tentu mereka sudah berhitung, sudah yakin siapa yang pasti membela mereka. Segelintir manusia biadab ini begitu dekat dengan kekuasaan," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, sejumlah massa menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Senin (27/7/2020). Dalam aksi tersebut, mereka berusaha membakar spanduk bergambar Rizieq, namun spanduk tersebut tak mempan dibakar.

"Manusia di foto ini adalah sampah. Dia tidak berguna lagi. Jadi tidak ada tuntutan kita mencemarkan nama baik karena dia sudah mengkhianati negeri ini, tak mengakui kemenangan pak Jokowi," teriak orator.

Para pendemo melempari spanduk Rizieq dengan tomat dan menginjak-injak foto Rizieq. Mereka juga menyiramkan bensin kearah spanduk gambar Rizieq dan berusaha membakarnya.

Namun, saat api telah disulut, api tersebut hanya beberapa detik saja membakar ujung spanduk kemudian padam. Spanduk gambar Rizieq Shihab tak bisa dibakar. (suara)


Natalius Pigai

Jakarta, SancaNews.Com - Natalius Pigai ikut mengomentasi ceramah Ustad Tengku Zulkarnain yang tengah digunjingkan. Hal itu lantaran penceramah itu dinilai telah menghina ulama Jawa dan memicu kebencian antarsuku dan ras. Akan tetapi, tidak demikian dengan Natalius Pigai yang memberikan pembelaan.

Menurutnya, apa yang disampaikan Zulkarnain adalah cukup mewakili perasaan mayoritas suku dan ras di luar Jawa. Demikian disampaikan Natalius melalui akun Twitter pribadi miliknya, “Saya kira Ustad Tengku telah mewakili perasaan mayoritas luar Jawa,” tulisnya @NataliusPigai2, Selasa (28/7/2020),

Akitivis asal Papaua ini juga menyatakan, bahwa selama ini Indonesia ‘dikuasai’ oleh suku Jawa. Itu berdasarkan sosok-sosok para pemimpin di Indonesia sejak memproklamirkan diri merdeka pada 17 Agustus 1945 silam.

Pun demikian dengan kekayaan Indonesia yang selama ini lebih banyak mengalir ke Jawa. “74 tahun Presiden, Wakil Presiden, mayoritas menteri Jawa, kekayaan mengalir ke Jawa,” kata Pigai.

Ia pun lantas menyinggung keadilan sebagaimana mestinya bisa juga dirasakan oleh wilayah lain selain Jawa. Pigai juga mengungkit kebencian masyarakat Aceh yang kini juga disebutnya mulai dirasakan masyarakat Papua. Karena itu, menurutnya, Presiden Joko Widodo juga semestinya melihat dan menyadari hal ini.

“Ini Injustice! Dulu Aceh benci, saya duga Rakyat Papua jg mulai sakit hati. Jokowi mesti baca Signal ini!” tegasnya.

Sebelumnya, ceramah Ustad Tengku Zulkarnain dinilai merendahkan masyarakat dan ulama Jawa. Dalam video yang beredar, ia menyebut salah satu kebiasaan masyarakat Jawa yang pamit dengan berjalan mundur.

Menurutnya, kebiasaan tersebut dinilainya lucu. Bebeda dengan kebiasaan dan budaya adat Sumatera, “Kalau Jawa pulang nampak idung, karena dia mundur jalannya. Biarkan kami ustad-ustad Sumatera dengan gaya Sumatera,” katanya.

Dia juga menyebut ulama Jawa jika berceramah di Sumatera juga tidak akan didengarkan oleh umat, “Pasalnya, ulama Jawa disebutnya terlalu kalem dan akan membuat umat tertidur,” sebutnya.

Atas hal itu, Muanas Alaidid menyebtut, ceramah Tengku Zulkarnain itu terindikasi melanggar pasal 16 juncto Pasar 4 huruf b angka 2 UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta melanggar pasal 156 KUHP. (psid)


Advokat Djudju Purwantoro

Jakarta, SancaNews.Com - Sudah sejak tanggal 10 Desember 2019, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) telah menerima Laporan Polisi : Nomor LP/B/1037/XII/2019/Bareskrim, oleh Pelapor Drg. Mariko dan sebagai terlapor adalah Abu Janda alias Permadi Arya.

Abu Janda dilaporkan atas ujaran kebencian berdasarkan SARA, dan penistaan agama diduga melanggar pasal 45A (ayat 2) Jo pasal 28 (ayat 2) UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE, dan atau pasal 156 KUHP.

Para saksi sejak akhir bulan Mei 2020 juga sudah diperiksa oleh Bareskrim. Menurut Kuasa Hukum pelapor Advokat Djudju Purwantoro, yang juga sebagai Sekjend IKAMI (Ikatan Advokat Muslim Indonesia), Abu Janda sudah sering kali berulah melakukan ujaran kebencian, penghinaan dan atau penistaan terhadap agama Islam melalui media sosial.

“Kata-kata yang dilontarkan tersebut antara lain teroris punya agama dan agamanya adalah Islam,” terang Djudju Purwantoro, dalam rilisnya, Senin (27/7/2020).

“Sejak akhir Mei 2020 pihak Bareskrim memang sudah melakukan panggilan guna pemeriksaan kepada kepada Abu Janda, tapi sampai saat ini Abu Janda belum juga mau hadir untuk diperiksa. Pihak penyidik sampai saat ini seperti belum terlihat serius menangani kasus tersebut, karena belum juga ada info perkembangan proses penyelidikannya,” kata Sekjen IKAMI ini.

Menurut Hukum Acara Pidana, jika seorang sudah dipanggil 2 (dua) kali secara sah tidak datang juga, seharusnya Polisi dapat menjemput secara paksa.

Dalam Pasal 112 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan bahwa orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

“Seyogiyanya polisi tidak diskriminatif terhadap siapapun dalam penegakkan hukum (equality before the law), apalagi orang seperti Abu Janda yang merasa sakti dan kebal hukum,” pungkasnya.

Djudju juga menekankan, jangan sampai ada kesan di masyarakat, orang seperti itu yang sering membuat gaduh dan melanggar hukum, justru tidak juga tersentuh hukum dan ini menyangkut marwah hukum di negeri ini. (brigadenews)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.