Latest Post


Jakarta, SancaNews.Com Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif dengan tegas menyatakan pihaknya akan kembali berunjuk rasa dalam rangka menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis 16 Juli 2020.

Ia mengklaim aksi jilid II akan lebih besar dari aksi sebelumnya. Pasalnya, Aliansi Nasional Antikomunis (ANAK) NKRI yang terdiri dari PA 212, Front Pembela Islam (FPI), dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-Ulama) mendapat dukungan 174 organisasi masyarakat (ormas).

"Insyaallah kalau kawan-kawan sudah terbiasa. Jangankan 10 ribu, sejuta lebih, kita sudah biasa ngatur (massa agar menerapkan protokol Covid-19) itu,” katanya di Jakarta, Selasa (14/7).

Lanjutnya, ia mengaku optimistis aksi jilid II akan berjalan lancar, “Insyaallah semuanya kondusif."

Ia pun menyebut aksi kali ini lantaran DPR/MPR tak kunjung mengindahkan maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait RUU HIP.

"Tuntutan kami masih sama, bahwa maklumat MUI belum ditanggapi serius oleh DPR RI. Tuntutan umat dan ormas di berbagai kabupaten kota dan provinsi juga sampai saat ini belum ditanggapi," tukasnya. (sanca)






SancaNews.Com - Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) menyebut institusi Polri telah mencabut red notice buronan kelas kakap Djoko Soegiharto Tjandra dari NCB-Interpol di Lyon, Prancis.

Djoko Soegiharto Tjandra atau Djoko Tjandra merupakan buron terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Ali Mukartono mengatakan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang mencabut dan memohon penerbitan red notice buronan yang ada di luar negeri selain Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

"Karena Interpolnya kan ada di Polri, koordinator Interpol di Indonesia itu kan adanya di Polri, jadi yang cabut red notice ya dia (Polri) yang memiliki hubungan dengan Interpol di Indonesia," kata Ali, di Gedung Bundar Jampidsus, Kejagung RI, Senin (13/7/2020).

Namun, Ali mengaku belum mengetahui alasan dari Polri mencabut red notice buronan Djoko Soegiharto Tjandra, hingga buronan tersebut bebas keluar-masuk Indonesia.

Menurut Ali, Kejagung akan meneliti dan koordinasi dengan Polri terkait pencabutan red notice buronan kelas kakap Indonesia tersebut.

Ali juga meyakini bahwa Polri memiliki kepentingan sendiri maupun kepentingan lembaga lain hingga harus mencabut red notice buronan Djoko Tjandra dari Interpol.

"Jadi sejauh mana komunikasi ini, masih akan kita selidiki. Dia (Polri) bisa punya kepentingan sendiri atau kepentingan lembaga lain akhirnya mencabut red notice itu," jelas Ali.



Sumber : gelora.co




Massa FPI, PA 212 dan GNPF Ulama yang tergabung dalam Aliansi Nasional Antikomunis menggelar demo tolak RUU HIP di depan DPR RI, Rabu (24/6/2020). Foto RMCO

Jakarta, SancaNews.Com – Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI akan melakukan upaya perlawanan jika DPR RI belum ada sikap menghapus RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dari prolegnas akan kembali menggeruduk Gedung MPR/DPR RI, Jakarta pada Kamis (16/7).

Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212, Slamet Maarif memastikan massa yang akan hadir pada aksi nantinya sekitar puluhan ribu yang tergabung dalam 176 organisasi masyarakat (Ormas), baik ormas Islam maupun ormas Nasionalis.

“Kita sedang menghitung dari tiap-tiap korlap ormas yang tadi hadir, sekitar puluhan ribu insyaAllah akan hadir,” ucap Slamet Maarif kepada wartawan di Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (14/7).

Slamet pun memastikan jumlah massa yang hadir nantinya juga akan lebih banyak dibanding aksi sebelumnya pada 24 Juni 2020 kemarin, “InsyaAllah ini lebih besar (jumlah massa),” kata Slamet.

Dalam aksi nanti, sambung Slamet, ANAK NKRI masih memiliki tuntutan yang sama seperti aksi sebelumnya. Yakni meminta agar pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dihentikan dan dicabut dari prolegnas.

“Yang kedua juga kita ingin inisiatornya harus diungkap. Kalau ada pencopotan, ya segera diselidiki yang dicopot itu. Apakah betul dia inisiatornya, motifnya apa, modusnya apa, tujuannya apa, apakah betul pribadi atau partai,” jelasnya.

“Kalau ternyata dia membawa usulan partai, maka partainya harus ditindaklanjuti secara hukum yang ada,” imbuhnya.

Dia berharap dalam aksi tersebut, DPR RI dapat segera mengambil keputusan akhir melalui sidang paripurna.

“Itu yang akan kita tuntut dalam sidang paripurna. Jadi kita ingin besok (Kamis) ada pernyataan tegas dari DPR lewat sidang paripurna untuk mencabut, membatalkan RUU HIP atau PIP ini tanpa syarat apapun,” pungkas Slamet. (sanca/pojoksatu.id)






Jakarta, SancaNews.Com – Beredar ramai di grup aplikasi pesan whatsapp tulisan salah seorang pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahkan bisa dikatakan fanatik. Dia adalah Abdillah Toha. Tulisannya menyoal refleksinya dalam mendukung mantan gubernur DKI Jakarta itu.

Ditelusuri dari akun twitternya, @AT_Abdillah_Toha, ia mencuit sebuah kalimat ‘Ke Mana Jokowi Akan Membawa Kita?’. Kemudian disertai link tulisan di laman qureta.com yang diunggah pada Jum’at (10/7/2020).

Berikut tulisannya seperti dikutip penapolitika.com, Senin (13/7/2020):
Saya adalah seorang pendukung Jokowi yang oleh sebagian orang dikatakan fanatik. Mungkin tidak terlalu salah. Sejak pilpres pertama, saya telah mendukung beliau. Sayalah yang membuat tulisan “10 alasan kenapa saya memilih Jokowi” yang kemudian jadi viral. Juga tulisan “10 alasan mengapa saya tidak akan memilih Prabowo” pada pilpres berikutnya.

Saya yakin benar saat itu bahwa memilih Jokowi adalah sebuah keputusan yang tepat. Baru pertama kali dalam perpolitikan Indonesia ada seorang calon Presiden yang benar-benar merakyat, jujur, berasal dari rakyat, bukan dari elite politik maupun kelompok kekuatan besar lain. Ternyata itu saja tidak cukup untuk menjadikan seorang pemimpin yang efektif.

Menyimak berbagai peristiwa yang terjadi berulang pada periode 2 pemerintahan Jokowi yang belum setahun ini, membuat saya menjadi makin sulit untuk membela Jokowi dan mengatakan bahwa Jokowi memang merupakan pilihan tepat sebagai Presiden RI. Tidak berarti bahwa bila waktu diputar kembali ke belakang, saya akan memilih Prabowo.

Kerja dan diamnya Jokowi pada periode kedua ini memunculkan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Mulai dari pemilihan para pembantunya yang tidak tepat dan berkualitas rendah.

Awal kekecewaan saya adalah ketika pada detik-detik terakhir beliau membatalkan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya. Kabinet sekarang adalah kabinet yang tidak sesuai dengan janjinya yang katanya akan lebih banyak menempatkan menteri-menteri profesional pada bidangnya.

Posisi kabinet dihadiahkan lebih banyak kepada berbagai kekuatan partai politik pendukungnya serta mereka yang memiliki senjata. Kementerian kesehatan, umpamanya, dipimpin oleh seorang dokter tentara yang oleh IDI sendiri sempat dipertanyakan keprofesionalannya. Beliaulah antara lain yang menjadi penyebab utama terlambat dan berlarutnya penanganan kasus Pandemi Covid-19 di negeri ini, ketika negara-negara tetangga kita telah menunjukkan keberhasilannya.

Saat berbagai negeri sedang sibuk meneliti dan berupaya mengembangkan vaksin corona, beberapa lembaga dan bahkan sebuah kementerian memberi kejutan dengan mengumumkan keberhasilan memproduksi obat, bahkan kalung mujarab untuk penyembuh virus corona. Semua itu diumumkan secara terbuka bahkan langsung diproduksi dengan kemasan yang menarik, dan presiden kita diam, seakan merestui hasil hebat “penemuan” itu.

Perencanaan program kartu Pra Kerja yang kurang cermat berujung pada dugaan pemahalan harga yang nyaris dinikmati oleh perusahaan milik anak-anak muda yang keburu diangkat sebagai staf pembantu presiden, bila  masyarakat tidak sigap dan segera berteriak.

Begitu cepat setelah Jokowi dilantik, muncul berbagai Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang baru yang bikin banyak pihak tersentak. Yang utama adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU KPK.

Meski telah terjadi berbagai protes dan keberatan atas UU tersebut, Presiden tidak menggubrisnya. Inilah warisan (Legacy) utama yang akan ditinggalkan Jokowi dalam pelemahan upaya pemberantasan korupsi, bila Mahkamah Konstitusi nantinya menolak mengabulkan gugatan yang sedang dalam proses.

Ada kesan konspirasi antara pemerintah dan DPR untuk menghasilkan berbagai undang-undang secara kilat tanpa memperhatikan aspirasi dan masukan dari publik. Ada RUU Omibus yang sedang dalam proses yang sangat berpihak kepada investor dan nyaris tidak mencerminkan kepentingan rakyat kecil. Juga banyak UU lain yang lolos yang menguntungkan hanya sponsornya, seperti UU Minerba yang bahkan telah menimbulkan korban jiwa dari anak mahasiswa yang demo protes.

Kasus penyiraman air keras kepada seorang penyidik KPK yang sudah berlarut dibiarkan sejak periode 1, berakhir dengan berita sangat mengejutkan. Peranan kejaksaan agung yang merupakan bawahan presiden, tidak mencerminkan tugas sebenarnya sebagai penuntut umum yang mewakili aspirasi rakyat tetapi lebih mengesankan sebagai pembela “terdakwa”.

Ujungnya, pada kasus besar yang mempunyai implikasi luas terhadap upaya pemberantasan korupsi ini, terdakwa dihukum sangat ringan. Ada kesan kuat para pengatur di belakang tindak kriminal ini telah dilindungi identitasnya.

Belakangan masih ada lagi kasus-kasus yang mengesankan pembiaran oleh pimpinan tertinggi negeri ini. Kasus menghilangnya Harun Masiku, fungsionaris PDIP dalam dugaan permainan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Kasus koruptor buron Djoko Tjandra yang dibiarkan melenggang dengan bebas di ibu kota dan sampai saat tulisan ini diterbitkan belum tertangkap.

Kasus lain yang baru terungkap antara lain adalah bagi-bagi jatah ekspor benur Lobster oleh menteri kelautan baru yang mengantikan Susi Pudjiastuti kepada konco-konconya. Inilah menteri baru yang membatalkan beberapa kebijakan Susi, termasuk penenggelaman kapal kapal asing yang mencuri ikan di laut kita.

Masih segar dalam ingatan kita ketika presiden pada pelantikan menjelang jabatan periode keduanya antara lain mengatakan di hadapan sidang MPR, 20 Oktober 2019: “Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat dan birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya copot.”

Belum berselang lama tersebar rekaman pidato presiden pada sidang kabinet tertutup yang menunjukkan kemarahan beliau terhadap kinerja menteri-menterinya dan lagi berjanji akan tidak ragu bertindak. Ketika tindakan presiden dinanti-nanti, Menteri Sekretaris Negara justru membantah dan menyampaikan tidak ada relevansi antara kegusaran presiden dan rencana kocok ulang kabinet.

Kejutan terbaru pada saat saya menulis kolom ini adalah keputusan presiden untuk menugasi Menteri Pertahanan, bukan Menteri Pertanian, menggarap lumbung pangan. Alasannya, ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional.

Bagaimana dengan ketahanan keuangan, telekomunikasi, pendidikan, dan lain sebagainya? Apakah ini juga bagian dari ketahanan nasional dan perlu juga ditugaskan ke Menteri Pertahanan?

Semua itu ditambah lagi dengan sikap presiden sebagai seorang ayah yang menduduki kekuasaan tertinggi di negeri ini, membiarkan putranya yang masih hijau dan tidak berpengalaman, maju sebagai Calon Walikota Solo. Presiden tidak berdaya membujuk putranya untuk sabar menanti lima tahun lagi setelah selesai masa baktinya sehingga tidak ada spekulasi macam-macam keterlibatan kekuasaan tertinggi negara dalam proses pemilihannya.

Sesungguhnya banyak dari kami yang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada seorang Jokowi yang pada periode pertama menghasilkan prestasi yang cukup mengesankan? Bisa saja kita mengatakan bahwa Jokowi yang bukan petinggi partai apa pun memerlukan segala macam pembiaran itu. Karena bila tidak, maka rezimnya akan mengalami berbagai kesulitan melaksanakan berbagai tugas tanpa dukungan kekuatan politik yang nyata.

Tidak sadarkah beliau bahwa masa bulan madu dengan politisi pendukungnya itu akan berumur tidak lebih lama dari dua tahun dari sekarang ketika mereka akan ramai-ramai meninggalkan misi presiden dan berkonsentrasi pada perebutan kekuasaan pada pemilu 2024?

Tidak lama setelah pelantikannya, Presiden Jokowi pernah mengungkapkan bahwa beliau tidak punya beban lagi. Kami menafsirkannya karena setelah 2 periode beliau tidak akan maju lagi sebagai presiden.

Pada mulanya orang bernapas lega karena tidak berbeban itu ditafsirkan sebagai tidak akan dapat disandera oleh kekuatan politik yang mengusungnya. Kenyataannya, dari berbagai peristiwa yang disebut di atas, “tidak berbeban” itu tampaknya bukan demikian maknanya, tetapi lebih sebagai tidak peduli dan bebas dari beban gangguan aspirasi, keberatan, serta protes dari rakyat pemilihnya.

Sebagai pendukung Jokowi, setelah memperhatikan begitu banyak kondisi suram yang lepas kendali atau terkesan dibiarkan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan tidak sampai setahun dalam pemerintahan Jokowi periode dua ini, khususnya kondisi penegakan hukum yang makin memprihatinkan, sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa dukungan saya kepada Presiden Jokowi masih dapat dipertanggungjawabkan.

Sikap ini, saya rasakan, juga disuarakan oleh banyak pendukung lain yang kecewa pada kinerja tahun pertama periode dua Jokowi yang mencuatkan berbagai kejutan yang menimbulkan kerisauan.

Bila dalam waktu dekat tidak muncul tanda-tanda yang mengindikasikan langkah-langkah nyata dalam rangka mengoreksi semua itu, maka akan sangat sulit bagi orang seperti saya dan banyak pendukung lain untuk bertahan sebagai barisan “pembela” Jokowi.

Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa dukungan atau penolakan saya dan kawan-kawan punya bobot politik dan pengaruh terhadap nasib politik Jokowi ke depan. Tanpa kami pun Pak Jokowi bisa jadi akan sukses besar karena pandangan kami ternyata keliru oleh sebab ketidakmampuan kami menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Bila demikian, anggap saja tulisan pendek ini sebagai upaya meringankan beban moral yang saya pikul dan sekaligus sebagai penyalur unek-unek. Siapa tahu ada gunanya. Semoga Tuhan memberi petunjuk kepada kita semua.***






SANCANEWS.COM - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut, saat ini Indonesia sudah menjadi tujuan relokasi pabrik-pabrik perusahaan besar asal China. Padahal, sebelumnya, perusahaan-perusahaan besar lebih memilih merelokasi pabriknya ke Vietnam.

 

"Dulu tahun 2018-2019, tidak ada perusahaan yang merelokasi pabriknya dari China ke Indonesia, semuanya ke Vietnam. Sekarang sudah tujuh, kemarin sudah diresmikan dan nantinya ada 17 perusahaan yang sudah 70-80% potensinya akan masuk," ujar Bahlil dalam acara launching buku Indef secara virtual, Senin (13/7/2020).

 

Bahlil menjelaskan, hal ini terjadi karena penawaran menarik yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Dia mencontohkan, Kawasan Industri Batang di Jawa Tengah yang akan dimulai pembangunannya dengan memberikan tanah secara cuma-cuma.

 

"Kita kasih tanah gratis aja, kemarin kita bikin di Batang, presiden resmikan. Ini tanahnya BUMN, infrastruktur dibangun oleh APBN, sumber daya disewa aja karena kawasan industri sekarang ini bukan kawasan industri investor, tapi kawasan industri tanah. Belum ada industrinya tapi tanahnya sudah ada," kata dia, dilansir gelora.co.

 

Dengan adanya kawasan industri di wilayah Batang, mantan Ketua Umum Hipmi ini menyampaikan bahwa pemerintah akan memberikan prioritas lebih kepada sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM).

 

"Dengan adanya kawasan industri Batang saya kasih ke UMKM, supaya besar bareng-bareng," ucap Bahlil. (*)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.