Latest Post


Konferensi pers penangkapan dan penahanan Nurhadi dan Rezky Herbiyono di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, pada Selasa, 2 Juni 2020. Tempo/Andita Rahma


Jakarta, SancaNews.Com - Indonesia Corruption Watch (ICW) pesimistis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah Firli Bahuri berani mengungkap orang yang melindungi mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.


“Wajar jika publik pesimistis KPK berani menindak oknum yang melindungi atau membantu pelarian Nurhadi,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Jumat, 5 Juni 2020.


Kurnia mengatakan keraguan itu diperkuat dengan pernyataan Firli. Ditanya soal kemungkinan menjerat pelindung Nurhadi, Firli mengatakan KPK saat ini fokus dengan kasus utama, yaitu suap dan gratifikasi.


Menurut Kurnia, pernyataan itu memberi kesan KPK hanya ingin fokus ke pokok perkara. Padahal, Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi atau pasal menghalangi penyidikan dapat diusut secara bersamaan, tanpa harus menunggu pokok perkaranya rampung.


Selain itu, Kurnia menangkap kesan KPK memberi keistimewaan kepada mantan Sekjen MA itu. Dalam konferensi pers seusai penangkapan, Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono hanya sebentar ditampilkan di ruangan pers.


Di tengah konferensi pers, Nurhadi dimasukan ke dalam dengan alasan akan diperiksa. Padahal, kata dia, Nurhadi tak diperiksa melainkan hanya ditaruh di ruang tunggu, hingga konferensi pers selesai. “Tentu ini menimbulkan kecurigaan,” ujar dia.


Sebelum ditangkap KPK, Nurhadi sempat menjadi buronan selama lebih dari 100 hari. Dalam pelariannya itu, Nurhadi diduga kerap berpindah tempat. Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar menyebut Nurhadi dilindungi oleh sebuah pasukan. Maka itu, butuh waktu lama bagi KPK menangkap buronan itu. Akan tetapi, Haris tak menyebut lebih detail siapa pasukan tersebut. (sanca)




Sumber : tempo.co


Munarman mengusulkan kepada MPR atau DPR RI melakukan pemakzulan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi karena melanggar Undang-undang yang mengatur soal haji.


Jakarta, SancaNews.Com -  Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman angkat bicara terkait tindakan pemerintah yang membatalkan ibadah haji 2020 dengan pertimbangan adanya pandemi virus Corona (Covid-19).


Terkait hal itu, Munarman mengusulkan kepada MPR atau DPR RI melakukan pemakzulan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.


Dikabarkan pembatalan tersebut dilakukan pemerintah secara sepihak tanpa melakukan pembahasan terlebih dahulu bersama komisi VIII DPR RI.


Menurut Munarman, apa yang dilakukan Jokowi tersebut melanggar Undang-undang yang mengatur soal haji.


"Tentang pembatalan Haji 1441 Hijriah, sudah jelas terjadi pelanggaran UU Haji oleh Presiden yang secara sewenang-wenang memerintahkan Menteri Agama," kata Munarman, Kamis (4/6/2020).


Menurutnya, hal itu memperlihatkan bagaimana pengelolaan negara semakin tampak dilakukan secara totalitarian. Untuk itu Munarman pun menilai guna menghentikan kerusakan pengelolaan negara berlanjut, harus dilakukan langkah legal konstitusional oleh MPR kepada presiden.


"Karena Presiden telah berulang kali melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan tercela," ujarnya.


Menurutnya, DPR dan MPR memiliki hak yang dalam untuk melakukan langkah tersebut karena tugasnya ialah melindungi rakyat dari segala kerusakan tata kelola negara. Ia meminta kepada DPR dan MPR untuk tidak menjadi stempel rezim.


"Dulu zaman orla (orde lama) dan orba (orde baru) karena parlemen jadi stempel rezim akhirnya biaya sosial perbaikan negara menjadi mahal," tuturnya.


"Harusnya MPR atau DPR segera lakukan pemakzulan melalui proses legal konstitusional," pungkasnya.


Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan pembatalan ibadah haji 2020 merupakan keputusan yang cukup pahit dan sulit, namun mesti dilakukan dengan berbagai pertimbangan.


Fachrul Razi mengatakan pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji pada musim haji 2020/1441 Hijriah karena pertimbangan pandemi COVID-19.


"Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jamaah haji pada tahun 2020/1441 Hijriah," kata Menag dalam konferensi pers mengenai penyampaian keputusan pemerintah terkait penyelenggaran ibadah haji 2020/1441 Hijriah di Jakarta seperti dikutip dari Antara, Selasa (2/6/2020).


Pembatalan pemberangkatan jamaah haji tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 494/2020. Sesuai dengan amanat undang-undang selain persyaratan ekonomi dan fisik, kesehatan dan keselamatan jamaah haji harus diutamakan mulai dari embarkasi, di Tanah Suci hingga kembali ke Tanah Air. (sanca)




Sumber : gelora.co




Arief Budiman, Komisioner KPU RI lainnya, Hasyim Asyari, hadir di persidangan sebagai saksi bagi terdakwa 
Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina 

Jakarta, SancaNews.Com -  Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman, memenuhi panggilan untuk hadir di Pengadilan Tipikor (Pengadilan Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai saksi dalam persidangan Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina, Kamis (4/6).





Selain Arief Budiman, komisioner KPU Indonesia lainnya, Hasyim Asyari, juga hadir dalam persidangan ini. Sementara saksi lainnya dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua KPU Sumatera Selatan Kelly Mariana, bersaksi melalui teleconference.



Mengenakan kemeja batik saat persidangan, Arief mengaku tidak mengetahui soal dakwaan menerima gratifikasi Rp 500 juta berkaitan dengan seleksi anggota KPU Provinsi Papua Barat yang dilakukan Wahyu Setiawan saat masih menjabat Komisioner KPU.


"Nggak tahu, nggak tahu," kata Arief Budiman kepada wartawan di PN Tipikor Jakarta Pusat, dilansir gelora.co. Kamis (4/6).


Arief pun mengaku tidak ada persiapan khusus di persidangan ini. Ia hanya menyebut akan menjawab pertanyaan Jaksa KPK sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya.


"Mengalir saja (jawab) pertanyaan Jaksa," singkatnya.


Agenda sidang kali ini adalah untuk mendengarkan keterangan saksi bagi terdakwa Wahyu dan Agustiani yang kini sedang berlangsung. Dalam kasus ini, Wahyu Setiawan didakwa menerima suap sebesar 57.350 dolar AS atau setara Rp 600 juta. Uang didapat dari eks caleg PDIP, Harun Masiku, melalui kader PDIP Saeful Bahri.


Uang diterima Wahyu selaku anggota KPU periode 2017-2019, melalui orang kepercayaannya yang juga kader PDIP, Agustiani Tio Fridelina. Tujuannya, agar Wahyu menyetujui permohonan PAW DPR dari PDIP untuk mengganti Riezky Aprilia ke Harun Masiku.


Wahyu Setiawan juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan. Gratifikasi diterima melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo, berkaitan dengan proses seleksi calon anggota KPUD Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Gratifikasi bertujuan agar Wahyu memilih anggota KPUD Papua Barat yang asli orang Papua. (sanca)






Jakarta, SancaNews.Com - Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate diputus bersalah karena kebijakan memutus internet di Papua oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.


Menurut hakim PTUN Jakarta, Jokowi dan Menkominfo terbukti melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.


Menanggapi putusan PTUN Jakarta tersebut, aktivis yang juga mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan, bahwa bersalahnya Jokowi dan Johnny G Plate dapat diartikan pemerintah secara sadar dan sengaja menutupi kejahatan di Papua yang berlangung secara masif dan terstruktur.


“Penutupan akses internet itu (juga) bentuk kepanikan pemerintah menghadapi gelombang demontrasi di Papua yang mana aktor-aktornya adalah rata-rata buzzer yang disiapkan dan dikendalikan pemerintah,” kata Pigai.


Dengan menutup akses internet di bumi Cendrawasih itu, pemerintahan Jokowi dinilai takut jika Informasi tentang berbagai kejahatan negara (state terorisme) di Papua terbongkar keluar melalui media elektronik dan diketahui publik Internasional. “Jakarta lebih menyukai Papua jadi daerah tragedi,” pungkas Pigai.


“Penutupuan akses internet itu (juga) bentuk kepanikan pemerintah menghadapi gelombang demontrasi di Papua yang mana aktor-aktornya adalah rata-rata buzzer yang disiapkan dan dikendalikan pemerintah,” kata Pigai dilansir rmol.id, Rabu (3/6).


Dengan menutup akses internet di bumi Cendrawasih itu, pemerintahan Jokowi dinilai takut jika Informasi tentang berbagai kejahatan negara (state terorisme) di Papua terbongkar keluar melalui media elektronik dan diketahui publik Internasional. “Jakarta lebih menyukai Papua jadi daerah tragedi,” pungkas Pigai. (sanca)




Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi keluar gedung KPK dengan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan, di Jakarta, Selasa, 2 Juni 2020. Nurhadi resmi ditahan pasca ditangkap tim penyidik KPK setelah buron selama hampir empat bulan. TEMPO/Imam Sukamto


Jakarta, SancaNews.Com - Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Tersangka kasus dagang perkara di Mahkamah Agung itu dibekuk bersama menantunya, Rezky Hebriyono, Senin, 1 Juni 2020.


Bekas Sekretaris MA ini sesungguhnya sudah dibidik KPK sejak April 2016. Namanya menjadi incaran KPK setelah lembaga antirasuah itu menangkap Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yang menerima duit suap Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno di tempat parkir Hotel Acacia, Jakarta Pusat. Doddy, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, menyuap Edy guna memuluskan sejumlah perkara Grup Lippo di pengadilan dan Mahkamah Agung. PT Artha adalah anak usaha Grup Lippo. Tak lama setelah itu, penyidik KPK menggeledah rumah Nurhadi di di Jalan Hang Lekir V Nomor 6, Jakarta Selatan.


Setelah penggeledahan itu, menurut dokumen yang diperoleh Majalah Tempo, terlacak upaya Nurhadi meminta perlindungan kepada sejumlah orang. Temuan pemeriksaan dan pengakuannya menjadi bahan penyelidikan KPK. Akhir Juli 2016, KPK membuka penyelidikan baru yang membidik Nurhadi. Caranya dia meminta sang ajudan, dari kepolisian, menelepon sejumlah orang. Dari dokumen tercatat ajudan Nurhadi menelepon seseorang yang disebut ajudannya BG. Tak disebutkan siapa BG dalam percakapan kedua orang itu.


+ Ijin Ndan. Bisa diakseskan ke BG informasi Ndan. Bapak (Nurhadi ) habis di-ini sama Kuningan (KPK).
- Hah, kenapa?
+ Bapak rumahnya habis diperiksa Kuningan (digeledah). Semalem jam 11 malam dan baru selesai jam 7 barusan. Terus tadi Bapak (Nurhadi) bilang kasih tahu Pak BG.
- Oke. Kami informasikan segera. Ini lagi serah-terima (sejumlah kapolda baru).


Wakil Ketua KPK ketika itu Alexander Marwata tidak menyangkal kabar bahwa materi percakapan itu ditanyakan ke Nurhadi. "Itu yang tahu penyidik. Kalau penyidik tahu info itu, pasti akan ditindaklanjuti."


Dalam sejumlah dokumen pemeriksaan yang salinannya diperoleh Tempo, Nurhadi tidak menyangkal rekaman suara itu. Dia menyebut isi rekaman itu mirip suara Ari Kuswanto, ajudannya. Saat ditanya dalam sejumlah kesempatan ketika menjadi saksi sidang kasus Edy Nasution soal percakapan ajudannya yang menyebut nama BG, Nurhadi tak pernah bersedia menjawab. (sanca)




Sumber : tempo.co

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.