Latest Post






Jakarta, SancaNews.Com  - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator.


Hal itu ditegaskan Din dalam diskusi ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’ (01/06).


Menurut Din, Pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan kondisi tersebut. Din menegaskan, pemerintah saat ini tengah membangun kediktatoran konstitusional. Bentuk kediktatoran konstitusional ini terlihat dari berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah.


Mengutip pemikir Islam modern Rasyid Ridho, Din meminta agar masyarakat tak segan melawan kepemimpinan yang zalim apalagi jika melanggar konstitusi.


“Rasyid Ridho (pemikir) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan agar melawan kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi,” tegas Din Syamsuddin.


Sejalan dengan itu, bagaimana dengan tuntutan rakyat yang meminta presiden mundur?. Pakar hukum tata negara (HTN) Refly Harun di akun @ReflyHZ sempat menulis: “Meminta presiden mundur itu nggak apa-apa dalam demokrasi. Yang nggak boleh, maksa presiden mundur.”


Bagaimana dengan Panglima ex Trimatra Ruslan Buton yang kini ditahan pihak kepolisian karena menyerukan permintaan agar Presiden Joko Widodo mundur dari jabatannya?


Mantan Menteri Kehutanan HMS Kaban menilai, menyatakan presiden mundur dilindungii konstitusi. Untuk itu MS Kaban meminta Kepolisian untuk melepaskan Ruslan Buton demi keadilan.


“Apa yang salah dari Ruslan Bhuton, jika rakyat sudah tidak percaya kepada Presiden. Siapapun Presidennya,mundur. Ada Tap MPRnya. Adapun ada proses itu teknis, tapi mengatakan Presiden mundur itu dilindungi konstitusi. Kapolri sebaiknya lepaskan Ruslan Bhuton. Demi Keadilan,” tulis MS Kaban di akun @hmskaban.


Di sisi lain, guru besar pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Yusuf Leonard Henuk mengecam pendapat Din Syamsuddin. Yusuf bahkan menuding seminar “pemakzulan presiden” hanya untuk menghibur barisan sakit hati.


“Tak masalah mau kata “Pemakzulan Presiden” hanya untuk menghibur hati semua “barisan sakit hati” yang perlu terus dicerahkan publik bahwa hanya masuk”kaum minoritas” di @DPR_RI jadi “bacot” di seminar & kini webinar nasional untuk bacot ramai-ramai di luar parlemen obat rasa sakit,” tulis Yusuf Henuk di akun @ProfYLH.


Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, mengatur soal pemberhentian presiden ataupun wakil presiden.


Di Pasal 7A, disebutkan presiden atau wapres dapat diberhentikan jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden.


Pemberhentian presiden dan wapres dalam masa jabatan dilakukan oleh MPR atas usul DPR. Usul pemberhentian dari DPR dapat diajukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat bahwa presiden dan wakil presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. (sanca)




Sumber : idtoday.co


Menteri Keuangan Sri Mulyani

Jakarta, SancaNews.Com  - Transparansi pemerintah dalam penanganan pandemik Covid-19 hingga saat ini masih dipertanyakan publik. Baik dari angka pasien yang terjangkit virus hingga alokasi anggaran penanganan masih abu-abu.


Berkenaan dengan anggaran, pemerintah sebelumnya mengumumkan adanya pemberian stimulus sebesar Rp 405,1 triliun guna penanganan virus yang berasal dari Wuhan, China ini. Namun beragam pertanyaan pun masih menghantui publik.


"Ke mana aliran duit darurat corona Rp 405 triliun? Katanya di-top up hingga Rp 600 triliun," ujar aktivis Haris Rusly Moti di akun Twitternya, dirilis rmol.id. Selasa (2/6).


Berkenaan dengan hal itu, mantan Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 Universitas Gadjah Mada (UGM) ini akan segera menyurati Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk meminta rincian penggunaan alokasi anggaran tersebut.


"Minggu depan saya dan Salamuddin Daeng (Analis Ekonomi dari AEPI) akan gunakan hak konstitusional sesuai UU 14/2008/Keterbukaan Informasi Publik untuk surati Menkeu meminta rincin penggunaan tiap sen duit corona," tegasnya.


Dalam pemaparan pemerintah sebelumnya, besaran anggaran Rp 405,1 triliun tersebut akan dialokasikan ke sejumlah bidang.


Bidang Kesehatan mendapat jatah sebesar Rp 75 triliun, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.


Kemudian jaring pengaman sosial atau social safety net Rp 110 triliun, yang akan mencakup penambahan anggaran kartu sembako, kartu prakerja, dan subsidi listrik.


Anggaran tersebut juga digulirkan untuk insentif perpajakan dan KUR sebesar Rp 70,1 triliun, serta pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun.(sanca).







SancaNews.Com – Om dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terlibat dalam gerakan 30 September (Gestapu).


“Dalam pertemuan itu saya ketemu Luhut Pandjaitan yang omnya ditangkap karena terlibat Gestapu. Benny Moerdani mengatakan ‘Sorry ini aturan om loe gua tangkap juga’..begitu kira-kira,” kata pengamat politik Salim Said di ILC tv One dengan tema “Benarkah PKI Bangkit Lagi” (17/5)


Penjelasan Salim Said bisa disaksikan pada menit 52:31. Kata Salim Said, simposium di Hotel Aryaduta digagas anak muda dari korban Gestapu baik dari TNI, korban PRRI/Permesta, korban DII/TII untuk mengakhiri dendam masa lalu.


“Simposium di Aryaduta melibatkan massa, tak terkontrol maksudnya baik, mereka tidak mengerti persoalan dari golongan keluarga PKI minta keadilan, menyatakan Soeharto bersalah tanpa disadari itu menimbulkan kecemasan dari golongan lain antikomunis,” paparnya.


Salim mengatakan, masyarakat Indonesia ada yang menganggap Soeharto pahlawan dalam memberantasan PKI di Indonesia, “Orang Indonesia bisa tidak memaafkan Soeharto dan keluarga karena KKN, tapi untuk melawan PKI dianggap pahlawan,” jelasnya.


Selain itu, kata Salim, tidak perlu cemas akan kebangkitan PKI karena komunis sudah bubar, “PKI menaakutkan era Orla karena memanfaatkan perlindungan Nasakom untuk meneror musuh-musuh politik akhirnya mengkhianati Soekarno lewat Gestapu,” paparnya.(sanca)


Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule.

Jakarta, SancaNews.Com – Tераt раdа hari іnі, Sеnіn (1/6) Pаnсаѕіlа gеnар bеruѕіа 75 tаhun, tеrhіtung ѕеjаk kali реrtаmа dіріdаtоkаn Bung Kаrnо. Namun demikian, ѕеlаmа іtu pula Pаnсаѕіlа sebagai іdеоlоgі bаngѕа belum mampu dірrаktіkkаn dengan bаіk dаlаm rаngkа mewujudkan masyarakat Indоnеѕіа уаng аdіl dаn mаkmur.

Kеtuа Majelis Jаrіngаn Aktіvіѕ Pro Demokrasi (ProDEM) Iwаn Sumulе menilai ѕеmuа іtu tіdаk lераѕ dari ѕіkар реmіmріn уаng gagal mеmаhаmі dan mengejewantahkan Pаnсаѕіlа ѕесаrа bаіk dаn bеnаr.

“Sеmuа ini аkіbаt dаrі реmіmріn уаng gаgаl mеnghаdарі еrа globalisasi. Dia gаgаl paham dеngаn Pancasila,” tеgаѕnуа раdа redaksi, Sеnіn (1/6).

“Dі еrа glоbаlіѕаѕі Pancasila pun dіlіbеrаlіѕаѕі, bukаnnуа dinasionalisasi. Akhlаk, norma, ѕаmраі dеmоkrаѕі рun diliberalisasi,” sambungnya.

Iwаn Sumulе mеngаku prihatin lаntаrаn Pancasila уаng disarikan раrа pendiri bаngѕа kini ѕеbаtаѕ ѕеjаrаh уаng dіhараl ѕааt sekolah. Pаnсаѕіlа mаѕіh bеlum mаmрu dіtumbuhkаn dаn mеngаkаr kе ѕеtіар ѕеndі kеhіduраn mаѕуаrаkаt Indonesia.

“Derasnya аruѕ globalisasi уаng membawa hаmа kаріtаlіѕmе menjadi salah ѕаtu sebabnya,” urai Iwаn Sumulе.

Karena реmіmріn tіdаk bеrhаѕіl membendung arus tеrѕеbut, maka bаngѕа іnі gаgаl mеlаkukаn lоmраtаn іdеоlоgі dаn lоmраtаn tеmbоk feodalisme уаng jadi реnghаlаng реrwujudаn nilai-nilai dаn cita-cita Pаnсаѕіlа sebagai іdеоlоgі.

Kіnі, ѕаmbungnуа, tіdаk аdа саrа lаіn. Sеmuа еlеmеn hаruѕ bеrѕаtu menghancurkan tеmbоk fеоdаlіѕmе dan mеnуіngkіrkаn реmіmріn уаng gagal раhаm agar Pancasila sebagai ideologi bangsa dараt tumbuh, mеngаkаr, dаn dіnаѕіоnаlіѕаѕі di era globaslisasi уаng begitu dеrаѕ membawa hаmа kаріtаlіѕmе.

Mеnurutnуа, 75 tаhun mеruраkаn wаktu уаng сukuр bаgі bangsa іnі untuk mengakhiri рrаktіk-рrаktіk реnghіѕараn dаn ketidakadilan tеrhаdар rakyat tеrjаdі. Adіl dаn mаkmur harus diwujudkan ѕеbаgаіmаnа amanat kоnѕtіtuѕі nеgаrа dаn tujuan pangamalan Pаnсаѕіlа.

“Jіkа tеruѕ mеmреrtаhаnkаn реmіmріn уаng sama ѕеkаlі tаk mеmаhаmі Pаnсаѕіlа ѕеbаgаі ideologi bangsa, mаkа nіѕсауа Pаnсаѕіlа layu dаn mаtі,” ujаrnуа, dilansir rmol.id.

“Pаnсаѕіlа hаruѕ bіѕа jаdі іdеоlоgі уаng bisa mеwujudkаn mаѕуаrаkаt аdіl dаn makmur,” dеmіkіаn tegas Iwan Sumule. (sanca)





Wakil Ketua MPR Arsul Sani.

Jakarta, SancaNews.Com – Kapten TNI Ruslan Buton ramai jadi perbincangan. Mantan Komandan Eks Tiga Matra, Kapten TNI Ruslan Buton dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menilai Polri telah menggunakan 'pasal karet' dalam UU ITE. "Beberapa Pasal dalam UU ITE seperti Pasal 27 dan Pasal 28 dan juga Pasal dalam KUHP seperti Pasal 207, Pasal 310 dan 311 adalah pasal "karet" yang interpretable 'multi tafsir atau terbuka penafsirannya'.

"Jadi menurut saya, tidak tepat Polri melakukan proses hukum dengan langsung melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan," ujarnya kepada Wartawan, Minggu 31 Mei 2020.

Ia juga meminta Polri agar terukur dan menahan diri saat menggunakan kewenangannya melakukan upaya paksa dalam penindakan hukum terkait dugaan pelanggaran beberapa pasal UU ITE maupun KUHP.

"Harus hati-hati, apalagi penangkapan terhadap Ruslan Buton ini disorot secara luas oleh sejumlah kalangan masyarakat sipil. Apalagi yang disampaikan terduga di medsos itu belum menimbulkan akibat apa-apa," tandasnya.

"Aplagi, tindakan Ruslan ini tidak disertai dengan tindak pidana lainnya mengangkat senjata atau pemberontakan terhadap pemerintah," tambah Anggota Komisi III DPR Ini.

Politisi PPP dari Dapil Jateng ini menambahkan, Polisi bisa saja memproses kasus tersebut tanpa melakukan penahanan. "Polisi harusnya meminta keterangan ahli dulu, apakah yang diucapkan atau ditulis itu terindikasi tindak pidana. Bukan langsung bertindak menahannya," tegasnya.

Polisi lanjut Arsul mengatakan, harusnya polisi menggunakan cara- cara elegan, dengan mengumpulkan alat bukti, dan keterangan ahli. Jika ditemukan adanya tindak pidana, baru tetapkan tersangka dan melakukan pemanggilan.

"Saya minta, Polri ke depan semakin akuntabel dan meningkatkan standar due process of law-nya dalam melaksanakan kewenangannya, terutama dalam menangani tindak pidana yang non jatras (kejahatan dengan kekerasan)," pungkasnya.

Seperti diketahui, sebelumnya tagar Save Ruslan Buton menjadi trending topik Twitter. Nama Ruslan tengah menjadi sorotan publik lantaran surat terbuka yang meminta Joko Widodo (Jokowi) mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Surat yang dibuat Ruslan Buton pada 18 Mei 2020 lalu itu viral di media sosial. Dalam video tersebut, Ruslan menilai bahwa tata kelola berbangsa dan bernegara di tengah pandemi corona ini sulit diterima oleh akal sehat, dilansir viva.co.id.

Selain itu, Ruslan juga mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah Jokowi rela untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

"Bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat," ujar Ruslan.

Ruslan Buton diketahui telah diamankan oleh tim gabungan TNI-Polri dan saat ini tengah menjalani pemeriksaan intensif. Kabar diamankannya Ruslan Buton ini kemudian mendapat rekasi dari warga Twitter. (sanca) 






SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.