Latest Post







Jakarta, SancaNews.Com - Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) diputuskan bersalah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.


Jokowi dan Menkominfo terbukti melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.


"Iya, baru diputuskan tadi siang," kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Abdul Manan kepada redaksi, Rabu (3/6).


AJI bersama Pembela Kebebasan Berkresi Asia Tenggara (SAFEnet) Indonesia menggungat kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada tahun lalu. Sebagai tergugat adalah Presiden dan Menkominfo.


"Mengabulkan guguatan para tergugat untuk seluruhnya," isi putusan yang dibacakan Majelis Hakim pada poin pertama. Dalam putusan perkara nomor 230/6/2019/PTUN-Jakarta itu, hakim juga memerintahkan pemerintah untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.


"Menghukum para tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia," tuturnya.


Selanjutnya, pemerintah diwajibkan untuk memuat permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat atas kebijakan tersebut secara terbuka di tiga media massa, enam stasiun televisi nasional, tiga stasiun radio selama sepekan. Ini wajib dilakukan maksimal sebulan setelah putusan.


Redaksi permohonan maaf, kami pemerintah RI dengan ini menyatakan: "Meminta maaf kepada seluruh pekerja pers dengan WNI atas tindakan kami yang tidak profesional dalam melakukan pemblokiran layanan data untuk wilayah Papua dan Papua Barat".


Dan apabila pemerintah melakukan upaya banding, hakim menyebut vonis ini tetap dapat dilaksanakan, "Menyatakan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum," kata dia.


Pada 19 Agustus 2019 pemerintah membatasi kebebasan internet warga Papua dan Papua Barat dengan dalih untuk meredam hoax atas kericuhan di dua daerah itu. Pelambatan akses internet berlanjut hingga pemutusan akses internet secara menyeluruh pada 21 Agustus 2019.


Lucunya, kebijakan itu dilakukan hanya melalui siaran pers. Dan seharusnya, pemerintah mengejar akun atau konten yang menyebar hoax tersebut, bukan malah menutup internet yang banyak merugikan masyarakat.




Sumber : rmol.id




Jakarta, SancaNews.Com  Sudah hampir 4 tahun sejak Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) masih berlangsung dan sejauh mana kemajuan pembangunannya?


Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Chandra Dwiputra menyebut progres pembangunan KCJB mencapai 48,9%. Pengerjaan proyek terus dilakukan meski di tengah pandemi virus Corona (COVID-19).


"Saat ini progres telah mencapai 48,9%. Semua pekerjaan konstruksi terus berlanjut di sepanjang trase Jakarta-Bandung," kata Chandra, dilasir detikcom, Rabu (3/5/2020).


Sementara pembebasan lahan sudah 100% sejak akhir Mei 2020 lalu. Meskipun dari lahan yang sudah bebas tersebut masih diperlukan pengerjaan relokasi utilitas termasuk pengembangan masyarakat di wilayah yang terkena dampak.


"Penyelesaian lahan sudah tuntas di akhir Mei 2020, namun kami masih perlu melakukan banyak sekali relokasi utilitas, termasuk fasos fasum (fasilitas sosial dan fasilitas umum) disepanjang trase KCJB," ucapnya.


Sejumlah titik sedang dikerjakan secara intensif seperti di area Halim dan di area Cikarang sedang pembangunan portal beam dan pemasangan box girder. Selain itu, pembangunan stasiun lainnya seperti Karawang, Walini dan depo di Tegalluar juga sedang dikebut.


Mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan proyek tersebut bisa rampung September 2022.


"Deadline Jakarta-Bandung tetap September 2022 harus bisa jadi sebagai target," ucap Erick, Jumat (29/5).


Target tersebut molor dari target awal yang direncanakan bisa selesai dan beroperasi pada Desember 2021. Hal itu dikarenakan adanya pandemi virus Corona yang membuat terbatasnya tenaga kerja karena beberapa tenaga kerja China tidak bisa balik ke Indonesia.


"Adanya keterbatasan dari sisi tenaga kerja, seperti beberapa tenaga ahli dan Top Management dari Tiongkok belum bisa kembali ke Indonesia," kata Chandra. (sanca).





Ilustrasi/Foto: Mindra Purnomo/Infografis


Jakarta, SancaNews.Com  - Isu tenaga kerja asing (TKA) dari China yang dipekerjakan di proyek kerja sama kembali menjadi sorotan tajam publik di Indonesia. Pemerintah China pun buka suara menjelaskan seputar TKA di Indonesia.


Minister Counselor Kedutaan Besar China di Indonesia Wang Liping menjelaskan jumlah gaji para pekerja China di Indonesia. Upah pekerja China umumnya US$ 30 ribu atau sekitar Rp 450 juta per tahun (dalam kurs Rp 15 ribu). Namun jumlah itu sudah ditambah biaya penerbangan dan akomodasi.


Sementara itu, menurut Wang seorang pekerja lokal di Indonesia digaji lebih murah. Jumlahnya 10% dari total gaji pekerja China.


"Seorang pekerja terampil Tiongkok pada umumnya dibayar US$ 30 ribu per tahun ditambah biaya penerbangan internasional dan akomodasi yang wajib ditanggung oleh perusahaan," ungkap Wang dalam keterangannya, Selasa (2/6/2020).


"Sementara itu seorang pekerja lokal Indonesia dibayar 10% dari total biaya pekerja Tiongkok," ujarnya.


Wang mengatakan karena mahalnya tenaga kerja China sebetulnya perusahaan pada proyek kerja sama akan mencari pekerja lokal karena gajinya lebih murah.


"Oleh karena itu, demi mengendalikan biaya, investor Tiongkok tak mempunyai alasan untuk tidak mempekerjakan pekerja lokal," kata Wang.


Hanya saja, masalah yang terjadi adalah daerah sekitar proyek biasanya tak mampu menyediakan cukup tenaga kerja yang terampil. Maka beberapa pekerja China didatangkan.


"Bagi beberapa proyek yang diinvestasikan oleh pelaku usaha Tiongkok, memang Indonesia tak mampu menyediakan cukup tenaga teknis dan pekerja terampil, makanya perusahaan Tiongkok harus menggunakan pekerja Tiongkok meskipun biayanya tinggi," papar Wang.


Wang juga bicara soal perbandingan banyaknya tenaga kerja China dengan lokal yang dipekerjakan di proyek kerja sama, berapa perbandingannya?


Soal data jumlah TKA China di Indonesia, Wang mengatakan bisa langsung mengecek ke Kementerian ketenagakerjaan. Yang jelas Wang menilai bahwa saat ini apabila dibandingkan jumlah tenaga kerja China tak seberapa jumlahnya dengan pekerja lokal.


Di kawasan industri Morowali (IMIP) misalnya, menurutnya perbandingan tenaga kerja China dengan lokal jumlahnya 1:70.


"Kalau kita lihat situasi pada saat ini, setiap pekerja Tiongkok di Indonesia setidaknya bisa menciptakan 3 lapangan kerja untuk masyarakat lokal Indonesia. Contohnya, proporsi pekerja Tiongkok terhadap pekerja Indonesia di Taman Industri IMIP adalah 1 banding 10; JD.id adalah 1 banding 70, dan Taman Industri Julong adalah 1 banding 150," ujar Wang.


Wang memaparkan TKA China di Indonesia bekerja di berbagai bidang. Mulai dari pertambangan, listrik, manufaktur, taman industri, pertanian, ekonomi digital, asuransi dan keuangan, tempat kerjanya terutama di Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa Barat.


TKA China di Indonesia, sebagian merupakan kalangan manajemen, kemudian sisanya adalah teknisi dan pekerja terampil.


Sementara itu, menurut Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian beberapa proyek kerja sama China juga menyediakan ribuan lapangan kerja.


Hingga akhir April saja tercatat 37 ribu warga lokal yang sedang bekerja di taman industri IMIP. Sementara itu di Kawasan Industri Weda Bay dalam proses konstruksinya telah mempekerjakan sekitar 8 ribu warga lokal.


"Seiring dengan kemajuan konstruksi proyek hingga masuk ke tahap produksi, akhirnya Weda Bay akan mempekerjakan 10 ribu warga lokal," ungkap Xiao. (sanca).





Sumber : detik.com




Jakarta, SancaNews.Com  - Dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando akhirnya meminta maaf kepada PP Muhammadiyah terkait unggahannya di Facebook yang dianggap mendiskreditkan organisasi tersebut. Permohonan maaf disampaikan Ade lewat akun Facebooknya.


Sebelumnya, melalui akun Facebook-nya ia menyinggung soal webinar yang digelar asyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) dengan Din Syamsuddin sebagai keynote speaker.


"Isu pemakzulan Presiden digulirkan Muhammadiyah. Keynote Speakernya Din Syamsuddin, si dungu yang bilang konser virtual Corona menunjukkan pemerintah bergembira di atas penderitaan rakyat," tulis.


"Saya meminta maaf kepada PP Muhammadiyah, karena ternyata penyelenggara acara webinar yang menggulirkan isu pemakzulan Presiden adalah sebuah organisasi yang menggunakan nama Muhammadiyah, tapi  sebenarnya tidak meminta izin terlebih dulu pada PP Muhammadiyah," tulisnya lagi dalam akun Facebook-nya, Selasa (2/6/2020).


Lanjutnya, ia mengaku senang PP Muhammadiyah telah membuat pernyataan yang isinya keberatan dengan pencatutan nama organisasinya dalam webinar 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19'.


"Saya juga gembira karena PP Muhammadiyah jelas-jelas menyatakan keberatan bahwa nama Muhammadiyah dibawa-bawa dalam acara webinar tersebut. Ketua PP Muhammadiyah bahkan menganggap webinar itu dapat merusak reputasi Muhammadiyah," katanya.


Sebelumnya juga,  Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas telah buka suara tentang pencatutan nama organisasinya dalam webinar tersebut. Dia menyesalkan nama organisasi Muhammadiyah digunakan dalam penyelenggaraan webinar nasional tentang pemakzulan presiden di era pandemi virus corona (Covid-19). Kata dia, hal itu bisa merusak nama baik dan mempersulit posisi organisasi Islam yang dipimpinnya saat ini.


"Yang jadi masalah mungkin bukan seminar dan diskusinya ya, tetapi terpakai nama Muhammadiyah. Itu kan masalah sensitif, pakai nama Muhammadiyah tanpa sepengetahuan PP Muhammadiyah," ujarnya.(sanca).





Sumber : wartaekonomi.co.id








Jakarta, SancaNews.Com  - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator.


Hal itu ditegaskan Din dalam diskusi ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’ (01/06).


Menurut Din, Pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan kondisi tersebut. Din menegaskan, pemerintah saat ini tengah membangun kediktatoran konstitusional. Bentuk kediktatoran konstitusional ini terlihat dari berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah.


Mengutip pemikir Islam modern Rasyid Ridho, Din meminta agar masyarakat tak segan melawan kepemimpinan yang zalim apalagi jika melanggar konstitusi.


“Rasyid Ridho (pemikir) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan agar melawan kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi,” tegas Din Syamsuddin.


Sejalan dengan itu, bagaimana dengan tuntutan rakyat yang meminta presiden mundur?. Pakar hukum tata negara (HTN) Refly Harun di akun @ReflyHZ sempat menulis: “Meminta presiden mundur itu nggak apa-apa dalam demokrasi. Yang nggak boleh, maksa presiden mundur.”


Bagaimana dengan Panglima ex Trimatra Ruslan Buton yang kini ditahan pihak kepolisian karena menyerukan permintaan agar Presiden Joko Widodo mundur dari jabatannya?


Mantan Menteri Kehutanan HMS Kaban menilai, menyatakan presiden mundur dilindungii konstitusi. Untuk itu MS Kaban meminta Kepolisian untuk melepaskan Ruslan Buton demi keadilan.


“Apa yang salah dari Ruslan Bhuton, jika rakyat sudah tidak percaya kepada Presiden. Siapapun Presidennya,mundur. Ada Tap MPRnya. Adapun ada proses itu teknis, tapi mengatakan Presiden mundur itu dilindungi konstitusi. Kapolri sebaiknya lepaskan Ruslan Bhuton. Demi Keadilan,” tulis MS Kaban di akun @hmskaban.


Di sisi lain, guru besar pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Yusuf Leonard Henuk mengecam pendapat Din Syamsuddin. Yusuf bahkan menuding seminar “pemakzulan presiden” hanya untuk menghibur barisan sakit hati.


“Tak masalah mau kata “Pemakzulan Presiden” hanya untuk menghibur hati semua “barisan sakit hati” yang perlu terus dicerahkan publik bahwa hanya masuk”kaum minoritas” di @DPR_RI jadi “bacot” di seminar & kini webinar nasional untuk bacot ramai-ramai di luar parlemen obat rasa sakit,” tulis Yusuf Henuk di akun @ProfYLH.


Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, mengatur soal pemberhentian presiden ataupun wakil presiden.


Di Pasal 7A, disebutkan presiden atau wapres dapat diberhentikan jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden.


Pemberhentian presiden dan wapres dalam masa jabatan dilakukan oleh MPR atas usul DPR. Usul pemberhentian dari DPR dapat diajukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat bahwa presiden dan wakil presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. (sanca)




Sumber : idtoday.co

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.