Latest Post

Ilustrasi
KENDARI -- Bupati Buton Selatan (Busel) nonaktif, Agus Feisal Hidayat, divonis 8 tahun penjara dan dicabut hak politiknya selama 2 tahun pasca menjalani hukuman.

Amar Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Haki, Khusnul Khotimah di Pengadilan Negeri Kendari Kelas I A, Rabu (20/2/2019).

Selain hukuman bui 8 tahun, Agus juga dipastikan tak akan mendapatkan remisi. Sebab, dalam kasus ini, ia bukan sebagai justice collaborator.

Kemudian Agus juga dihukum membayar denda Rp700 juta. Bila tidak membayarnya, ia akan mendapatkan tambahan kurungan 6 bulan penjara.

Tidak hanya itu, Agus juga dikenai pasal tambahan uang pengganti Rp378 juta dan pencabutan hak politik selama dua tahun. Vonis yang diterima Agus ini, dua tahun lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK selama 10 tahun penjara dan pidana tambahan uang pengganti Rp578 juta subsider 2 tahun penjara.

Menurut majelis hakim, Agus terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi berupa menerima suap berbentuk fee proyek dari pengusaha Tony Kongres alias Achucu dan Simon Liong alias Chencen dengan nilai total Rp578 juta.

Agus divonis melanggar pasal 12 Huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001. Serta, pasal 17 dan 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang uang pengganti.

Usai sidang, Agus disambut tangis dan pekikan takbir keluarga. Salah satunya adalah sang ayah, LM Sjafei Kahar, yang juga mantan Bupati Buton.

Mata Sjafei tampak berkaca-kaca. Tak terkecuali pula putri Agus, berinisial L. Ia menangis sejadi-jadinya saat memeluk ayahnya yang hendak dibawa ke mobil tahanan.

Kepada wartawan, Agus tak banyak memberikan komentar ihwal putusan majelis hakim tersebut. "Nanti dilihat," singkatnya sembari berlalu.

Sementara itu, kuasa hukum Agus, La Ode Abdullah, menolak memberikan pernyataan. Ia malah mengarahkan awak media untuk bertanya ke Agus.

"Jangan tanya sama saya. Sudah putus itu kayaknya. Mereka akan pikir-pikir dulu," katanya singkat.

Jaksa Penuntut Umum KPK, Eva Yustisiana mengaku masih akan pikir-pikir untuk mengajukan banding atas putusan majelis hakim ini. Bagi KPK, berdasarkan pertimbangan hukum, majelis hakim telah menerima sebagian besar tuntutan mereka.

"Cuman pengurangan hukuman dan pengurangan hak politik saja (diturunkan)," katanya.
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 23 Mei 2018 terhadap Agus dan pengusaha Tony serta Simon terkait dugaan suap fee proyek di Pemkab Busel. Dari OTT itu, KPK menyita Rp400 juta. (bt)

Ilustrasi
TEGAL -- Selasa (19/2) siang, Polres Tegal Kota menangkap Senari (60) dan Sukosoh (50) terduga pelaku pemalsuan uang. Senari diringkus polisi saat berada di Pasar Pagi, Kota Tegal.

Dari tangan pelaku, polisi berhasil mengamankan uang palsu pecahan Rp 100 ribu sebanyak 16 lembar, uang asli Rp 1,2 juta, pecahan uang Rp 50 ribu 7 lembar, pecahan Rp 20 ribu 20 lembar, pecahan Rp 10 ribu 36 lembar dan pecahan Rp 5 ribu 6 lembar. Dan satu buah handphone.

Kapolresta Tegal AKBP Siti Rondhijah mengatakan, pengungkapan kasus upal berawal dari laporan warga kepada polisi yang melakukan patroli. "Pelaku (Senari) ketika itu sedang berada di sekitar Pasar Pagi," katanya, Kamis (21/2).

Saat Senari digeledah, polisi mendapati uang Rp 1,6 juta dengan uang palsu pecahan Rp 100 ribu. Ia pun lantas diamankan ke Satuan Reskrim.

Dalam melakukan aksinya, warga Desa Kaliwungu, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal itu menggunakan modus menukar atau membeli di pasar dengan upal. Ada sebanyak 100 lembar upal yang ia gunakan.

"Dari keterangan pelaku, kita kemudian lakukan pengembangan. Dan mengamankan pelaku lainnya (Sukosah)," jelas Rondhijah.

Sukosah diduga sebagai penjual upal kepada Senari. Diketahui Sukosah beralamatkan di Desa Sidomaju, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang.

Polisi saat masih memburu satu pelaku lainnya. Atas kasus ini, pelaku akan dikenakan pasal 36 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara. (kpr)

Eni Maulani Saragih. (Foto: Istimewa)
JAKARTA -- Selasa (19/2), Mantan wakil ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih membacakan nota pembelaan atau pleidoi pribadi terkait tuntutan terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
 
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut delapan tahun penjara serta denda sebesar Rp 300 juta subsidair empat bulan kurungan, selain itu Eni juga dituntut untuk dijatuhkan  pidana berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa Eni Maulani Saragih selesai menjalani pidana pokok.
 
Dalam pleidoinya, Eni menyebut dirinya bukan pelaku utama dalam perkara korupsi yang ia hadapi. Eni menegaskan keterlibatannya hanya karena menjalankan perintah pimpinan partai.
 
"Keteribatan saya dalam proyek PLTU Riau 1 bukanlah sebagai pelaku utama. Tetapi, semata karena saya petugas partai yang mendapat penugasan dari pimpinan partai," kata Eni saat membacakan pleidoi di hadapan majelis hakim, Selasa (19/2).
 
Diketahui, saat itu pimpinan partai berlambang pohon beringin itu masih Setya Novanto. Eni menuturkan, Novanto yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua DPR RI. Eni diminta untuk membantu pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dalam mendapatkan proyek PLTU Riau 1 karena saat itu ia berada di Komisi VII DPR RI yang menanungi urusan energi.
Masih dalam nota pembelaannya, Eni juga meminta maaf kepada masyarakat di Jawa Timur. Khususnya, Eni meminta maaf kepada warga di daerah pemilihannya di Dapil X yang meliputi Gresik dan Lamongan.
 
"Beribu kata maaf saya lontarkan kepada masyarakat, khususnya kepada warga yang menaruh harapan pada saya saat saya menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019," tutur Eni.
 
Dalam pleidoinya, Eni juga meminta maaf kepada masyarakat di Temanggung. Eni mengakui menggunakan uang yang dia terima dari pengusaha untuk keperluan suaminya mengikuti pemilihan bupati di Temanggung.
 
Selain itu, Eni juga mengaku amat menyesali perbuatannya. Bahkan, tuntutan 8 tahun yang dilayangkan Jaksa KPK pun langsung menghantui dirinya, lantaran terlibat kasus PLTU Riau-1 ini, Eni harus berpisah dari keluarga.
 
"Saya terkaget oleh tuntutan 8 tahun yang dibacakan jaksa penuntut umum pada 6 Februari 2019 melihat Anak saya menangis di ruangan sidang ini, itu yang saya rasa paling menyedihkan hati saya pada saat itu," ungkap Eni.
 
"Saya menyesal apa yang terjadi pada diri saya saya bertobat," tambah dia.
 
Eni pun mengaku bahwa ia menerima konsekuensi atas perbuatannya, "tapi saya mohon keadilan hukuman yang saya jalani kepada majelis hakim yang mulia membaca tuntutan yang menolak justice collaborator saya untuk diri saya," tuturnya.
 
Menanggapi pleidoi Eni, Jaksa KPK menegaskan masih tetap pada tuntutan mereka. Sementara Majelis Hakim memutuskan untuk menunda sidang dan akan melanjutkan persidangan pada Jumat (1/3) pekan depan dengan agenda pembacaan putusan.
 
Dalam tuntutannya, Jaksa KPK meyakini Eni Saragih bersalah karena menerima uang suap sebesar Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1. Selain itu, Eni juga diyakini telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha.
 
Dalam tuntutan, uang yang diterima Eni tersebut agar membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
 
Menurut jaksa, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
 
Selain itu, Eni juga dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura. Sebagian besar uang tersebut diberikan oleh pengusaha di bidang minyak dan gas. Menurut jaksa, sebagian uang tersebut digunakan Eni untuk membiayai kegiatan partai. Selain itu, untuk membiayai keperluan suaminya yang mengikuti pemilihan bupati di Temanggung. (rep)

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo. (Foto: Istimewa)
"Keluarga kami adalah keluarga yang majemuk dan memegang kuat Pancasila yang terdiri atas berbagai agama. Mustahil Prabowo Subianto mau mendirikan negara khilafah"

JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo menegaskan kembali bahwa Prabowo Subianto merupakan sosok yang sangat memegang kuat nilai-nilai yang terkandung di Pancasila. Prabowo menghabiskan lebih dari separuh usianya sebagai prajurit.

Pernyataan Hashim ini sekaligus menjawab fitnah yang ditujukan kepada Prabowo di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden 2019. Ada anggapan kedekatan Prabowo dengan kelompok Islam yang mendukungnya maju sebagai capres pilihan umat sebagai pintu masuk berdirinya negara khilafah.

Menurut dia, tidak mungkin calon presiden nomor urut 02 itu meninggalkan Pancasila apalagi mendirikan negara khilafah.

"Keluarga kami adalah keluarga yang majemuk dan memegang kuat Pancasila yang terdiri atas berbagai agama. Mustahil Prabowo Subianto mau mendirikan negara khilafah," ujar Hashim Djojohadikusumo saat berpidato di acara Pengukuhan Pengurus Gerindra Daerah Kalimantan Barat, Pontianak, Rabu 20 Februari 2019.

Hashim menjelaskan, kedekatan Prabowo dengan segala komponen anak bangsa ini adalah bertujuan untuk merangkul semua suku, agama, golongan, dan ras dalam upaya memperkuat nilai NKRI dan Pancasila.

"Karena, kesenjangan sosial, ketidakadilan didalam masyarakat bisa digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menghasut terjadinya disintegrasi bangsa. Membenturkan yang kaya dan miskin," tutur adik kandung Prabowo tersebut.

Hashim juga kembali menegaskan Pancasila tidak hanya menyangkut kepercayaan seperti yang termaktub di Sila Pertama saja. Terdapat pula empat sila lainnya yang saling berkaitan dan sudah menjadi cita-cita luhur pendiri bangsa. (sn)

Ma'ruf Amin. (Foto: Istimewa)
MAKASSAR -- Calon wakil presiden RI nomor urut 1, Ma'ruf Amin mengatakan bahwa generasi milenial harus menyiapkan diri sebagai estafet perjuangan pembangunan bangsa.

"Saudara-saudara harus menyiapkan diri sebagai estafet perjuangan," kata Ma'ruf saat menemui Komunitas Milenial Ma'ruf Amin for Indonesia (KAMI Indonesia) di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu malam. 

Lanjut Ma'ruf menyampaikan, dirinya senang kaum milenial pendukung Jokowi dan dirinya selama ini ikut memberikan bantuan pemikiran dan ikut bergabung dalam rangka pembangunan nasional.  Karena menurutnya, millenial tidak hanya sekadar menyumbangkan suara, tapi juga pemikiran-pemikiran.

"Milenial tidak hanya menyumbangkan suara tapi juga pemikiran-pemikirannya," jelas Ma'ruf.

Dia pun menekankan Presiden Jokowi sering mengatakan pemerintah ingin menyiapkan generasi muda yang memiliki kemampuan yang andal dan mempunyai fighting spirit. 

Ma'ruf mengatakan saat ini Indonesia tengah menuju generasi 4.0. Dia berkelakar bahwa dirinya dapat dikatakan sebagai generasi 7.0, karena sudah berusia kepala tujuh, sebagai generasi yang bertugas menyiapkan segala sesuatunya bagi generasi mendatang. 

Ma'ruf mengatakan generasi muda harus disiapkan agar memiliki daya saing dan semangat tinggi serta kompetensi. 

Dan dia pun meminta agar generasi milenial tidak terpengaruh untuk ikut menyebarkan hoaks. (ant)

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.