Latest Post


Jakarta, SancaNews - Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menjelaskan kepada Komisi II DPR soal dua pernyataannya yang menuai polemik.

Diketahui, ia memicu kritik publik saat bicara soal 'agama musuh Pancasila' dan 'konstitusi di atas kitab suci' kepada media, dalam kesempatan wawancara terpisah.

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2), ia mendapat hujan kritik dari setidaknya 15 orang anggota dewan dari berbagai fraksi yang menyatakan kecewa dengan pernyataan 'agama musuh Pancasila' itu.

Ia kemudian mengaku saat wawancara itu tengah menyoroti kelompok agama yang menganut paham ekstrem. Menurutnya, tindakan kelompok tersebut menjadi ancaman bagi Pancasila sebagai ideologi bangsa.

"Itu yang sedang saya ingatkan, sebaiknya bangsa ini kembali ke konsensus ini maksud saya awalnya begini. Sebab jika tidak kita kelola dengan baik, ini akan menjadi laknat. Itu maksudnya agama jadi musuh kalau ada orang-orang bergama menggunakan agama secara sepihak secara ekstrem," jelasnya dalam rapat itu.

Yudian berkata maksud pernyataannya itu tidak dikutip secara lengkap. Dia merasa pernyataannya salah dikutip dan dijadikan judul oleh detik.com.

Dalam kesempatan itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga ini juga mengklarifikasi pernyataan kontroversial lainnya, yakni soal 'konstitusi di atas kitab suci'.

Dia berdalih bahwa itu maksudnya adalah konstitusi akan menaungi warga negara yang sedang menjalankan amanat kitab suci.

"Sekarang contoh sederhana kaitannya dengan konstitusi apakah muslim tiba-tiba pergi haji tanpa paspor? Yang saya maksud ini [paspor] adalah mewakili konstitusi. Jadi agama yang sudah menjadi konstitusi. Ini saya maksud sebenarnya," ucap dia.

Yudian menyatakan akan mengikuti usulan dari Komisi II DPR RI dan berjanji tak akan bicara lagi secara langsung ke media massa.

"Saya berjanji ke depan akan pakai humas. Kalau toh harus itu (memberi pernyataan langsung ke media massa), pakai yang namanya diedit dulu, ditulis, didraf, baru kita serahkan," ucap dia.

Diketahui, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Johan Budi sebelumnya mengusulkan agar Yudian menggunakan Humas untuk bicara kepada media.




Sumber : cnnindonesia.com



Jakarta, SancaNews - Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi berjanji tidak lagi menyampaikan statemen kontroversial kepada media massa. Janji itu disampaikan Yudian usai dinasihati dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR, Selasa (18/2).

Mulanya, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP Johan Budi meminta tidak lagi bicara dengan media.

"Karena kalau bicara dengan media, lebih banyak mudaratnya Pak," kata Johan Budi, Selasa (18/2).

Menurut Johan Budi, Yudian belum terbiasa menghadapi media massa. Sehingga ia belum bisa menyampaikan pernyataan secara baik dan malah berujung kontroversi.

Johan meminta Yudian menyampaikan pernyataan dengan disertai konteks yang jelas. Selain itu, penyampaian maksud harus dilakukan dengan bahasa yang tidak menimbulkan kegamangan panafsiran.

Johan Budi menyarankan agar Yudian menunjuk humas atau juru bicara untuk menghadapi wartawan. Agar dia bisa fokus menjalankan tugas sebagai Kepala BPIP.

"Bapak wakilkan saja, tadi kan Bapak mengakui bahwa karena terbiasa dengan dunia kampus sehingga bicara dengan media memang harus lebih memahami soal konteks, Pak," kata mantan juru bicara KPK dan juru bicara kepresidenan ini.

Yudian menyambut baik saran itu. Bahkan dia berterima kasih kepada Johan Budi dan berjanji menerapkan saran tersebut dirlis ccnindonesia.com. 

"Sudah disampaikan bapak tadi supaya disetop, ya saya berjanji ini. Jadi tidak akan ada lagi nanti kontroversi saya sebagai pribadi, yang itu atas nama BPIP," ucap Yudian dalam rapat.

Usai rapat, Yudian langsung menerapkan saran itu. Dia menolak diwawancara oleh awak media yang telah menantinya di luar ruangan. Yudian diwakilkan oleh Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Benny Susetyo.

Yudian dilantik sebagai Kepala BPIP Presiden Jokowi menjadi Kepala BPIP pada Rabu (5/2). Dia mengisi jabatan yang kosong sejak Yudi Latief mengundurkan diri pada 2018.

Tak lama setelah dilantik, Yudian menyita perhatian publik dengan beberapa pernyataan kontroversial. Dalam wawancara dengan Tim Blak-blakan detik.com, Yudian menyebut agama sebagai musuh terbesar Pancasila.

Pekan lalu, ia juga melontarkan pernyataan kontroversial. Yudian bilang warga negara harus bisa menempatkan konstitusi di atas kitab suci.








Jakarta, SancaNews - Ustaz Afian Tanjung dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri lantaran pernyataannya yang menyebutkan pemerintah saat ini merupakan 'rezim komunis' melalui media sosial. Laporan tersebut didaftarkan pada Senin (18/2) oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Habib Muannas Alaidid.

"Benar (sudah membuat laporan ke Bareskrim) Pasal yang dipakai UU No 1 tahun 1946 tentang KUHP Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 15 KUHP dan/atau Pasal 207 KUHP (kabar bohong)," kata Muannas saat dikonfirmasi, Selasa (18/2).

Laporan itu diketahui telah teregister dalam nomor LP/B/096/II/2020/BARESKRIM dan Nomor LP/B/097/II/2020/BARESKRIM. Seperti diketahui, sebelum kasus ini, Alfian Tanjung sendiri pernah berkutat dengan proses hukum saat dirinya mengatakan PDIP dihuni 85 persen kader PKI.

Muannas menilai pernyataan tersebut berbahaya bagi masyarakat dan berharap agar Alfian segera ditangkap kembali oleh pihak kepolisian. Ia pun menyatakan telah menyiapkan beberapa alat bukti untuk mendukung laporannya tersebut.

"Tangkapan layar berupa gambar, video dan video rekaman CD dari channel Youtube Hijrah dan Kedaulatan Rakyat dalam bentuk CD," kata dia.

Pernyataan yang diperkarakan oleh Muannas dalam hal ini adalah saat Alfian mengucapkan partai-partai politik yang ada di Indonesia berlatih ke Beijing, China, sejak tahun 2004 sampai 2014.

Dalam hal ini, Alfian juga menyebutkan bahwa Indonesia saat ini terlihat seperti rezim komunis karena terjadi proses 'polisisasi' lantaran banyak jabatan-jabatan sipil yang kini dipegang oleh aparat kepolisian.

Alfian pun disebutkan menuding Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila(BPIP) Yudian Wahyudi kini telah mengizinkan seseorang berzina dengan anaknya sendiri.

Dilaporkan ke Polda Sumbar

Selain Bareskrim, terdapat juga pihak yang melaporkan Ustaz itu ke Polda Sumatra Barat.

Laporan tersebut dibuat seorang pegawai swasta, Raymon Rafli terkait dengan materi yng disampaikan Alfian pada saat kegiatan tabligh akbar di Masjid Jami' Tigo Baleh Bukit Tinggi yang dibagikan melalui media sosial Youtube.

"Dugaan tindak pidana menyiarkan kabar bohong dan Penghinaan kepada penguasa yg diduga dilakukan oleh ustad Alfian Tanjung," kata Kabid Humas Polda Sumatra Barat Stefanus Satake Bayu Setianto, Selasa (18/2).


Hingga saat ini, kepolisian masih melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi terkait dan mengumpulkan sejumlah barang bukti.

Alfian disangkakan melanggaran ketentuan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No 1 Tahun 1946 dan/atau pasal 207 KUHP, UU No 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Namun laporan tersebut telah diterima oleh kepolisian dan tercatat dalam nomor LP/49/II/2020/Spkt Res Bukittinggi.


Sumber : cnnindonesia.com



Jakarta, SancaNews - Polemik pengembalian penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rossa Purbo Bekti ke Mabes Polri masih terus bergulir. Tak terima dimutasi sepihak ke institusi asalnya, penyidik lembaga antirasuah itu pun disebut membuat surat keberatan kepada pimpinan lembaga antirasuah.

“Penyidik Rossa sudah membuat surat keberatan dan diterima pimpinan,” kata sumber JawaPos.com yang enggan disebut identitasnya, Senin (17/2).

Polemik itu berbuntut panjang lantaran dalam salah satu media massa, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, penarikan Kompol Rossa atas persetujuan Kapolri Jenderal Idham Azis. Namun, Idham baru belakangan mengetahui polemik pengembalian Kompol Rossa.

“Surat keberatan itu infonya diterima Pak Firli,” ucapnya.

Namun, ketika JawaPos.com coba mengkonfirmasi kepada Ketua KPK Firli Bahuri, tidak ada jawaban apapun. Pesan singkat maupun sambungan telepon yang disampaikan JawaPos.com terkait surat keberatan yang diajukan Kompol Rossa.

Sementara itu, pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri mengaku belum mendapatkan informasi terkait surat keberatan penarikan Kompol Rossa ke Mabes Polri. Sebab sebelumnya, Kompol Rossa disebut masa tugasnya di KPK tidak dilanjut sejak 1 Februari 2020.

“Kalau itu kami konfirmasi dulu ya, saya belum dapat informasi secara utuh terkait dengab itu. Tentunya kami belum bisa sampaikan ke teman-teman. Karena data yang ada harus lengkap dulu, sehingga kami bisa sampaikan,” ucap Ali di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Senin (17/2).

Juru bicara KPK berlatar belakang Jaksa ini pun menyebut belum mengetahui secara utuh surat keberatan yang dilayangkan pegawai KPK itu. “Saya belum tahu, nanti saya konfirmasi,” jelas Ali.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan pemulangan penyidik Rossa Purbo Bekti ke institusi asalnya di Mabes Polri sesuai mekanisme yang berlaku.

“Tanggal 13 itu diterima suratnya penarikan terhadap dua penyidik, dari Kejaksaan Agung juga kita terima penarikan dua Jaksa penuntut umum. Kemudian, tanggal 15 dibahas, tanggal 21 dibuatlah surat keputusan pemberhentian yang bersangkutan (Rossa) apa yang tidak ada,” kata Firli di Kompleks DPR, Kamis (6/2).

Kendati demikian, soal Mabes Polri yang secara tegas menyatakan Rossa masih bertugas di KPK pun tak digubris Firli. Mantan Kapolda Sumatera Selatan ini mengklaim, pengembalian Rossa ke Mabes Polri sudah menjalin komunikask dengan Kapolri Jenderal Idham Azis.

“Yang jelas kita sudah melakukan komunikasi kita bersinergi,” tukas Firli.





Sumber : jawapos.com



Jakarta, SancaNews - Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja Omnibus Law di pasal 170 ayat 1 pemerintah bisa menganti UU dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP). Redaksional yang memicu polemik itu pun langsung diklarifikasi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly.

Menurut Yasonna, dalam draf RUU tersebut ada kesalahan ketik di Pasal 170 tersebut. “Iya (salah ketik) jadi ingin mungkin kesalahan,” ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/2).

Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, tidak bisa UU dibuah dengan pemerintah mengeluarkan PP ataupun Peraturan Presiden (Perpres).

“Jadi enggak bisa dong PP melawan undang-undang,” katanya.

Oleh sebab itu Yasonna mengatakan, nantinya DPR akan melakukan perbaikan dengan pemerintah pada saat rapat yang membahas tentang Omnibus Law Cipta Kerja ini.

“Nanti di DPR akan diperbaiki teknisnya,” pungkasnya.

Diketahui, Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja Omnibus Law, pada Pasal 170 ayat 1 disebutkan pemerintah‎ berhak mengubah UU melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Pasal yang dimaksud tertuang dalam Bab XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja. Dalam pasal 170 ayat (1) disebutkan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang.

Pasal 170 ayat (1) berbunyi:
“Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini”.

Pasal 170 ayat (2) berbunyi:
“Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Pasal 170 ayat (3) berbunyi:
“Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia”.




Sumber : jawapos.com

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.