Latest Post



JAKARTA, SANCANEWS.COM - Proses Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal di wilayah Pulau Harapan, Kepulauan Seribu Utara mengalami kemajuan yang positif. Pembangunan yang berada di RT 001/01 tersebut tercatat sudah hingga kini sudah capai 40 persen dan dengan ditargetkan rampung pada pertengahan Desember 2019. Kamis (31/10/2019).

Menurut Kepala Suku Dinas Sumber Daya Air (Sudin SDA) Kepulauan Seribu, Mustajab mengatakan, pekerjaan pembangunan IPAL sudah dimulai sejak 5 Agustus 2019 oleh PT Cahaya Mas Cemerlang. “Pembangunan ini untuk mengelola limbah menjadi air yang bisa digunakan penduduk. Mudah-mudahan 15 Desember mendatang sudah rampung, sehingga dapat digunakan bagi 500 unit rumah warga," ujar Mustajab.

Mustajab menjelaskan, untuk pembangunan IPAL tersebut, pihaknya menganggarkan sekitar Rp 12,9 miliar, yang berasal dari anggaran pendapatan belanja daerah atau DPA-SKPD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Sejauh ini, progres terlihat penyambungan pipa saluran ke rumah-rumah warga. Total untuk 2 RW itu sebanyak 500 unit," tuturnya.

Sementara itu, Sekertaris Kelurahan Pulau Harapan, Irfan Damanhuri menambahkan, semoga dengan adanya IPAL di Pulau Harapan, menjadi hal positif baik untuk kebutuhan warga dan wisatawan.

"Dengan adanya IPAL berati limbah rumah tangga ini, nantinya tidak langsung terbuang ke laut, tapi diolah untuk menjadi lebih bersih sehingga tidak mencemari air laut," tandasnya. (sanca/humas)




JAKARTA, SANCANEWS.COM -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) ternyata punya keinginan untuk membiarkan demonstrasi berjalan tanpa penjagaan aparat keamanan. Keinginan presiden tersebut diungkapkan Kepala Staf Presiden Moeldoko di istana, Rabu (30/10).

Moeldoko menanggapi pertanyaan wartawan tentang anggapan masyarakat bahwa pemerintah terkesan membatasi kebebasan berpendapat. "Tadi presiden mengatakan, coba sekali-sekali perlu (agar) polisi tidak perlu jaga itu demo. Ini maknanya apa? Presiden sangat peduli soal itu (kebebasan berpendapat)," jelas Moeldoko. 

Namun, makna dari 'tidak dijaga' ternyata bukan sepenuhnya tak ada aparat keamanan. Moeldoko menjelaskan, tanpa penjagaan bisa saja berarti tidak adanya kawat berduri, tetapi polisi tetap berjaga dari jauh. 

"Menjauh aja aparatnya, kita perlu coba itu. Begitu anarkis baru kita datang," kata Moeldoko. 

Pada prinsipnya, Moeldoko menyebut, ada niatan Presiden Jokowi agar pengamanan demonstrasi ke depan tidak seketat yang sudah-sudah. Moeldoko pun menanggapi positif keinginan Jokowi.

Menurutnya, ide untuk merenggangkan pengamanan demonstrasi perlu dilakukan. "Perlu kita coba, jangan kita pakai cara-cara lama. Makanya waktu di Bawaslu kemarin saya sudah meminta kepada polisi, jangan kontak langsung," kata Moeldoko. 

Kendati demikian, pihak istana belum menyampaikan keingiann Jokowi ini kepada pelaksana tugas (Plt) Kapolri Ari Dono. Pengurangan tingkat pengamanan pun, ujar Moeldoko, tetap harus didiskusikan dengan komandan lapangan. 

"Ya mungkin ada cara baru yang perlu dikembangkan," kata Moeldoko. 

Dilansir Republika.co.id sebelumnya, Moeldoko juga menanggapi opini di masyarakat yang menilai pemerintahan Jokowi mengekang kebebasan berpendapat. Mantan Panglima TNI ini memandang, penyampaian pendapat tetap diizinkan sesuai jalurnya. Presiden pun, ujar Moeldoko tak pernah mengekang penyuaraan pendapat oleh semua pihak. (sanca)




JAKARTA, SANCANEWS.COM - Pengusutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan sudah berjalan selama lebih dari dua tahun.
 
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meragukan calon Kapolri baru Komjen Idham Aziz bisa menuntaskan kasus Novel Baswedan. Dia pesimis karena sama-sama polisi.
“Kita prediksi (kasus Novel) jalan di tempat ya. Karena baik Tito maupun Idham kan bagian kepolisian,” kata Kurnia, Selasa (29/10/2019).
Sampai saat ini kasus itu belum juga terungkap siapa pelaku dan aktor intelektualnya. “Kita berpikir harus ada punishment dari presiden jika pimpinan tidak bisa selesaikan kasus ini. Jika tidak maka kasus ini akan ilang begitu saja,” terang Kurnia.
Semestinya pengungkapan kasus Novel tak butuh waktu lama hingga bertahun-tahun untuk mengusutnya. Terlebih, sejumlah bukti sejauh telah dikumpulkan Polri, baik rekaman CCTV di rumah Novel maupun keterangan saksi lainnya.
“Persoalan kasus penyiraman air keras Novel ini bukan persoalan biasa. Tinggal pihak Polri mau atau tidak membongkar kasus ini,” ujarnya
Oleh karena itu, peneliti ICW ini pun meminta Polri menyampaikan kepada publik hasil pengusutan Tim Teknis, yang dipimpin oleh Idham Aziz. Sebab hingga kini, lambat untuk terselesaikan.
Untuk diketahui, kasus penyerangan terhadap Novel ini sudah lebih dari dua tahun diusut Polri sejak di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian. Namun, hingga Tito diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), pelaku hingga aktor intelektual penyerangan tersebut belum juga terungkap.[ab]

#SANCA/ INDOPOLITIKA.COM



JAKARTA, SANCANEWS.COM - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purnawirawan) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri.


Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, Tito masih mempunyai utang mengungkap kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan. Baca juga: Jokowi Dinilai Sedang Menyelamatkan Tito Karnavian yang Gagal Ungkap Kasus Novel


"Sampai hari ini sudah hampir dua tahun enam bulan, kasus Novel tak kunjung selesai. Berbagai tim sudah dibentuk di internal polisi. Bahkan, sampai hari ini kita tidak melihat kejelasan kelanjutan dari penanganan Novel Baswedan," kata Kurnia di Kantor ICW, Senin (28/10/2019).


Selain itu, Tito juga terseret perkara perusakan barang bukti yang lazim disebut sebagai kasus buku merah.


Dalam perkara itu, Tito diduga menerima aliran dana dari pengusaha Basuki Hariman dalam kasus yang melibatkan eks Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.


Menurut Kurnia, dua kasus di atas mestinya dapat menjadi pertimbangan Jokowi sebelum menunjuk Tito sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia Maju.


"Dua isu tadi soal penyiraman air keras Novel Baswedan, kedua soal dugaan keterlibatan di buku merah, harusnya bisa dikonfirmasi presiden sebelum menilai seseorang layak atau tidak masuk kabinet," ujar Kurnia.


Tito menjadi Mendagri dalam Kabinet Indonesia Maju menggantikan Tjahjo Kumolo yang kini menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Apararur Negara-Reformasi Birokrasi. Tito pun sudah mengundurkan diri dari kepolisian.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Novel Belum Tuntas, Penunjukan Tito sebagai Mendagri Dipertanyakan"



#sanca




SEMARANG, SANCANEWS.COM  - Front Pembela Islam (FPI) Jawa Tengah tetap mengadakan musyawarah daerah di Kabupaten Tegal, meski sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) menolak pelaksanaan musda tersebut. Senin (28/10)

"Musda II FPI Jateng tetap jalan di Majlis Taklim Al Hikmah Lil Habib Baqir bin Hasan bin Syaikh Abu Bakar, Ketitang, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal," kata Ketua Bidang Hukum dan Advokasi FPI Jateng Zainal Petir di Semarang, Minggu malam.

Petir menegaskan bahwa musda tersebut dalam rangka pemilihan pengurus dan menyusun program kegiatan sehingga penting bagi FPI, apalagi ormas ini dijamin konstitusi, yakni UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28E Ayat (3), bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Menurut dia, Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengaturnya.

"Kedudukan ormas FPI sangat kuat dijamin oleh undang-undang. Jadi, apa salahnya ketika mau mengadakan program kerja musda, kok, ditolak," kata Petir yang juga anggota Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jateng.

Kehadiran FPI yang punya misi amar makruf nahi mungkar, menurut dia, mestinya disambut dengan gembira karena akan membantu masyarakat supaya tidak terjerembab ke dalam kemaksiatan.

Kalau ada ormas yang mengarah ke penyebaran paham komunis, termasuk neokomunis, wajib dilarang. Itu jelas melanggar UU No. 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan atas UU No. 17/2013 tentang Ormas.

Menyinggung soal kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, Petir mengatakan bahwa kepolisian mengamankan pelaksanaannya. Dalam hal ini Polri tidak berhak melarang ormas yang akan menggelar musda.

Ia menegaskan bahwa Polri justru harus ikut menjaga agar kegiatan tersebut berjalan lancar. Tugas polisi sebagaimana UU No. 2/2002 tentang Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban umum.

"Jadi, yang sedang musda, dalam hal ini FPI, merasa aman dan masyarakat sekitar juga nyaman," kata Zainal Petir. (Antaranews.com/sanca)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.