Latest Post


Jakarta, SancaNews.ComBadan Intelijen Negara (BIN) tidak lagi di bawah koordinasi Menko Polhukam lewat Perpres Nomor 73/2020 yang diteken Presiden Jokowi. Menko Polhukam Mahfud Md menjelaskan BIN langsung di bawah tanggung jawab presiden.


"BIN langsung berada di bawah presiden karena produk intelijen negara lebih langsung dibutuhkan oleh presiden," kata Mahfud dalam akun Twitter-nya, Sabtu (18/7/2020).


Mahfud mengatakan pihaknya tetap bisa meminta info intelijen kepada BIN. Mahfud juga sering meminta BIN memberikan paparan di rapat Kemenko.


"Tapi setiap Kemenko bisa meminta info intelijen kepada BIN. Saya sebagai Menko Polhukam selalu mendapat info dari Kepala BIN dan sering meminta BIN memberi paparan di rapat-rapat kemenko," ujar Mahfud.


Mahfud juga menjawab penambahan fungsi Kemenko Polhukam. Fungsi tersebut adalah pengawalan program prioritas nasional dan kebijakan lain yang telah diputuskan oleh presiden dalam sidang kabinet.


"Mengenai penambahan fungsi Kemenko berdasar penugasan dari Presiden memang perlu diatur di dalam Perpres tersebut. Sebab, nyatanya ada tugas-tugas khusus yang insidental yang penanganannya diberikan khusus oleh Presiden, misal dalam hal-hal yang sifatnya lintas kemenko. Contoh: penanganan bencana di Palu," katanya.


Kementerian/lembaga yang berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam dijelaskan dalam pasal 4, berikut daftarnya:


a. Kementerian Dalam Negeri;
b. Kementerian Luar Negeri;
c. Kementerian Pertahanan;
d. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
e. Kementerian Komunikasi dan Informatika;
f. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
g. Kejaksaan Agung;
h. Tentara Nasional Indonesia;
i. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
j. Instansi lain yang dianggap perlu. (sanca-detik)



Pengamat Politik dan Ketatanegaraan dari UNS Solo, Agus Riewanto

Solo, SancaNews.Com - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi merekomendasikan pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Solo 2020.

Pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto pun ikut merespon dunia politik lokal di Kota Bengawan tersebut. Agus bahkan menyebut, dengan rekomendasi tersebut, secara tak langsung Pilkada Solo 2020 telah selesai.

Pernyataan Agus tersebut berdasarkan, lantaran hampir seluruh partai politik (parpol) di Kota Solo sudah merapat ke partai berlambang banteng moncong putih.

"Sebenarnya kalau mau, parpol lain itu bisa mengusung calon alternatif. Tapi kan Gerindra, Golkar, sudah gabung dengan PDIP. Tinggal PKS dan PAN, tapi tidak bisa karena tidak cukup memenuhi syarat administratif. Tinggal kita menunggu verifikasi calon perorangan saja," kata Agus saat dihubungi Solopos.com-jaringan Suara.com pada Kamis (17/7/2020) malam.

Agus juga menyebut ada kemungkinan pasangan Gibran-Teguh bakal mendapat lawan dari calon tunggal di Pilkada Solo 2020, dengan catatan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) lolos verifikasi faktual. Namun jika tidak lolos, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo akan membuka dua kali lagi pendaftaran calon.

"Tapi, kalau tiga kali pembukaan calon oleh KPU tidak ada satupun yang mendaftar, ya jadi calon tunggal. Dan kalau Gibran sudah dapat rekomendasi, ya pilkada sudah selesai," kata Agus, dilansir suara.com.

Sebenarnya, kata dia, siapapun yang diusung PDIP akan menang di Solo meski bukan Gibran. Selama PDIP solid, Agus meyakini calon tersebut akan memang. Satu-satunya musuh PDIP adalah diri mereka sendiri, khususnya jika masih ada riak-riak di internal partai. Misalnya, jika ada pendukung Purnomo yang tidak puas. Itulah mengapa dia memprediksi akan ada kompensasi untuk Purnomo.

"Tapi politik itu kan tidak semena-mena. Kalau Pak Purnomo kalah, ya tidak sepenuhnya kalah. Begitu juga kalau Gibran menang, tidak sepenuhnya menang. Pasti ada kompromi, mungkin ada kompensasi politik, apalagi untuk tokoh sebesar Pak Purnomo yang sudah didukung DPC," ujarnya. (sanca)



Pengamat politik Indonesia Political Review Ujang Komaruddin 

Jakarta, SancaNews.ComPengamat politik Indonesia Political Review (IPW) Ujang Komarudin pun sepakat dengan perubahan tersebut. Pasalnya, RUU HIP selama ini memang telah memicu kontroversial dan dianggap bertentangan dengan konstitusi Bangsa Indonesia. Demikian disampaikan Ujang Komaruddin, Jumat (17/7/2020).

Namun, Ujang Komarudin menekankan bahwa perubahan itu tidak hanya atas namanya, karena RUU Ideologi Pancasila (RUU HIP) memicu kontroversi, pemerintah dan DPR sepakat untuk menggantikannya dalam RUU BPIP.

Menurutnya, yang paling terpenting dalam RUU tersebut adalah merevisi pasal-pasalnya yang dinilai kontroversial, “Merubah judul menjadi BPIP, tetapi tak merubah isi pasal-pasalnya sama juga bohong,” ujar Ujang.

Kendati demikian, tambah dosen tetap Universitas Al-Azhar Indonesia ini, semua elemen masyarakat harus tetap mengawasi RUU HIP yang diubah menjadi RUU BPIP dan jangan sampai ada modus hanya merubah judul, tapi tak merubah isi pasalnya-pasalnya.

Perubahan menyeluruh itu sebutnya, agar RUU BPIP tidak lagi memicu kontroversi di tengah masyarakat, “Jadi rubah judul. Rubah juga pasalnya. Jadi terintegrasi antara merubah judul dengan merubah isi dalam pasal-pasalnya,” lanjutnya.

Sebelumnya, Pemerintah bersama DPR resmi mengubah pembahasan RUU HIP menjadi RUU BPIP. Perubahan terjadi usai perwakilan pemerintah yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD menemui pimpinan DPR guna menyampaikan sikap pemerintah terkait RUU HIP.

Menurut Ketua DPR RI Puan Maharani, konsep RUU BPIP yang disampaikan pemerintah berisikan substansi yang berbeda dengan RUU HIP.

“Yaitu berisikan substansi yang telah ada di dalam peraturan presiden yang mengatur tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan diperkuat menjadi substansi RUU BPIP,” ujar Puan dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/7/2020).



Konsep yang diajukan pemerintah, kata Puan, berisikan substansi RUU BPIP yang terdiri dari 7 bab dan 17 pasal. Hal itu berbeda dengan RUU HIP yang berisikan 10 bab dan 60 pasal, Substansi pasal-pasal RUU BPIP, sekali lagi saya sampaikan, hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang dan struktur kelembagaan BPIP, “Sementara pasal-pasal kontroversial seperti penafsiran filsafat dan sejarah Pancasila dan lain-lain sudah tidak ada lagi,” tuturnya.

Selain itu, dalam konsideran pemerintah terdapat TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan PKI dan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme dan bukan seperti RUU HIP. Karenanya, Puan mengajak elemen masyarakat yang menolak RUU HIP, tak perlu khawatir lagi terhadap pembahasan RUU BPIP. (sanca)


Editor: sanca
Sumber: pojoksatu.id



Jakarta, SancaNews.Com - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai hukuman penjara dua terdakwa dalam kasus penyiraman air keras tidak memberikan rasa keadilan bagi korban Novel Baswedan.


Ia mengatakan, kelas novel yang merupakan penyidik ​​KPK masih merasakan ketidakadilan hukum. Dia kemudian menyoroti jika kasus serupa terjadi pada orang biasa yang menjadi korban.

"Jadi memang inilah potret penegakan hukum. Jadi Novel Baswedan sendiri sebagai bagian dari penegak hukum juga mengalami ketidakadilan, saya kira kan begitu. Apalagi orang-orang umum," kata Nasir kepada wartawan, Jumat (17/7/2020).

Meski begitu, ia melihat putusan hakim yang memvonis terdakwa dua tahun penjara, berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya hanya menuntut terdakwa dengan hukuman penjara satu tahun.
  
"Padahal hakim bisa saja memutuskan di bawah 1 tahun. Artinya hakim masih memiliki sense of human, masih ada rasa kemanusiaan. Di mata hakim mungkin tuntutan JPU bagi hakim tidak pas. Artinya ada akibat yang diterima Novel, mata kirinya rusak total, artinya permanen," kata Nasir.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara Djuyamto telah memvonis terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dengan hukuman 2 tahun penjara.

Anggota Brimob Polri itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Mengadili terdakwa Rahmat Kadir Mahulette telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama untuk melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat," kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020) malam, dilansir gelora.co

Sementara itu, Ronny Bugis terdakwa lain penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, divonis lebih ringan, yakni hukuman 1 tahun 6 bulan penjara.

"Mengadili dan menyatakan terdakwa Ronny Bugis telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama untuk melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat," kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam persidangan. (sanca)






Jakarta, SancaNews.Com - Buruh, mahasiswa hingga pelajar dengan jumlah diperkirakan mencapai ribuan orang, berencana mengepung Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020) ini.

Mereka ingin menggagalkan pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas DPR bersama pemerintah.

Kabarnya, para pelajar yang tergabung dalam Komite Pergerakan Siswa Independen (KOMPERSI) siap bergabung dalam aksi unjuk rasa tersebut.


Agendanya ialah melakukan pembahasan RUU Omnibus Law yang dinilai akan berdampak kepada keluarga dan nasib orang tua mereka ke depan.

Para pelajar tersebut sudah meminta pendampingan dan Bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum Tridharma Indonesia (LBH TI) sebagai kuasa Hukum pada saat aksi menolak RUU Omnibus Law tersebut.

“Mereka menolak omnibus law karena orangtua mereka yang merupakan seorang pekerja akan terdampak dengan (UU) Omnibus Law. Ini juga akan berdampak kepada kelangsungan pendidikan mereka,” ungkap Perwakilan LBH TI Bambang Ferdiansyah dikutip HAI dari Kedaipena.com, Kamis ini.

Tidak hanya itu, kata dia, mereka juga menuntut pemerintah yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membuat kebijakan biaya pendidikan secara gratis di masa pandemi Covid 19, dilansir gelora.co.

“Karena orang tua kami dalam kondisi sulit serta menjadi korban Pemberhentian Hubungan Kerja ( PHK ),” tegasnya lagi.

Selain itu, KOMPERS juga menolak kebijakan Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena hal tersebut dianggap merugikan pelajar. Belum lagi, nasib guru selama masa pandemi juga diminta untuk diperhatikan.

“Menuntut pemerintah dalam hal ini adalah (Kemendikbud) untuk tetap memperhatikan kesejahteraan guru honorer ataupun PNS di masa Covid-19,” papanya. (sanca)




SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.