Latest Post


Jakarta, SancaNews.Com - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai hukuman penjara dua terdakwa dalam kasus penyiraman air keras tidak memberikan rasa keadilan bagi korban Novel Baswedan.


Ia mengatakan, kelas novel yang merupakan penyidik ​​KPK masih merasakan ketidakadilan hukum. Dia kemudian menyoroti jika kasus serupa terjadi pada orang biasa yang menjadi korban.

"Jadi memang inilah potret penegakan hukum. Jadi Novel Baswedan sendiri sebagai bagian dari penegak hukum juga mengalami ketidakadilan, saya kira kan begitu. Apalagi orang-orang umum," kata Nasir kepada wartawan, Jumat (17/7/2020).

Meski begitu, ia melihat putusan hakim yang memvonis terdakwa dua tahun penjara, berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya hanya menuntut terdakwa dengan hukuman penjara satu tahun.
  
"Padahal hakim bisa saja memutuskan di bawah 1 tahun. Artinya hakim masih memiliki sense of human, masih ada rasa kemanusiaan. Di mata hakim mungkin tuntutan JPU bagi hakim tidak pas. Artinya ada akibat yang diterima Novel, mata kirinya rusak total, artinya permanen," kata Nasir.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara Djuyamto telah memvonis terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dengan hukuman 2 tahun penjara.

Anggota Brimob Polri itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Mengadili terdakwa Rahmat Kadir Mahulette telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama untuk melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat," kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020) malam, dilansir gelora.co

Sementara itu, Ronny Bugis terdakwa lain penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, divonis lebih ringan, yakni hukuman 1 tahun 6 bulan penjara.

"Mengadili dan menyatakan terdakwa Ronny Bugis telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama untuk melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat," kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam persidangan. (sanca)






Jakarta, SancaNews.Com - Buruh, mahasiswa hingga pelajar dengan jumlah diperkirakan mencapai ribuan orang, berencana mengepung Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020) ini.

Mereka ingin menggagalkan pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas DPR bersama pemerintah.

Kabarnya, para pelajar yang tergabung dalam Komite Pergerakan Siswa Independen (KOMPERSI) siap bergabung dalam aksi unjuk rasa tersebut.


Agendanya ialah melakukan pembahasan RUU Omnibus Law yang dinilai akan berdampak kepada keluarga dan nasib orang tua mereka ke depan.

Para pelajar tersebut sudah meminta pendampingan dan Bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum Tridharma Indonesia (LBH TI) sebagai kuasa Hukum pada saat aksi menolak RUU Omnibus Law tersebut.

“Mereka menolak omnibus law karena orangtua mereka yang merupakan seorang pekerja akan terdampak dengan (UU) Omnibus Law. Ini juga akan berdampak kepada kelangsungan pendidikan mereka,” ungkap Perwakilan LBH TI Bambang Ferdiansyah dikutip HAI dari Kedaipena.com, Kamis ini.

Tidak hanya itu, kata dia, mereka juga menuntut pemerintah yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membuat kebijakan biaya pendidikan secara gratis di masa pandemi Covid 19, dilansir gelora.co.

“Karena orang tua kami dalam kondisi sulit serta menjadi korban Pemberhentian Hubungan Kerja ( PHK ),” tegasnya lagi.

Selain itu, KOMPERS juga menolak kebijakan Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena hal tersebut dianggap merugikan pelajar. Belum lagi, nasib guru selama masa pandemi juga diminta untuk diperhatikan.

“Menuntut pemerintah dalam hal ini adalah (Kemendikbud) untuk tetap memperhatikan kesejahteraan guru honorer ataupun PNS di masa Covid-19,” papanya. (sanca)




Demo PA 212 menolak RUU HIP di depan gedung DPR, Kamis (16/7)

Jakarta, SancaNews.Com – Ribuan massa memadatai bagian depan gedung DPR/MPR. Mereka mendesak agar RUU Haluan Ideologi Pancasila tak dibahas.

Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif menegaskan, massa aksi ingin kepastian dari DPR bahwa RUU HIP tidak dilanjutkan dari prolegnas dan dicabut dalam sidang paripurna.

“Jadi, umat di luar menunggu kepastian itu sampai ada keputusan yang jelas, bukan hanya ditunda tapi juga benar-benar dibatalkan,” kata Slamet kepada wartawan di area gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (16/7).

Kedua, massa aksi juga meminta DPR mengungkap siapa inisiator di balik RUU HIP itu.

RUU HIP telah menimbulkan polemik dan kegaduhan di tengah bangsa Indonesia menghadapi COVID-19.

“Ini negara hukum, siapa pun yang ingin merubah Pancasila apalagi menghidupkan komunisme, maka dia akan berhadapan dengan hukum,” ujarnya.

Slamet menyebut, sebelumnya tidak ada agenda audiensi dengan DPR. Namun, dia menyebut pihak pimpinan DPR ingin bertemu dengan perwakilan aksi massa.

"Sebetulnya kita tidak ada agenda untuk audiensi dengan pimpinan DPR, kita akan dengarkan DPR nanti di paripurna. Tetapi dari kesekretariatan meminta kita untuk bisa bertemu dengan pimpinan DPR," ujar Slamet.

"Oleh karenanya, kita hargai mereka. Kita utus lima orang, termasuk saya. Nanti kita akan ketemu pimpinan DPR kita akan dengar dan minta penjelasan bahwa ada kepastian dicabut dan dibatalkannya RUU HIP ini," tambahnya.
Diketahui, demo hari ini dilakukan oleh dua kelompok massa. Massa pertama yakni dari PA 212 dan ormas Islam yang menolak RUU HIP. Massa kedua merupakan aliansi buruh yang menolak omnibus law.

Polisi melakukan pemisahan kedua massa. Polisi tampak memasang dua pagar kawat berduri untuk memisahkan massa ormas Islam dan aliansi buruh.

Massa ormas Islam berada di sisi jalan arah Slipi, sementara aliansi buruh di dekat JPO depan kompleks DPR. (merahputih.com)



Jakarta, SancaNews.Com – Mabes Polri mengeluarkan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dari jabatannya setelah terbukti telah menandatangani izin untuk kasus buronan Djoko Tjandra di Bank Bali. Sanksi dikenakan setelah orang yang menjalani pemeriksaan.

Pencopotan itu sesuai dengan surat telegram Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020. Telegram itu telah dikonfirmasi oleh Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono.

“Betul (penerbitan telegram). Dia dimutasi,” kata Argo saat dikonfirmasi, Rabu (15/7) kemarin.

Dalam surat yang ditandatangani oleh As SDM Polri Irjen Sutrisno Yudi Hermawan atas nama Kapolri, Prasetyo Utomo dimutasi sebagai perwira tinggi (Pati) Yanma Polri.

Sebelumnya, Argo mengakui bahwa salah satu kepala biro di Bareskrim membuat surat jalan Djoko Tjandra tanpa seizin pimpinan. Pihaknya pun langsung memeriksa Prasetyo Utomo. Pemeriksaan ini adalah bentuk pembelajaran pada para personel Polri yang lain.

Buronan Djoko Tjandra mendapat surat jalan dari salah satu instansi untuk berpergian di Indonesia. Surat ini pertama kali disampaikan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Surat Jalan Djoko Tjandra tersebut juga adalah inisiatif salah satu oknum Jenderal Polri.

Surat Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas tertanggal 18 Juni 2020, itu ditandatangani Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Polri Brigjen Pol Prasetyo Utomo.

Dalam surat itu, Djoko Tjandra berangkat dari Jakarta pada 19 Juni 2020 menuju Pontianak menggunakan pesawat. Keperluan perjalanan ialah konsultasi dan koordinasi. Dia direncanakan kembali ke ibu kota pada 22 Juni 2020. (red)

Pimpinan Ponpes Tahfidz Alquran Daarul Ilmi, Ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani memberikan keterangan usai pemeriksaan dua santrinya sebagai saksi dalam pelaporan terhadap Denny Siregar, di Mapolresta Tasikmalaya, 
Selasa, 14 Juli 2020. Foto: Kabar Priangan/Asep MS.


Tasikmalaya, SancaNews.Com – Salah soerang santri Ponpes Tahfidz Alquran Daarul Ilmi, Agus Khoirul Anam (18) meluapkan uneg-unegnya usai diperiksa sebagai saksi dugaan kasus ujaran kebencian oleh Denny Siregar di Polres Tasikmalaya, Selasa, 14 Juli 2020.

Agus mengaku malu, tertekan sekaligus syok atas penggambaranya sebagai calon teroris oleh Denny. Diketahui, Agus adalah santri yang ada dalam foto unggahan Denny Siregar itu yang diilustrasikan sebagai ‘Calon Teroris’. “Siapa yang mau dibilang calon teroris? Tak ada yang mau disebut seperti itu. Jelas saya sangat kaget saya dan malu,” katanya.

Awal dirinya tahu ada di foto unggahan Denny Siregar dari beranda di Facebook teman seperjuangannya di pondok. Untuk itu, katanya, proses hukum harus tetap berjalan karena tudingan tersebut telah terjadi dan diketahui publik. “Saya ada di foto itu, sebelah pojok kiri belakang,” ujarnya.

Dampak lainnya, Agus mengakui keluarganya ikut kena getah dengan unggahan tersebut. “Keluarga saya juga syok sehingga saya minta proses hukum harus tetap berjalan dan ditegakkan,” tegasnya.

Meski begitu, Agus secara pribadi sebagai muslim akan memaafkan Denny Siregar. Asalkan Denny mau datang ke Tasikmalaya dan meminta maaf langsung dihadapannya walaupun proses hukum tetap harus berjalan.

“Sebaikanya dia (Denny Siregar, red) gentle datang ke Tasikmalaya dan akan kita sambut baik-baik (Tabayun). Kita akan terima dengan hati terbuka dan lapang dada. Insya Allah kita akan memaafkannya walaupun proses hukum tetap jalan,” tandasnya.

Seperti diketahui, pada tanggal 27 Juni 2020 dalam postingan di akun medsosnya, Denny Siregar memposting tulisan yang intinya menghina serta memfitnah para santri.

Sepeti diketahui, Santri di Tasikmalaya yang berada dalam unggahan foto pegiat media sosial, Denny Siregar memenuhi panggilan Polresta Tasikmalaya pada Selasa 14 Juli 2020. Kedua santri yang mendatangi Mapolresta Tasaikmalaya itu bertindak sebagai saksi laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE).

Pemeriksaan dilakukan pada pukul 09.00 WIB. Saat datang ke Mapolresta Tasikmalaya, keduanya didampingi pelapor, dalam hal ini Pimpinan Ponpes Tahfidz Alquran Daarul Ilmi, ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani.

“Tadi kami memenuhi panggilan sebagai saksi. Jadi saat ini sudah ada lima santri yang menjadi saksi atas laporan terkait Denny Siregar. Besok tinggal satu orang lagi yang akan menjadi saksi yaitu yang pertama kali memberikan link tentang postingan Denny Suregar,” imbuh ustaz Ahmad Ruslan.

Ruslan menegaskan, tuntutan para santri tetap sama, yakni meminta Kepolisian bisa memanggil terlapor Denny Siregar agar diproses secara hukum Tasikmalaya lantaran lokus atau titik kejadiannya ada di kota itu.

“Maka proses hukumnya harus di Kota Tasikmalaya. Itu keinginan dan tuntutan para santri. Bukti-bukti kita juga tak hanya UU ITE,” ujarnya.

“Tapi kita laporkan juga tentang pencemaran nama baik dan lainnya. Ini agar diproses dan memang jika terbukti maka harus dipidanakan,” kata dia.

Ruslan menegaskan, santrinya yang ada diunggahan Facebook Denny Siregar saat itu berada di depan Masjid Istiqlal. Momennya kala itu adalah aksi bela Islam sejak 212, 411 dan 313, momentum itu bukan aksi politik tapi aksi bela Islam.

“Santri kita memang selalu diikutkan untuk setiap aksi bela Islam. Tapi santri kita ini saya ajak bukan untuk mengikuti aksi tapi justru untuk menyejukan hati saat melakukan bela Islam dengan bacaan-bacaan Alquran,” ungkapnya.

“Jadi sekali lagi saya tegaskan niat dari awal keikutsertaan para santri ini bukan untuk aksi, tapi mengaji di sana,” tegasnya.[sanca]



Sumber : penapolitika.com

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.