Benny Moerdani tiba-tiba masuk ke pesawat sambil menenteng pistol bersama Kolonel Teddy.
Ia menuju kokpit dan menyuruh Teddy untuk memeriksa panel elektronik Woyla.
Setelah dinyatakan aman dari ancaman bom yang diaktifkan melalui sirkuit pesawat, Benny Moerdani lantas mengambil mikrofon.
"This
is two zero six. Could I speak to Yoga, please?" kata Benny. Yoga
Soegomo yang berada di ruang crisis center di menara bandara pun
merespons.
"Operasi berhasil, sudah selesai semua," ujar Benny Moerdani melapor.
Operasi pembebasan tersebut berjalan sukses dan menuai apresiasi dari
dunia internasional.
Menurut biodata yang tertera di Wikipedia, TNI (Purn) AM
Hendropriyono mengawali karier militernya sebagai komandan peleton di
Kopassus
Ia kemudian menjelma sebagai seorang tokoh intelijen dan militer
Indonesia. Ia menjadi Kepala Badan Intelijen Negara pertama dan dijuluki
the master of intelligence karena menjadi "Profesor di bidang ilmu
Filsafat Intelijen" pertama di dunia.
Selama berkarir di dunia militer, AM Hendropriyono terlibat dalam sejumlah operasi yang membesarkan namanya.
Ia
pun dikenal sebagai penuntas insiden bersejarah, Peristiwa Talangsari
1989. Kala itu, Hendropriyono menindak potensi radikalisme dari Kelompok
Warsidi di Talangsari, Lampung.
Pertempuran antara tim Kopassus yang dipimpin AM Hendropriyono pun menumbangkan Kelompok Warsidi itu.
Belakangan kasus Talangsari menjadi sorotan para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebelum Peristiwa Talangsari 1989, Hendropriyono pernah melakukan
aksi heroik bertempur dengan Pasukan Gerilya Rakya Sarawak (PGRS) dan
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Awalnya, pemerintah Soekarno sengaja membentuk pasukan gerilya saat konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1963-1966.
Kedua pasukan itu dilatih secara khusus oleh TNI di Surabaya, Bandung, dan Bogor.
Namun, ketika kekuasaan Indonesia berpindah tangan pada Soeharto, anak asuh TNI itu justru berbalik menjadi musuh.
Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia. Kemudian pasukan
gerilya itu diminta untuk menurunkan senjata. Tapi, rupanya mereka
mengabaikan permintaan itu. Mau tak mau, pihak TNI pun harus menertibkan
aksi para gerilyawan itu.
Akhirnya, AM Hendropiyono bersama prajurit dari tim Sandi Yudha turun tangan bertempur di hutan rimba kawasan Kalimantan.
Sandi Yudha ini merupakan satuan intelijen tempur milik pasukan elite yang kini bernama Kopassus.
Awalnya, AM Hendropriyono berusaha keras untuk mengambil hati lawan
tanpa tindakan keras. Tim Sandi Yudha ini beberapa kali berhasil mencuri
simpati mereka. Satu di antaranya, dengan Wong Kee Chok, komandan PGRS.
Namun, tak semua bisa diselesaikan secara baik-baik.
Pada akhirnya, tim Sandi Yudha memutuskan opsi terakhir, yakni
menggunakan tindakan keras. Mulai dari penculikan dan interogasi, hingga
melakukan perlawanan.
Perlawanan yang membekas diingatan AM Hendropriyono, yakni berduel dengan Hassan, yang juga komandan PGRS.
3. Prabowo Subianto
|
Prabowo Subianto dalam HUT ke-67 Kopassus |
Selepas lulus dari Akademi Militer di Magelang pada tahun 1974
sebagai seorang letnan dua, Prabowo Subianto menjadi komandan operasi
termuda dalam sejarah Angkatan Darat saat memimpin operasi Tim Nanggala
di Timor Timur.
Kariernya melejit setelah menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen Penanggulangan Teror di Kopassus pada tahun 1983.
Pada tahun 1996, Prabowo diangkat sebagai sebagai Komandan Jenderal pada Korps Baret Merah tersebut.
Saat menjabat, ia memimpin operasi pembebasan sandera di Mapenduma.
Dilansir dari buku 'Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapenduma',
kejadian ini berawal saat 26 orang peneliti yang tergabung dalam tim
Ekspedisi Lorentz 95 tiba-tiba disandera oleh kelompok separatis
tersebut.
Bahkan, saat itu Kopassus dan Kostrad terus memburu KKB Papua yang membawa 26 sandera selama 130 hari atau lima bulan.
Terkait penyanderaan Tim Lorentz ’96 dan bagaimana mereka
diselamatkan, kisah ini juga pernah diulas secara khusus oleh majalah
Intisari.
Penelitian tim Ekspedisi Lorentz 95 dilakukan antara bulan November
1995 dan Januari 1996. Tidak ada gangguan berarti yang dialami tim
selama menjalankan misinya.
Tim ekpedisi ini juga sudah tahu jika di sana terdapat KKB Papua yang
didalangi oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik
Tanggal 8 Januari menjelang hari-hari kepulangan ke Jakarta, mereka
berkumpul di rumah kayu milik Pendeta Adriaan van der Bijl asal Belanda
yang sudah menetap di sana sejak tahun 1963.
Hari itu sang pemilik rumah sedang pergi, berkeliling ke daerah Mbua
dan ALama untuk menyusun kegiatan misionaris bersama istrinya.
Tiba-tiba, datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan orang
berpakaian perang, lengkap dengan tombak.
Tak hanya itu, salah satu dari mereka, diduga sebagai komandan,
membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali
ditembakkan ke udara.
Mereka lalu mendobrak mendobrak pintu yang dikunci, memaksa masuk,
menyerang, menyandera tim, dan akhirnya membawa seluruh tim peneliti ke
hutan pedalaman.
Berita penyanderaan Tim Lorentz mulai beredar di media massa dan menjadi berita besar hingga ke Jakarta bahkan dunia.
Pemerintah Indonesia segera meminta ABRI (TNI) melakukan
penyelamatan. Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo
Subianto) diputuskan memimpin misi penyelamatan.
Beberapa satuan TNI
lainnya seperti pasukan Kostrad juga dilibatkan dalam misi penyelamatan
ini.
Sekitar lima bulan berlalu, misi pembebasan Tim Lorentz yang
disandera oleh KKB Papua pimpinan Kelly Kwalik belum juga membuahkan
hasil.
Pasukan yang dibawa Kelly Kwalik mula-mula berjumlah 50 orang,
kemudian terus bertambah hingga menjadi 100 orang. Para OPM terus
bersembunyi dan berpindah-pindah tempat sambil mengirimkan beberapa
pesan tuntutan mereka kepada Pemerintah RI.
Tanggal 7 Mei 1996, satu kompi pasukan batalyon Linud 330/Kostrad di
bawah pimpinan Kapten Inf Agus Rochim ikut dikirim ke Timika untuk
menambah kekuatan.
Setelah berbagai upaya dilakukan, Tim Kopassus dan Kostrad berhasil
menuntaskan misinya pada tanggal 9 Mei 1996. Tim gabungan itu
menyelamatkan para sandera kecuali 2 orang, yaitu Navy dan Matheis yang
gugur di tangan para OPM.
4. Doni Monardo
|
Doni Monardo (kanan) saat menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi |
Doni Monardo, yang menjadi prajurit Kopassus saat pertama kali
bertugas di TNI, pernah memimpin operasi penyelamatan sandera oleh
perompak Somalia tahun 2011 silam.
Kala itu tiga pasukan elite TNI dari tiga matra yakni Angkatan Darat,
Udara, dan Laut bergabung dalam operasi pembebasan sandera tersebut.
Peristiwa pembajakan itu terjadi pada 16 Maret 2011. Kapal MV Sinar
Kudus yang bermuatan ferro nikel dan dioperasikan PT Samudera Indonesia
berlayar dari Sulawesi menuju Rotterdam, Belanda.
Di perairan Laut Arab, perompak Somalia membajak Kapal MV Sinar Kudus.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian meminta agar
dilakukan langkah untuk melindungi WNI yang disandera dan membebaskan MV
Sinar Kudus melalui berbagai opsi.
Dalam pembebasan itu, dibentuklah Satgas Merah Putih.
Satuan tugas militer ini dibentuk untuk menyelamatkan awak kapal MV Sinar Kudus yang dibajak perompak, secara militer.
Personel yang dikerahkan terdiri atas pasukan khusus dari Kopassus
(Satuan 81/Penanggulangan Teror), Korps Marinir (Denjaka), dan Kopaska.
Dalam operasi itu, peran Doni Monardo pun tak bisa diabaikan.
Doni yang saat itu menjabat Wakil Komando Satuan Tugas untuk
pembebasan kapal MV Sinar Kudus, mendapat penghargaan kenaikan pangkat
satu tingkat.
Saat ini berpangkat Letnan Jenderal TNI, terhitung 9 Januari 2019
mengemban amanat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
(Dkn).