Latest Post



Jakarta, SancaNews.Com - KONSER amal untuk melawan wabah corona tanggal 17 Mei malam terasa janggal. Penyelenggaranya Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan MPR RI, Gugus Tugas Covid 19 dam instansi lain.

Aneh, di tengah kebijakan PSBB dan bulan Ramadhan masih terfikir dan mampu mengadakan konser berskala "kenegaraan". Ketua MPR sengaja berkampanye mengajak masyarakat untuk hadir dalam konser virtual.

Di bulan Ramadhan 10 hari terakhir yang dalam keadaan normal umat Islam dianjurkan i'tikaf di Masjid, biasa shalat tarawih berjamaah, tadarus Al Qur'an. Justru kini umat harus hadir menonton konser. Sungguh menyedihkan. Menurut Pastor Benny Soesetyo Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP konser ini wujud dari pengamalan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Konser "kenegaraan" ini tidak berperi kemanusiaan. Suasana yang sedang dihadapi adalah keprihatinan. Ketika manusia mempertaruhkan kesehatan dan jiwanya di tengah wabah, masih sempat "nyanyi-nyanyi" terprogram.

Tidak adil, karena hasil donasi sepenuhnya hanya diperuntukkan bagi pekerja seni dan seniman. Itupun dihimpun hanya oleh satu Yayasan saja.

Bagaimana dengan masyarakat terdampak lain seperti ojek, sopir angkot, buruh ter PHK, pedagang kecil yang semua juga mengalami kesulitan yang mungkin lebih parah?

Tidak beradab, karena adabnya urusan dana rakyat siapapun termasuk seniman adalah kewajiban Pemerintah. Tidak beradab pula di tengah tengah umat Islam beribadah khusyu berburu malam "lailatul qadar"  negara justru menyelenggarakan konser bernyanyi. Kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan setelah bulan Ramadhan.

Pemerintah menyinggung umat Islam yang sedang dipersulit untuk beribadah di masjid. Shalat jum'at dan shalat ied pun ditiadakan. Mudik silaturahmi tidak bisa. Ini malah konser lagi. Sayangnya Wapres yang Kyai pun bukan mencegah atau menasehati malahan terlibat. Diagendakan untuk membacakan do'a. Setelah menikmati nyanyi nyanyi.

Kita ini ambivalen antara keseriusan dan kedisiplinan dalam mengatasi wabah di satu sisi dengan relaksasi dan "konserisasi" di sisi lain.

Entah lagu lagu apa yang akan dibawakan mungkin Bimbo membawakan lagu rohani, tetapi artis lainya seperti Rosa, Judika, Ruth Sahanaya, Inul Daratista, Via Vallen, Marion Jola belum terpublikasikan.

Ini konser Corona bukan konser Ramadhan. Jadi acara seperti ini seharusnya bisa dilakukan setelah bulan Ramadhan. Di luar bulan sucinya umat Islam.

Program BPIP ini tidak signifikan, MPR pun terlalu menyederhanakan kegiatan. Seperti kehilangan agenda utamanya sebagai lembaga penting dalam Negara. Meskipun akhirnya rakyat hanya bisa mengurut dada.

Indonesia sedang berduka. Duka lara karena cara mengelola negara yang semrawut alias tidak terencana. (sanca)



Sumber : rmol.com



Warga mulai memadati pedagang kaki lima sekitar jalan Jatibaru, Tanah Abang. Jakarta, Minggu, 17 Mei 2020. Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono

Jakarta, SancaNews.Com - Masyarakat memadati lapak pedagang kali lima (PKL) di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Minggu (17/5). Suasana kawasan Pasar Tanah Abang padat dijejali warga ketika Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Bebas (PSBB) DKI Jakarta dampak wabah virus corona.

Situasi ini paling terlihat saat CNNIndonesia.com mendatangi lapak PKL yang digelar di Jalan Jatibaru II, sekitar pukul 12.00 WIB. Para pengunjung, baik yang berjenis kelamin pria atau wanita sibuk melihat barang dagangan kebanyakan model pakaian.

Bahkan, beberapa dari pengunjung mendatangi lokasi ini sambil membawa anak yang masih berusia di bawah lima tahun atau balita.

Fenomena di Pasar Tanah Abang saat ini menunjukkan masyarakat tak mempedulikan imbauan pemerintah soal social distancing atau physical distancing (jaga jarak).

Masyarakat terpaksa berdesakan saat berjalan di sekitar lapak PKL yang digelar di dalam gang-gang sempit. Bahkan, situasi ini membuat para pengunjung tak jarang saling bertabrakan bahu atau badan.

Aktivitas PKL di Pasar Tanah Abang sebenarnya sudah mulai terpantau berjalan pada Senin (11/5) lalu.

Mereka yang menggelar lapak di saat pemberlakuan kebijakan PSBB Jakarta terlihat mulai dari bawah Jembatan Penyeberangan Multiguna Tanah Abang hingga depan Pasar Tanah Abang Blok G, tepatnya berada di bawah Jembatan Central Tanah Abang.

Selain pedagang pakaian, sejumlah profesi lainnya juga terlihat mulai beraktivitas di Pasar Tanah Abang seperti pedagang makanan dan minuman hingga juru parkir.


Kuli panggul juga terlihat mulai bekerja memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski demikian, jumlah pengunjung yang terlihat datang berbelanja di area ini tidak terlalu banyak.

Masih sama seperti pada Senin (11/5), petugas yang diberikan kewenangan untuk mengawal pelaksanaan kebijakan PSBB tidak terlihat berjaga di sekitar lokasi. Di Tengah PSBB di DKI, Masyarakat Padati Lapak Dagangan PKL Tanah Abang. (sanca)





Sumber : cnnindonesia.com 



Sekjen MUI, Anwar Abbas (tengah). MUI mendesak pemerintah konsisten menerapkan larangan berkumpul selain di masjid untuk menekan penyebaran virus corona. (CNN Indonesia/Nurika Manan)

Jakarta, SancaNews.Com - Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, mempertanyakan sikap pemerintah yang melarang penduduk berkumpul di masjid, tetapi tidak tegas melarang orang-orang yang berkumpul di bandara, tempat perbelanjaan hingga perkantoran saat pandemi virus corona (Covid-19).

Anwar menilai perbedaan sikap tersebut justru menjadi ironi di situasi seperti saat ini. Sebab usaha untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona menjadi tidak maksimal.

"Dimana di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah, tapi di sisi lain kita longgar. Pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mall, di bandara, di kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya?," kata Anwar dalam keterangan resminya, Minggu (17/5).

MUI telah menerbitkan fatwa supaya umat Islam di daerah yang berada dalam tingkat penyebaran virus corona yang cukup tinggi supaya beribadah di kediaman masing-masing. Menurut Anwar, langkah itu sudah tepat untuk membantu pemerintah menekan laju penyebaran corona.

Dia menilai fatwa MUI justru menjadi instrumen oleh pemerintah guna mencegah orang berkumpul di masjid dalam melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah.

Bahkan, lanjut dia, di beberapa daerah para petugas menggunakan pengeras suara mengingatkan masyarakat tidak berkumpul di masjid.

Sebaliknya, Anwar heran di bandara, pasar, pusat perbelanjaan dan perkantoran justru tidak terlihat aparat yang melarang masyarakat berkumpul karena rawan penyebaran corona.

"Padahal dalam fatwa MUI yang ada dijelaskan bahwa di wilayah dan atau daerah yang penyebaran virusnya terkendali umat Islam bisa menyelenggarakan salat Jumat dan salat berjamaah dengan memperhatikan protokol medis yang ada. Tetapi pemerintah dan petugas tetap saja melarang tanpa memperhatikan situasi dan kondisi yang ada," kata Anwar.

Melihat persoalan itu, Anwar meminta agar pemerintah tak pandang bulu dalam menegakkan aturan. Bila pemerintah melarang orang untuk berkumpul di masjid, lanjut dia, seharusnya hal yang sama juga diterapkan lokasi lain.

"Tujuannya adalah agar kita bisa memutus mata rantai penularan virus ini secara cepat," kata Anwar.

Pada Kamis (15/05 lalu terjadi penumpikan penumpang di Bandara Sukarno-Hatta yang memicu perdebatan di tengah masyarakat.

Kepadatan di Terminal 2 Bandara Soetta diakui sempat terjadi sekitar pukul 04.00 pagi. Senior Manager Branch Communications & Legal Bandara Soekarno-Hatta, Febri Toga, menjelaskan kepadatan dipicu oleh 11 penerbangan milik Lion Air Grup dan dua penerbangan Citilink yang berangkat hampir bersamaan antara pukul 06.00-08.00. Kondisi tersebut membuat berbagai pihak mempertanyakan ketegasan pemerintah untuk menekan penyebaran virus corona. (sanca)




Sumber : cnnindonesia.com 





ilustrasi kartu BPJS Kesehatan


Bandung, SancaNews.Com – Iuran BPJS Kesehatan kembali dinaikkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.


Dalam Perpres tersebut, disebutkan jika Iuran BPJS Kesehatan Kelas I naik menjadi Rp150.000 dan Kelas II naik menjadi Rp100.000. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut berlaku mulai 1 Juli 2020. Adapun untuk kelas III yang menjadi Rp35.000 baru akan naik pada 2021.

Berikut ini kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Pasal 34 sebagaimana dinukil Ayobandung.com, Rabu (13/5/2020):

Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp150.000 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta. Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp100.000 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta. Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35.000-,

Sebelumnya, Iuran BPJS Kesehatan per 1 Mei 2020 ini mengalami penurunan. Mengacu pada Peraturan Presiden 82 tahun 2018, iuran BPJS Kesehatan kelas I turun menjadi sebesar Rp80.000, kelas II Rp51.000, dan kelas III Rp25.500. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HUM/2020, yang menyatakan membatalkan Pasal 34 Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019.

Dosen Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Pasundan, Firman Turmantara Endipradja menilai, keputusan presiden Jokowi dengan menaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan bentuk kebijakan inkonstitusional alias kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan Undang-undang Dasar 1945.

Firman menyampaikan, sudah tercatat jelas bahwa amanat konstitusi, UUD 45 merupakan implementasi dari dasar falsafah Pancasila. UUD 45 pun mengamanatkan presiden, pemerintah, atau negara untuk mensejahtarakan rakyat. Namun dengan dikeluarkannya kebijakan ini membuka ruang keraguan masyarakat dalam menilai keputusan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

"Mohon maaf kalau saya vulgar, tapi presiden sudah inkonstitusional. Sudah melanggar konstitusi. Amanat konstitusi, UUD 45 itu merupakan implementasi dari dasar falsafah Pancasila. UUD 45 itu mengamanatkan presiden, pemerintah, atau negara untuk mensejahtarakan rakyat. Pertanyaannya sekarang dengan keputusan itu apakah betul mensejahterkan rakyat? Saya mengamati secara sosiologi kondisi masyarakat sekarang ini untuk makan saja susah, untuk beli masker juga susah, sekarang untuk membayar iuran BPJS, ini kan luar biasa. Mudah-mudahan pernyataan saya ini salah," kata Firman kepada Ayobandung.com, Rabu (13/5/2020).

Firman juga menilai, kebijakan ini justru bisa menjadi blunder, tidak terarah, dan tidak sesuai dengan kondisi bagi kepemimpinan presiden Jokowi. Pasalnya dalam perspektif hukum, menurut Firman, sebuah kebijakan hukum harus memenuhi tiga aspek, yakni yuridis, sosiologis, dan filosofis. Adapun yang disebut kebijakan filosofis adalah kebijakan yang memenuhi aspek rasa keadilan.

"Pertanyaannya, adil tidak iuran BPJS Kesehatan dinaikan 100%, sementara ada surat edaran atau keputusan Menteri Keuangan yang menaikan kesejahteraan petinggi BPJS hampir Rp300 juta per bulan? Ini kan paradoks, kontroversi, bersebrangan," kata Firman.

Firman menilai, kebijakan ini pun menjadi bentuk ketidaktaatan presiden terhadap putusan Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya pada 2019, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam Perpres tersebut, besaran iuran berubah menjadi Rp42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III, Rp110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II, dan Rp160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

Namun, MA membatalkan Perpres Nomor 75/2019. MA mengembalikan iuran menjadi sebesar Rp25.500 untuk kelas III, sebesar Rp51.000 untuk kelas II, dan sebesar Rp80.000 untuk kelas I.

Belum lagi polemik yang masih berkelanjutan tentang kebijakan Omnibuslaw. Di mana ribuan buruh, LSM lingkungan hidup, LSM perlindungan konsumen, ramai-ramai menentang. Lantaran banyak pihak-pihak yang tersinggung dan terlanggar kebijakan omnibuslaw ini.

"Ini kan luar biasa sebagai contoh yang tidak baik. Memberikan contoh ke masyarakat bahwa 'boleh lah melanggar putusan MA sebagai kekuasaan yudikatif bisa dilanggar'. Kan putusan MA sudah mengatakan kenaikan iuran BPJS dibatalkan. Artinya harus kembali kepada tarif awal. Dan ini sudah menggembirakan rakyat. Sekarang muncul lagi keputusan presiden seperti ini. Jadi betapa wibawa presiden jadi turun, tidak konsisten, tidak profesional, mencla-mencle," kata Firman.

Dari perspektif politik, Firman juga mengindikasikan, sudah muncul riak-raik kegaduhan di tingkat para elite politik nasional terkait gaya kebijakan presiden Jokowi. Terbukti dari partai partai pengusung presiden Jokowi, PDIP, yang sudah berbeda suara. Selain itu, Firman mengindikasikan bahwa peta politik yang melibatkan para partai koalisi pendukung presiden pun sudah bersuara mengkritik kebijakan sang presiden.

"Partai pengusung saja sekarang sudah berbeda suaranya. Bahkan ada salah satu anggota dewan yang mengusulkan ke KPK untuk mengusut presiden. Saya tidak yakin bahwa pernyataan anggota dewan dari PDIP ini hanya pernyataan pribadi, gak percaya. Karena (anggota fraksi di) DPR itu mewakili partai," katanya.

Tak kalah riuh, ketidaksingkronan antara partai pengusung dengan presiden, menurut Firman, dikhawatirkan berujung pada pelengseran jabatan presiden di tengah jalan. Sebab dari lapisan masyarakat pun disinyalir sudah muncul fenomena hilangnya simpati kepada presiden imbas kebijakan yang diduga tidak prorakyat.

"Petinggi-petinggi nasional juga menggugat kebijakan presiden ke MK. Bahkan di antara presiden dengan para menterinya kebijakannya lain. Contoh kebijakan presiden dengan menteri perhubungan, ini kenyataan, ini fakta. Jadi ini, negara sekarang mengkhawatirkan dalam kondisi ini, terutama yang dirasakan rakyat. Rakyat makin tercekik," kata Firman.

Karenanya, mewakili masyarakat, Firman mendesak pemerintah agar segera mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak prorakyat. Pasalnya bila dibiarkan, kondisi ini akan menjadi bom waktu yang bakal menimbulkan kegaduhan dan bumerang bagi para pemangku kebijakan terkhusus presiden.

"Dengan kata lain saya sangat kecewa, sangat keberatan, dan tolong dievaluasi lagi supaya tidak menjadi bom waktu karena ini akan chaos. Partai politik sikapnya seperti itu, petinggi negara, para tokoh masyarakat, tokoh negara juga sudah mengatakan begitu. Jadi tolonglah kembali secepatnya. Supaya dalam kondisi pandemi ini  kita tidak chaos dan tidak harmonis di masyarakat," ujarnya.







Sumber : ayocirebon.com



Vicky Lumentut

Manado, SancaNews.Com - Kepedulian Pemerintah Kota (Pemkot) Manado terhadap warga masyarakat yang lanjut usia (Lansia) saat pamdemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ini makin terasa.

Jumat (15/5/2020) pagi tadi, Wali Kota Manado Dr. Ir. GS Vicky Lumentut, SH, M.Si, DEA, menginstruksikan kepada Camat, Lurah dan Kepala lingkungan untuk melakukan validasi dan verifikasi data berjenjang calon penerima bantuan dana lansia.

“Ayo rekan-rekan Camat, Lurah dan para Pala, mendata warga lansia yang berumur 60 tahun keatas, terhitung sejak Desember 2019, selanjutnya dilakukan validasi dan verifikasi data,” ujar Vicky Lumentut.

Wali kota dua periode ini pun mengingatkan agar jangan sampai ada lansia yang terlewatkan dalam pendataan.

“Saya minta, jangan ada lansia yang tidak menerima dana lansia. Sebagai bentuk transparansi, Pala akan membacakan nama-nama lansia calon penerima bantuan. Sebagai fungsi pengawasan dan monitoring, silahkan masyarakat merespon, melalui saran, kritik dan masukan,” tegas Vicky.




Sumber : beritamanado.com



SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.