Articles by "Opini"

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan


 

Oleh : Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI

KETAKUTAN berjuang dengan segala resikonya, itu yang membuat kedzoliman semakin digdaya. Sikap kritis akan terkikis, perlawanan akan menimbulkan korban. Begitulah cara penguasa dan pengusaha durjana, membentuk mental dan pikiran rakyat, sehingga mewujud keabadian penjajahan.

 

Masih ada sedikit yang memiliki nurani, eling pada moralitas dan bersandar pada nilai-nilai Ketuhanan.   Namun jauh lebih banyak yang berperilaku barbar, primitif dan brutal. Kemanusiaan diinjak-injak, rakyat jelata begitu rendah dan tak berharga. Betapa harta, jabatan dan kekuasaan begitu dihormati dan dimuliakan meski keringat, darah dan nyawa orang-orang tak berdosa menjadi alat tukar untuk meraihnya.

 

Sebuah negara bangsa yang penuh kepalsuan, manipulasi dan kriminalisasi. Kekayaan menjadi cita-cita bersama, namun hanya segelintir yang berhak mendapatkannya. Amanah kepemimpinan telah mewujud alat penjajahan, menindas rakyatnya sendiri. Semakin berkuasa semakin kuat, semakin banyak yang teraniaya dan menderita. Minoritas itu telah menjadi tirani atas mayoritas, tampil seolah-olah terdzolimi menjual identitas suku, ras, agama dan golongan. Padahal yang sedikit itulah faktanya imperium dan kolonialis yang mengelabui republik dengan penguasaan demokrasi dan konstitusi.

 

Tangis, jeritan dan histeria masyarakat tak ada lagi tempat berlindung. Kemiskinan dan kebodohan telah menjadi penjara dunia paling aman sekaligus paling mengerikan dari serbuan manusia-manusia buas yang berseragam sembari menyandang keagungan sosial. Tak ada lagi pemimpin, aparat dan institusi negara. Sulit sekali mencari pemerintah dan ulama yang sebenarnya. yang mudah ditemui hanya Tuan dan Budak. Hanya ada hamba sahaya penurut dan loyal yang hidup mesra melayani majikan yang kesetanan.

 

NKRI, Pancasila dan UUD 1945 perlahan dan sayup-sayup merintih menjemput kematiannya. Slogan dan simbol-simbolnya beranjak punah tergantikan oleh berhala kapitalisme dan komunisme yang membonceng materialisme. Masyarakat religuis mulai beradaptasi dengan gaya hidup dan modernisme. Ahlak semakin rusak, perilaku bejat dianggap hebat. Kini, negara bangsa ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah wadah yang tak ada ruang bagi kemakmuran dan keadilan. Kebenaran tersingkir dan kejahatan telah memimpin. Kebiadaban sebuah republik, begitulah yang pantas melukiskannya. (*).


 

Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tentu ini bukan hubungan Islam dengan Kristen, Budha, Konghucu atau lainnya. PIK 2 ternyata memiliki problema yang bersifat multi dimensional baik ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, keamanan serta agama. Yang terakhir ini menarik terkait dengan adanya Keputusan lembaga keagamaan yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang antara lain menyatakan :

 

"MUI meminta kepada pemerintah untuk mencabut status Program Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) karena banyak mendatangkan kemudharatan bagi masyarakat dan tidak sesuai dengan peraruran perundang-undangan".

 

Keputusan MUI tanggal 19 Desember 2024 ini bernomor : Kep-84/DP-MUI/XII/2024 tentang Taujihat Mukernas IV Tahun 2024 : Pesan MUI Untuk Para Pimpinan Nasional dan Kepala Daerah. Ditandatangani oleh Ketum dan Sekjen Dewan Pimpinan MUI KH.M Anwar Iskandar dan H. Amirsyah Tambunan.

 

Dua alasan utama MUI mendesak agar pemerintah mencabut status PSN PIK 2 adalah "mendatangkan kemudharatan" dan "tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Kedua hal ini sangat mendasar dan sangat penting sebagai bahan  pertimbangan agar pemerintah segera mencabut status PSN atas PIK-2.

 

Menurut kaidah fiqih, mencegah kemudharatan harus didahulukan daripada mendapatkan kemashlahatan "dar-ul mafaasid awlaa min jalbil mashoolih" karenanya MUI memandang berdasar aspek keagamaan bahwa penetapan status PSN untuk PIK 2 adalah mudharat artinya harus ditinggalkan meski proyek tersebut ada manfaatnya.

 

Kemudharatan ekonomi yakni menyengsarakan rakyat setempat. PSN menguntungkan pengusaha, calo tanah dan aparat, serta merugikan rakyat yang terpaksa tergusur. Berefek pada kesenjangan sosial dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pemerataan kesejahteraan hanya ilusi dan basa-basi. Faktanya rakyat tetap melarat bahkan sekarat. PSN untuk PIK 2 adalah kebijakan jahat dan tipu-tipu kaum konglomerat.

 

Kenurut agama bertransaksi itu tidak boleh zalim atau berlaku tidak adil (zulm), curang (gharar), merugikan (dharar), spekulatif (maysir), untung berlipat-lipat (riba) dan penipuan terencana (tadlis). Demikian juga dengan menyembunyikan informasi (ghalat), ancaman (tahdid) dan suap menyuap (risywah). Pada kasus PSN PIK 2 banyak sekali transaksi yang menyentuh sisi-sisi haram menurut agama.

 

Dari aspek ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan, maka PSN PIK 2 yang bersandar pada Permenko No 6 tahun 2024 merupakan penyelundupan hukum, bertentangan dengan PP No 42 tahun 2021 serta menyesatkan UU No 11 tahun 2020. Jika ditarik ke aturan Konstitusi khususnya menyangkut kesetaraan hukum, HAM dan fungsionalisasi bumi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka nyata-nyata aturan Konstuitusi itu telah dilanggar oleh pemerintah dan pengusaha yang rakus.

 

Dengan Keputusan MUI maka perjuangan keagamaan untuk melawan kongkalikong  penguasa dan pengusaha dalam kasus PIK 2 menjadi semakin jelas. Perjuangan melawan kezaliman dan kejahatan atas perampasan tanah-tanah rakyat adalah Jihad Fie Sabilillah.

 

Rakyat Banten yang relijius patut belajar dari Sultan Ageng Tirtayasa dan para pejuang terdahulu yang gigih mempertahankan tanah tumpah darahnya. Bertarung melawan segala bentuk penjajahan dengan api iman yang terus membara. Perjuangan atas kesewenangan PIK 2 merupakan perjuangan keagamaan. MUI telah memberi pedoman. (*)



 

Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Telah lama muncul desakan Jokowi untuk mundur dari jabatan Presiden, kemudian DPR/MPR dituntut memakzulkan berdasar Pasal 7 A UUD 1945 namun hingga akhir jabatan 20 Oktober 2024 hal itu tidak terealisasi. Di sisi lain kasus-kasus Jokowi terus diangkat  bahkan melalui jalur hukum. Namun sepanjang Jokowi masih Presiden, semua bisa diatasi. Kekuasaan mampu mengendalikan hukum.

 

Upaya menghukum Jokowi atas dosa politik yang bertumpuk terus membentur. Nepotisme  telah diadukan ke Bareskrim, ijazah palsu berkali-kali di Pengadilan, KM 50 ditagih sebagai hutang, IKN simbol kesewenangan dan pemborosan, Rempang dilawan karena menggadai kedaulatan kepada RRC, PIK 1 dan PIK 2 Jokowi dan Pengusasaha jahat merampas tanah rakyat, dan masih banyak kasus Jokowi sang Presiden yang tidak bermutu dan pantas ditangkap lalu diadili.

 

Setelah tidak menjabat, Jokowi terus ingin mempertahankan pengaruh dan mencari perlindungan. Untuk pengaruh ia pegang Prabowo "Singa Sirkus" nya dan titip "anak Samsul" nya. Berbagai Kepala Daerah juga hasil cawe-cawe. Ada jalur partai politik, konglomerat, aparat dan birokrat, ada pula jalur hukum. Semua menjadi jaringan bagi pengaruhnya.

 

Sementara serangan untuk menangkap dan mengadili Jokowi juga gencar. Ia harus berlindung. Tiga otoritas dijadikan tempat berlindung di samping awalnya adalah PDIP partai yang membesarkan. Ketiganya yaitu konglomerasi 9 Naga peliharaan dan ATM nya, Presiden Prabowo produk politiknya dan Kapolri-Jaksa Agung sebagai mesin hukumnya.

 

Penghukuman dimulai dengan pemecatan Jokowi dari keanggotaan PDIP SK No. 1649 untuk Jokowi, No.1650 untuk Gibran dan 1651 bagi Bobby Nasution. Pemecatan resmi ini melegitimasi permusuhan Megawati dengan Jokowi. Meski dinilai terlambat tetapi lumayan juga sebagai awal dari penghukuman.

 

Berikut yang potensial adalah mundurnya Naga dari kebersamaan. Berpindah majikan. PIK 2 menjadi titik rawan dan IKN yang akan belepotan. Jika Prabowo berani segera mengganti Kapolri dan Jaksa Agung, maka penghukuman Jokowi akan berlanjut.

 

Bukan hal mustahil peristiwa tumbang dan larinya Assad terjadi pula pada Jokowi yang harus berlari-lari menghindari kejaran rakyat yang marah kepadanya. Prabowo pun tidak bisa berlama-lama untuk melindunginya. Jokowi adalah penjahat dan perusak negara. (*).



 

Oleh : Syafril Sjofyan | Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI

AKHIRNYA palu Godam pemecatan Joko Widodo sekeluarga dari keanggotaan partai secara formal diumumkan oleh PDI Perjuangan. Walaupun telat. Apa fatsal. Karena baik sewaktu Pilpres & Pileg 2024 awal maupun sewaktu proses Pilkada yang baru ini berlangsung, Jokowi sekeluarga telah berseberangan dengan PDIP yang selama ini menaungi mereka. Bukan saja berseberangan Jokowi sekeluarga bersama antek-anteknya berusaha menghancurkan basis historis partainya tersebut.

 

Atas kelakuannya tersebut jangankan meminta maaf, sekadar ucapan berterima kasih pun tidak diucapkan oleh Jokowi. Padahal jika tidak diusung dan dicalonkan jadi Presiden oleh PDIP. Jokowi bukanlah siapa-siapa, bahkan seumur-umur Jokowi hanya akan menjadi tukang kayu.

 

Pada umumnya, pemecatan seorang anggota partai seperti Jokowi bisa terjadi karena perbedaan pandangan atau kebijakan antara individu tersebut dengan partai. Namun pemecatan Jokowi sekeluarga dipastikan bukan perbedaan, akan tetapi berupa kejahatan Jokowi tanpa moral karena ambisi kekuasaannya semata.

 

Jokowi bukan seorang Pancasilais dengan penekanan kekuasaan pada moral & etika. Jokowi seorang  Machiavelis, yang menekankan bahwa penguasa harus pragmatis, dan menggunakan cara apa pun untuk meraih serta mempertahankan kekuasaan.

 

Fakta bagaimana Jokowi merekayasa untuk memperpanjang kekuasaannya menjadi 3 periode melalui ketua-ketua partai yang sudah berhasil “disandera”.  Ditolak keras oleh masyarakat sipil dan oleh partainya PDI-P. Begitu juga keinginannya untuk memperpanjang masa jabatan presiden 2 tahun itupun digagalkan.

 

Kemudian Jokowi secara jahat. Melalui tindakan Nepotisme dengan adik iparnya yang jadi ketua MK melakukan pelanggaran etika berat merubah UU Pemilu sehingga meloloskan anaknya  Gibran yang belum cukup umur menjadi calon wakil presiden.

 

Jokowi dengan para begundalnya melakukan pembegalan Parpol. Partai Demokrat “dibegal” namun gagal, tetapi SBY sebagai pemilik partai berhasil “dijinakan”. PPP “berhasil” dibegal, kemudian partai tersebut redup. Kemudian partai Golkar juga “berhasil” dibegal. Menjadikan orang “kepercayaannya” menjadi Ketua Umum tanpa melalui Munas yang seharusnya. PAN berhasil “dipecah” pendiri partainya Amien Rais disingkirkan, dan besannya menjadi Ketua Umum partai “dihadiahkan” jabatan Menteri, sampai sekarang menjadi “pendukung setia” Jokowi.

 

Secara singkat. Mari kita selisik kemunculan Jokowi menjadi Presiden. Patut dicatat tanpa dukungan PDI-P Jokowi bukanlah siapa-siapa. Jokowi sebagai Wali Kota Solo (2005-2012), pertama kali maju sebagai calon Wali Kota Solo melalui dukungan PDI-P. Popularitasnya diangkat sebagai pengusaha dan figur yang dekat dengan rakyat (wong cilik). 

 

Kemudian Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) diusung oleh PDI-P dan didukung oleh Partai Gerindra untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dengan pencitraan mobil nasional ESEMKA yang disiarkan secara luas oleh media mainstream.

 

Konon cerita lain PDI-P mencalonkan Jokowi sebagai Presiden (2014) akibat desakan beberapa tokoh/ pemilik media mainstream. Para tokoh tersebut “mendatangi kediaman” Megawati dan “mendesak” agar Megawati tidak mencalonkan diri jadi Capres pada Pilpres 2014. Ketika itu Megawati “masih berkeinginan” untuk maju karena baru 2 tahun menjadi Presiden setelah Gusdur.

 

Para tokoh media tersebut “merayu” Megawati bahwa dia akan kalah melawan Prabowo lebih baik mencalonkan Jokowi. Mereka bersama oligarki ekonomi “mendukung”  Jokowi. Oligarki ekonomi “punya kepentingan” karena Jokowi “dipandang gampang diatur”. Jokowi bukanlah  pemilik/ pengurus partai.

 

Mereka menggerakan para buzzer dan influencer untuk “memojokan” Megawati dan “memuji” elektabilitas Jokowi. Konon setelah itu Megawati dan alm. suaminya Taufik Kiemas “menyerah” tentu dengan “berat hati” mencalonkan Jokowi menjadi capres pada pileg 2014.

 

Hal ini yang menjelaskan kenapa Jokowi yang sudah menjadi Presiden tidak pernah diberi jabatan di Partai. Padahal didaerah jika ada yang berhasil jadi Walikota/Bupati atau Gubernur di beri jabatan pada kepengurusan partai.

 

Kemudian PDI-P kembali mendukung Jokowi sebagai calon presiden untuk Periode Kedua 2019-2024 PDI-P karena rekayasa dukungan melalui pencitraan media yang luar biasa, dianggap sebagai langkah strategis untuk memanfaatkan "coattail effect" atau efek ekor jas dari popularitas Jokowi, bagi PDI-P.

 

Sayangnya PDI-P “tidak belajar” bahwa data menunjukan selama proses mendukung Jokowi sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI, maupun Presiden periode pertama tidak mendapatkan manfaat  "coattail effect" yang signifikan dari Jokowi. Selama  4 kali pileg 2004, 2009, 2014, 2019, PDI-P stag memperoleh kursi di DPR antara 19 – 21 %, tanpa ada kenaikan yang berarti.

 

Begitu juga dukungan PDI-P terhadap putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi Walkota Solo karena dia putra sulung Presiden Joko Widodo dan merupakan kader PDI-P dan Bobby Nasution didukung karena dia menantu Presiden Jokowi sebagai Wali Kota Medan yang juga kader PDI-P. Pada hal pada hasil pileg tidak menaikan keterpilihan partainya di DPRD secara signifikan di kota tersebut.

 

Kota Solo adalah salah satu basis tradisional PDI-P dan memiliki nilai historis bagi partai PDI-P, dengan semula mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wali Kota Solo pada Pilkada 2020, PDI-P ingin memastikan kontrol politik tetap di tangan mereka. Tetapi pada Pilkada 2024 basis mereka direbut oleh Jokowi termasuk Jawa Tengah.

 

Kota Medan adalah salah satu kota penting di Pulau Sumatera, tetapi secara tradisional bukan basis kuat PDI-P dengan mencalonkan Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan, PDI-P melihat peluang untuk memperluas pengaruh politik di Sumatera Utara. Sama seperti mertuanya Bobby menelikung partainya, pindah partai. Sekarang di Sumut PDI-P “pupus harapan”, ulah pengkhianatan kadernya sang menantu Jokowi.

 

Dukungan PDI-P terhadap Gibran dan  Bobby pada awalnya untuk menjadi walikota didasarkan pada popularitas Jokowi sebagai Presiden. Strategi mempertahankan basis elektoral, serta perluasan pengaruh politik PDI-P di daerah strategis. Bagaikan membesarkan anak macan satu persatu keluarga Jokowi membelot dan berkhianat. merekalah kemudian menerkam dan menghancurkan basis dan harapan PDI-P.

 

Dari kajian tersebut betapa Jokowi sekeluarga menerapkan tujuan menghalalkan segala cara. Prinsip dasar dalam Machiavelisme bahwa tindakan seorang pemimpin harus dinilai berdasarkan hasil akhirnya, bukan berdasarkan moralitas atau etika.  Jika tindakan "jahat" seperti kekerasan, tipu daya, atau manipulasi diperlukan untuk meraih kekuasaan, maka tindakan tersebut dibenarkan selama tujuan akhirnya adalah mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

 

Jelas nya. PDI-P dengan ”keberanian” memecat Jokowi sekeluarga. Kini masih mempunyai  hutang moral kepada rakyat Indonesia. Kader mbalelo telah merusak moral Pancasila. PDI-P berkewajiban menuntaskan sampai ke akar-akarnya. Agar cara-cara meraih kekuasaan ala machiavelisme tidak terulang lagi bagi generasi mendatang.

 

Jokowi harus diadili. Gibran  yang terkait dugaan money laundring yang di tuntut oleh  Ubaidillah Badrun seorang akademisi di KPK. Harus didukung dan didesak untuk diusut sampai kepengadilan. Serta kelahiran Gibran sebagai calon wapres melalui kejahatan konstitusi di MK serta perbuatan tindakan tercela tidak bermoral melalui akun Fufufafa, harus segera di makzulkan. Begitu juga dugaan KKN Bobby Nasution di pertambangan dan penggunaan jetpri kolabotasi dengan pengusaha. Harus diusut tuntas. (*)



 

Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan 

Beredar viral video Said Didu dan rekan-rekannya di PIK 2 dengan latar belakang laut yang dipagar. Menurut Didu panjang pagar itu 23,3 KM dan jarak dari bibir pantai 1 hingga 2 KM. Konon 9 lembaga termasuk TNI bungkam dengan pemagaran laut ini. Sinyalemen bahwa ada Negara dalam Negara semakin terbukti. Inikah benteng yang merujuk pada Great Wall of China?

 

Di dalam Kota Beijing ada Forbidden City atau Kota Terlarang. Area tertutup Kekaisaran China. Benteng raksasa itu dibuat untuk melindungi serangan kaum barbar, fungsi imigrasi dan perdagangan. Benteng Changcheng menjadi simbol dari kedaulatan China yang tidak bisa diganggu.

 

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda dibuat benteng di Tangerang Banten untuk menahan serangan dari pasukan Sultan Banten. Warga etnis Cina mendapat perlindungan dan berada di dalam benteng tersebut. Di kemudian hari mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Sisa-sisa keturunan dan situsnya kini masih terlihat. Setelah bentrok dan kerusuhan, etnis Cina banyak yang kabur.

 

Kenangan tentang kebijakan pemerintahan kolonial itu kini terbayang kembali. Sulit membantah bahwa  pemerintahan Jokowi sangat memanjakan etnis Cina.  "Negara" PIK 1 dan sekarang PIK 2 adalah karya Jokowi. Di masa sebelum Jokowi etnis Cina hanya menguasai ekonomi, namun kini ekonomi dan politik. Rakyat khawatir TNI dan Polisi juga telah berada dalam pengaruhnya. 

 

Mendaur ulang Cina Benteng merupakan pabrik monster yang membahayakan.


PIK 2 faktanya telah dibentengi di darat dan di laut. Gerbangnya patung Naga Raksasa. Pengusaha besar Cina dipelihara dan dilindungi oleh penguasa penjajah Oligarki. Indonesia tergadai oleh berbagai kebijakan Jokowi. Jokowi yang pro Cina sesungguhnya adalah penghianat Negara.

 

Secara sadar makar telah dilakukan oleh seorang Presiden yang pandai berpura-pura. Pura-pura bersih, sederhana, pro rakyat bahkan spiritualis. Pejabat dan lingkarannya seperti terkena sihir hingga mendewakan. Presiden yang ini menjadi musuh dalam selimut bagi Negara Pancasila. Makar merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman mati.

 

Bukan mengada-ada jika muncul seruan tangkap dan adili Jokowi. Bahkan ada desakan agar Jokowi  dihukum mati. Bersandar pada Pasal 11 KUHP maka hukuman mati itu dengan cara digantung.

 

"Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri"

 

Prabowo tidak boleh melindungi pengkhianat negara. Prabowo harus tunduk pada ketentuan hukum. Biarlah hukum berbuat secara independen dan berdaulat. Era politik yang merekayasa hukum di zaman Jokowi telah usai. Prabowo jangan diam saja atau membuat Indonesia paradoks. PIK 2 karya Jokowi harus dibatalkan.

 

Status PSN atas PIK 2 segera cabut. Aguan telah memanipulasi PSN di depan hidung Jokowi, di depan mata Prabowo, serta di hadapan  seluruh rakyat Indonesia. Rakyat wajar untuk tidak dapat menerima dan  marah besar.

 

Bongkar pagar laut PIK 2 dan beri sanksi pembuatnya. Pagar pembunuh nelayan. Begitu juga dengan pejabat yang telah membiarkan penyerobotan wilayah Negara ini. Mereka terang-terangan berbuat jahat untuk menciptakan Negara dalam Negara. Menipu rakyat dengan berbagai narasi palsu termasuk bunga-bunga pariwisata.

 

Bersihkan dan basmi para penghianat negara yang masih merajalela di bumi persada. Gantung Jokowi dan bongkar pagar laut. Banten bukan Propinsi Republik Rakyat China. Sekali merdeka, tetap merdeka. (*)



 

Oleh : Joharuddin Firdaus/Pemerhati Politik Sosial dan Budaya 

“Kasus pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat ini terlalu mudah dan gampang untuk diungkap siapa pelaku dalam waktu secepatnya. Tidak butuh waktu lama berhari-hari untuk mengungkapkan pelakunya. Locus dan tempus delicti sangat jelas. Paling butuh waktu tiga sampai lima jam saja sudah menemukan pelaku sebenarnya. Masalahnya ada kemauan tidak dari penyidik dan atasan penyeidik, “ujar Komisaris Jendral Polisi (Purn.) Dharma Pongrekun dalam suatu kesempatan sambil bercanda.

 

PAK Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit yang hebat dan baik hati. Sekedar mengingatkan kalau masih banyak anggota Polisi yang baik, bagus dan hebat yang belum mendapat promosi jabatan dan kenaikan pangkat sampai sekarang. Mungkin saja jumlah mereka itu ada puluhan ribu, bahkan ratusan ribu anggota polisi baik, bagus dan hebat itu masih di posisi dan jabatan yang sama selama bertahun-tahun.

 

Para polisi baik, bagus dan hebat itu sudah bertugas di pedalaman Kalimantan, Maluku, Papua, Aceh dan daerah lain. Mungkin mereka sudah bertugas selama tiga tahun, lima tahun atau tujuh tahun. Namun sampai sekarang polisi-polisi baik, bagus dan hebat itu belum dipromosikan oleh Pak Kapolri Jendral Sigit. Mereka tetap setia untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diberikan dengan ikhlas dan sabar.    

 

Pak Kapolri Jendral Sigit, kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat ini kejadiannya belum terlalu lama. Pasti masih segar dalam ingatan seluruh anggota polisi baik, bagus, hebat dan publik Indonesia. Apalagi kasus ini juga menyeret polisi berdarah biru yang menjadi Kepala Devisi Provesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Polisi Ferdy Sambo sebagai aktor utama.

 

Kasus ini jelas menghebokan seluruh jagat Indonesia Pak Kapolri Jendral Sigit. Pastinya Kapolri Pak Jendral Sigit tidak anggap remeh dan merasa kasus ini biasa-biasa saja. Kejadian ini membuat masyarakat dunia ikut terheran-heran dan terkaget-kaget. Bisa ya di Polisi Indonesia ada kejadian yang seperti ini? Mudah-mudahan saja ini bukan dikenang sebagai kegagalan Pak Jendral Sigit ketika memimpin institusi Polri?

 

Sekedar mengingatkan Pak Kapolri Jendral Sigit bahwa pembunuhan berencana kepada Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu tidak mudah dilupakan publik begitu saja. Apalagi waktu kejadiannya itu belum terlalu lama dari sekarang. Kalau tidak salah ingat Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu ditembak mati dua tahun, lima bulan dan tujuh hari silam. Tepatnya terjadi pada hari Jum’at tanggal 8 Juli dan tahun 2024.

 

Namun yang paling mengagetkan publik Indonesia karena puluhan anggota polisi yang diperiksa secara etika dan profesi diguga terlibat melakukan rekayasa, mempengaruhi, berusaha menghalangi proses hukum dari sebenarnya. Mereka memberikan keterangan palsu. Juga berusaha menyembunyikan bukti-bukti dari kepolisian dan kejaksaan (Obstruction of Justice) terkait pembunuhan Brigadir Polisi Yisua Hutabarat itu, kini diberikan karpet merat di institusi Polri oleh Pak Kapolri Jendral Sigit.

 

Sejak tahun 2023 sampai sekarang, tercatat ada enam anggota Polisi yang terlibat skandal Obstruction of Justice pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabat telah diberikan kenaikan pangkat dan promosi jabatan oleh Kapolri (TEMPO.Co Senin 10/12/2024). Diduga Kapolri telah dengan sengaja mengusik dan menciderai rasa keadilan publik. Luar biasa hebatnya Pak Kapolri Jendral Sigit ini.

 

Memberikan karpet merah kepada anggota polisi mantan anak buah Irjen Polisi Ferdy Sambo yang terlibat skandal Obstruction of Justice pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu memang kewenangan Pak Kapolri Sigit. Cuma kurang baik dan kurang bijak saja Pak Kapolri. Tidak adil kepada puluhan ribu atau ratusan ribu anggota polisi baik, bagus dan hebat yang belum dipromosikan dan dinaikan jabatan serta pangkat mereka. Mungkin saja mereka tidak berani protes Pak Kapolri karena takut kepada atasan.

 

Pak Kapolri Sigit terkesan mengabaikan merit system di polisi terkait promosi jabatan. PRESISI yang Kapolri Sigit pidatokan di depan Pak Presiden Prabowo Subianto saat Apel Kasatwil Polri tahun 2024 di Akpol Semarang itu seperti basa-basi saja. Berkaitan dengan skandal Obstractio of Justice pembubuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat itu, PRESISI dimana Pak Kapolri Sigit umpetin ya?

 

PRESISI mungkin bukan lagi tagline istimewa karena Pak Kapolri Sigit berikan karpet merah kepada anggota Palisi yang terlibat skandal Obstraction of Justice pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat. Bagaimana dengan nasibnya puluhan ribu, bahkan mungkin juga ratusan ribu anggota polisi baik, bagus dan hebat yang belum dapat promosi jabatan dan kenaikan pangkat itu Pak Kapolri Jendral Sigit?    

 

Pak Kapolri Jendral Sigit itu hebat, low prifile, pekerja keras dan sangat disiplin. Masih segar dalam ingatan kita skandal pembunuhan Brigadir Poplisi Yosua Hutabarat itu. Mungkin bukan begitu kerja-kerjanya PRESISI. Kasus ini hampir saja membuat institusi Polri tergenlinncir jatuh ke titik nadir.

 

Kasus ini dibumbui dengan keterlibatan gerombolan anggota polisi yang sengaja merekayasa perkara seakan-akan Irjen Ferdy Sambo yang dipersiapakan menjadi Kapolri masa depan itu tidak terlibat. Hanya berselang beberapa bulan, mereka mendapat promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Seperti inikah kerja-kerja PRESISI yang Pak Kapolri Sigit banggakan itu?

 

Publik Indonesia dan civil society berprasangka baik kalau Pak Kapolri Sigit tidak punya beban hutang budi atau perasaan tidak enak kepada Ferdy Sambo karena sesuatu hal. Walaupun demikian, lamanya pengungkapan kasus ini hampir satu bulan itu, diduga penuh tarik-manerik kepentingan tingkat tinggi di Polri. Awalnya diduga ada upaya Mabes Polri selamatkan Ferdy Sambo yang dipersiapkan menjadi calon Kapolri kelak.

 

Akibatnya publik menduga telah terjadi saling sandra-menyandra antara Mebes Polri di satu pihak dengan Fardy Sambo di pihak lain. Dampaknya, Kapolri Sigit tidak bisa melapor kepada Presiden Joko Widodo ketika itu sejak hari pertama kejadian. Diduga Kapolri Sigit baru malapor Presiden Joko Widodo pada hari ketiga setelah kejadian. Masalah ruwet, sehingga lambat mengungkapkan.

 

Padahal untuk kawasan ASEAN dan Asia, Polisi negaraku Indonesia itu terkenal sangat hebat, cepat, tepat dan sangat teliti dalam mengungkapkan perkara kriminal seperti pembunuhan. Lihat itu hebatnya kerja Densus 88 Antiteror Polri. Densus 88 Antiteror Polri tidak butuh waktu lama untuk mengungkap dan menangkap pelaku teroris yang merencanakan dan meledakan bom dimanapun wilayah Indonesia.

 

Anehnya untuk kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Yasua Hutabarat, polisi Indonesia yang terkenal hebat itu, mendadak menjadi tidak hebat. Seperti lemah syahwat. Padahal locul delicti dan tempus delicti sanagat jelas. Locul delicti dan tempus delicti terang-bernderang di depan mata polisi. Waktu dan tempat kejadiannya itu pasti di rumah dinas Kepala Devisi Propam Polri Irjen Polisi Ferdy Sambo.

 

Sayangnya, butuh waktu tiga hari, dari tanggal 8 - 10 Juli sejak kejadian pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat, baru ada keterangan resmi dari Karo Penmas Devisi Humas Polri Brigjen Ahamd Ramadhan. Humas Polri secara official adalah organ pelaksana dari Kapolri. Jadi, keterangan Humas Polri itu official atas nama Kapolri.

 

Sudah terlambat, namun keterangan resmi yang disampaikan Brigjen Ahmad Ramadhan masih berisi informasi bohong kepada publik. Isinya masih sesuai skenaria awal, yaitu tembak-menembak antara Brigadir Yosua Hutabarat dengan Bharada Polisi Richard Eliezer. Tangan Ferdy Sambo diduga sedang mengacak-acak institusi Polri. Untuk itu diperlukan tangan Presiden Prabowo untuk menyelamatkan Polri dari cengkaraman Fersy Sambo. (bersambung).

 


 

Oleh: Joharuddin Firdaus / Pemerhati Politik Sosial dan Budaya

“Intitusi Polri tidak boleh melindungi siapapun oknum polisi yang melakukan pelanggaran hukum. Sebaliknya, oknum polisi yang melakukan pelanggaran hukum tidak boleh berlindung atau mencari perlindungan di institusi Polri. Kebenaran dan keadilan harus diungkapkan untuk menjaga kehormatan dan marwah institusi Polri, “mantan Wakapolri Komisaris Jendral Polisi (Purn.) Nanan Sukarna.

 

Mantan Kepala Devisi Provesi dan Pengaman Polri Irjen Polisi Ferdy Sambo benar-benar sangat hebat dan luar biasa. Sambo diduga masih punya pengaruh kuat di institusi Polri. Ferdy Sambo itu sangat sakti madraguna. Sambo diduga masih bisa leluasa mengatur-atur intitusi Polri dari dulu sampai sekarang.

 

Untuk itu, Presiden Prabowo Subianto perlu selamatkan institusi Polri dari cengkraman dan pengaruh Ferdy Sambo. Diduga meskipun masih mendekam di dalam penjara karena divonis penjara seumur hidup oleh Mahkamah Agung, namun tetap saja Sambo yang hebat, digjaya dan top markotop. Diduga dari dalam penjara sekalipun, Ferdy Sambo masih bisa mendikte dan menekan para petinggi Polri.

 

Sambo mampu memperjuangkan mantan anak buahnya yang terlibat skandal rekayasa perkara pembunuhan (Obstraction of Justice) terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat. Sebanyak enam mantan anak buah Ferdy Sambo yang terlibat Obstraction of Justice mendapat promosi kenaikan pangkat dan jabatan. Fakta ini jelas tidak bagus untuk menjaga marwah pemerintahan Presiden Prabowo lima tahun ke depan.

 

Anda boleh percaya, namun boleh juga tidak percaya. Namun fakta menyajikan kuatnya dugaan pengaruh dan cengkraman Ferdi Sambo terhadap institusi Polri. Buktinya, Kepolri Jendral Listyo Sigit memberikan jabatan empuk kepada enam anggota polisi mantan anak buah Ferdy Sambo yang terlibat Obstruction of Justice terhadap Brigadir Polisi Polisi Yosua Hutabarat (TEMPO.Co. Senin 10/12/2024).

 

Mereka adalah mantan Kepolres Jakarta Selatan Komisaris Besar (Kombes) Polisi Budhi Herdy. Budhi Herdi dipromosikan menjadi Kepala Biro Perawatan Personil (Karowatpres) pada Asisten Sumberdaya Manusia Kapolri. Dengan demikian, Budhi Herdi naik pangkat dari Kombes Polisi menjadi Brigadir Jendral (Brigjen) Polisi.

 

Pecah bintang di pundaknya Budhi Herdi. Panggilan sehari-hari adalah Jendral Budhi Herdi. Dengan jabatan baru itu, Brigjen Budhi Herdi bertugas merawat mental, karakter dan prilaku semua anggota polisi Indonesia. Orang yang terlibat skandal Obstruction of Justice terhadap anggota Polri Brigadir Yosua, namun mendapat promosi kenaikan pangkat dan jabatan. Hebat dan luar biasa hebat Pak Kapolri.

 

Selian itu, Kombes Polisi Murbani Budi Pitono. Ketika terjadi skandal Obstruction of Justice terhadap Brigadir Yosua Hutabarat, Kombes Murbani Budi Pitono menjabat Kapala Bagian Renmin Divisi Propam Polri. Kombes Polisi Murbani Budi Pitono menjadi anak buah langsung dari Irjen Polisi Ferdy Sambo.

 

Ada juga Kombes Polisi Deni Setia Nugraha Nasution. Ketika terjadi skandal Obstruction of Justice terhadap Brigadir Yosua Hutabarat, Kombes Deni Nasution menjabat Serso Paminal Divisi Propam Polri. Anak buah langsung dari Irjen Ferdy Sambo. Sekarang Kombes Polisi Deni Setia Nasution dipromosikan sebagai Kapala Bagian Jianling Rojianstra Asisten Oprasi Kapolri.

 

Anak buang Ferdy Sambo lain yang mendapat promosi jabatan di institusi Polri adalah Kombes Polisi Susanto. Ketika terjadi skandal Obstruction of Justice terhadap Brigadir Polisi Yosua Hutabarat, Kombes Susanto menjabat Kepala Bagian Penegakan Hukum Provost Divisi Propam Polri.

 

Kombes Susanto telah dipromosikan oleh Kapolri Jendral Listyo Sigit sebagai Penyidik Tindak Pidana Madya Tingkat II Bareskrim Polri. Ternyata promosi Kombes Susanto sudah dilakukan Kapolri Sigit sejak tahun 2023 lalu. Pelaku Obstruction of Justice bisa dipromosi menjadi penyidik di Bareskrim Polri? Apa kata dunia Pak Kapolri?

 

Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Handik Husen yang giliran mendapat promisi jabatan sebagai Kasubag Opsnal Direktorat Tidank Pidana Umum Baresskrim Polri. Ketika terjadi skandal Obstruction of Justice terhadap Brigadir Yosua Hutabarat, AKBP Handik Husen menjabat sebagai Kasubdit Resmob Polda Mentro Jaya.

 

Sedangkan Komisaris Polisi (Kompol) Chuck Putranto dipromosikan dan naik pangkat menjadi AKBP. Chuck Putranto sekarang ditempatkan sebagai Pamen Polda Metro Jaya. Saat terjadi skandal Obstruction of Justice terhadap Brigadir Yosua Hutabarat, Chuck Putranto menjabat Kasubbagaudit Baggak Etika Rowafprof Divisi Propam Polri.     

 

Pak Kapolri Jendral Sigit, kenyataan ini musibah dan sangat tragis untuk institusi polisi dan dunia hukum Indonesia. Aneh, tetapi nyata terjadi. Publik Indonesia dibuat hanya terperanga menyaksikan fakta ini. Kapolri Jendral Sigit diduga telah menampar dan mencoreng wajah institusi Polri. Kapolri Sigit juga diduga mendegradasi samangat penegakan hukum Indonesia. Jangan terlalu telanjang begitu dong Pak Kapolri.

 

PRESISI yang menjadi tagline visi dan misi Komisaris Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo ketika menjalani fit and proper test di Komisi III DPR untuk menjadi Kapolri itu terkesan hanya basa-basi semata. Kalau tidak mau dibilang mundur ke belakang, PRESISI kini berjalan di tempat. Semua itu karena diduga Fardy Sambi masih mempunyai pengaruh dan cengkaraman atas Kapolri dan institusi Polri.

 

Pak Kapolri Jendral Sigit yang hebat, baik hati dan murah senyum. Merencanakan pembunuhan dengan sengaja oleh Jendral polisi kepada anak buah sendiri itu bar-baran dan sangat primitif. Juga bengis, kejam, dan tidak bermartabat. Apalagi diwarnai dengan bumbu Obstraction of Justice lagi. Padahal pembunuh anak buah seperti Ferdy Sambo diduga digadang-gadang dan dipersiapkan untuk menjadi Kapolri masa depan.

 

Fakta adanya promosi jabatan dan kenaikan pangkat enam anggota polisi yang terlibat skandal Obstruction of Justice terhadap Brigadir Yosua Hutabarat ini benar-benar mengecewakan publik. Kapolri Jendral Sigit diduga tidak sensitif dan tidak peka atas keresahan publik terkait kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat ini.

 

Pak Kapolri Sigit, masyarakat Indonesia yang menjadi pemegang saham dan pemilik sebenarnya dari institusi Polri kecewa, kasal, marah dan gondok. Bukan begini caranya mengelola dan menjaga wajah dan marwah institusi Polri. Kasihan itu institusi Polri. Padahal Polri harus tetap tegak lurus sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.  (bersambung)



 

Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Kawasan dengan ribuan hektar yang dikuasai oleh pengusaha Naga baik PIK 1 maupun PIK 2 dapat menimbulkan sentimen anti China. Kondisi yang kondusif bisa berubah menjadi membara. Kebijakan Pemerintah yang memanjakan pengembang di lahan strategis pinggir pantai Jakarta Utara dan Banten ini sangat berbahaya. Menyangkut kedaulatan dan kesenjangan sosial. Etnis China yang sudah besar dan menyebar semakin kokoh dengan pembangunan kawasan baru Pecinan.

 

Pariwisata sebagai kedok penguasaan bahkan untuk PIK 2 menjadi sebab dari manipulasi penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) memang gila. Menko Perekonomian Airlangga dan Menteri Pariwisata Sandiaga Uno turut berdosa pada rakyat pribumi karena menjalankan program China-isasi Jokowi. Lihat ke belakang PIK 1 untuk prediksi ke depan PIK 2.

 

Prabowo yang konon sering dipuja sebagai nasionalis tulen dituntut untuk mengantisipasi bahaya ini. Di samping pembenahan PIK 1 juga harus mencabut PSN atas PIK 2 dan kemudian membatalkan PIK 2. Atas berbagai pelanggaran hukum yang terjadi maka Aguan pemilik proyek PIK 2 harus ditangkap dan diadili. Jangan biarkan perlawanan rakyat terus bereskalasi. Masalah yang dihadapi dinilai krusial dan peka bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Usut Airlangga, Uno dan aktor utama Jokowi atas penetapan PSN untuk PIK 2. Adakah kolusi dengan Aguan? Pengusutan harus sampai pada pendapatan atau dompet-dompet. Ini penting dalam rangka membangun pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Aguan telah pasang badan menyelamatkan muka Jokowi pada IKN lalu adakah PSN PIK 2 menjadi balas jasa Jokowi kepada Aguan?

 

Di Banten khususnya Tangerang sering terjadi kerusuhan pribumi dengan etnis China. Buku Ayatrohaedi "Kerusuhan Anti China : Tangerang 1913-1946" menjelaskan sikap anti China itu disebabkan kebijakan pemerintah kolonial, kesenjanjangan ekonomi, dan etnis China yang terikat dengan leluhur. Selalu  merasa menjadi "orang luar". Dengan alasan ini bukan tidak mungkin PIK 1 dan PIK 2 dapat memicu sentimen anti China kembali.

 

Ketika kecurigaan terhadap pertumbuhan etnis China yang pesat, ditambah dengan pendatang yang tak terdata, maka penting melakukan sensus seksama berbasis etnis. Jangan sampai Indonesia yang dahulu mayoritas "bumi putera" dengan keragaman etnik Jawa,Sunda, Melayu, Bugis, Batak dan lainnya sesungguhnya telah tergeser oleh etnis China tersebut. Kelak ada pepatah "tengoklah ke kiri dan ke kanan disana ada China". Saat ini kompleks perumahan kelas menengah dan atas banyak dihuni oleh etnis ini.

 

PIK 1 dan PIK 2 di Jakarta Utara dan Banten harus menjadi perhatian serius Pemerintah. Jokowi telah salah menerapkan kebijakan kompleks perumahan eksklusif "Negara dalam Negara". PIK 2 adalah kelanjutannya. Prabowo harus tegas dalam menyikapi. Ada bahaya di depan. PIK1 dan PIK 2 berada dalam zona merah atau "danger area". Ingin membangun Hongkong di Indonesia?

 

Sebelum sentimen anti China menguat dan melebar, keluar dari sekedar PIK 1 dan PIK 2, maka sekali lagi Prabowo harus membenahi PIK 1, mencabut status PSN PIK 2 dan membatalkan PIK 2.


Evaluasi RTRW dengan orientasi pada kesejahteraan masyarakat setempat, bukan menyediakan lahan untuk kepentingan pengusaha rakus dan bejat.

 

Naga serakah itu terus merambah ke segala arah. Bumi Indonesia ini bukan untuk China tetapi warisan milik dan bagi Bumi Putera. (*)



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

SEMUA tahu bahwa Prabowo dapat menjadi Presiden itu tidak lepas dari bantuan Jokowi. Saat menjabat sebagai Presiden. Segala potensi kekuasaan yang dimiliki Jokowi digunakan untuk memenangkan. Curang pun bukan hal yang musykil. Meskipun demikian Jokowi bukan satu-satunya faktor. Ada mesin partai, harapan figur baru, antitesis polisi, ataupun simpati atas kekalahan berulang.

 

Jokowi semasa menjabat hingga kini masih menampilkan diri sebagai penguasa. Kuku ditancapkan melalui Menteri dan Kepala Daerah titipan. Presiden pun  tetap berada di bawah ketiaknya. Ia punya Kapolri dan Jaksa Agung untuk menakut-nakuti. Ditambah  dengan Naga pelilit Garuda yang terus menyemburkan uang untuk membayar aparat dan pejabat.

 

Jokowi di mata rakyat bukan Presiden yang baik apalagi berprestasi melainkan perusak dan sumber masalah. Berantakan ekonomi, budaya,  politik dan agama oleh ulah dan tipuan dinginnya. Seperti sederhana tapi serakah dan kaya raya. Manis muka tapi pahit hati, membuka ruang korupsi lalu menyandera. Banyak yang tidak tahu bahwa upeti dan gratifikasi itu membanjiri rekeningnya.

 

Jokowi adalah tukang sihir sehingga Bahlil pun mempropagandakan bahaya jika melawan Jokowi sang Raja Jawa. Sihirnya bisa mematikan siapapun tidak terkecuali Prabowo Subianto. Habis-habisan ia memuji Jokowi dari persepsi hingga testimoni. Prabowo yang galak begitu menurut kepadanya. Presiden masih rasa Menteri. Gibran "Fufufafa" ternyata bukan hanya dimaklumi tetapi dilindungi.

 

Saatnya Prabowo bangkit menjadi dirinya sendiri, bebas dari sihir Jokowi. Apa harus undang teman untuk bantu meruqyah ? he he. Harus cepat, pak tidak perlu 100 hari apalagi setahun. Nanti terlambat jika berlama-lama. Ingat Gotabaya Rajapaksa atau Bashar al Assad yang harus lari terbirit-birit dikejar oleh rakyatnya sendiri yang marah dan memberontak ? Saat itu tidak berguna kekayaan dan segala alat kekuasaan.

 

Pak Prabowo tidak perlu berapologi bahwa semua punya kesalahan lalu memaklumi atau melindungi. Kesalahan Jokowi bukan pribadi tetapi kepada seisi negeri. Ia membiarkan korupsi bahkan diduga korupsi, terang-terangan membangun politik dinasti, menginjak-injak demokrasi dan melanggar hak asasi. Ambyar dalam hutang luar negeri dan kolusi yang dibahasakan dengan investasi. China mengatur pribumi.

 

Merdekakan diri pak Prabowo sebelum berteriak tentang kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Jangan jadi singa sirkus Jokowi. Lepaskan Jokowi dengan menyerahkan pada proses hukum. Bukankah masih terdengar suara Prabowo tentang "tidak ada yang kebal hukum". Dukung penegakan hukum atas kasus-kasus Jokowi baik ijazah palsu, politik dinasti, pembiaran korupsi, pelanggaran hak asasi, maupun pengkhianatan atas ibu pertiwi.

 

Pak Prabowo tidak perlu digulingkan akibat melindungi rezim zalim. Peristiwa di Suriah tak boleh terjadi disini. Bashar al Assad anak diktator Hafez al Assad memperkaya keluarga, menciptakan konflik anak bangsa, serta mengundang negara asing. Kini ia kabur ke Rusia. Menyesal akibat dari kesalahan kebijakan yang berbasis pada kekuatan senjata, mengabaikan suara rakyat, serta berpihak pada minoritas untuk menguasai mayoritas.

 

Jokowi bukan pemimpin yang jujur dan kredibel, ia pemimpin bertipe pembohong dan pengkhianat. Rakyat akan terus mengejar. Mungkin ia sedang berfikir untuk kabur ke China atau Singapura.

 

Seharusnya Prabowo jangan bela Jokowi. Itu sudah pasti akan menyakiti hati rakyat.

 

"Don't hurt people's hearts, if people bite it will definitely hurt"--Jangan sakiti hati rakyat, jika rakyat menggigit pasti sakit. (*).


 

Oleh: Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah

Foto Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman terpampang dengan anggun diapit Merah Putih dan  Bintang Lambang seorang Jenderal di dinding ruang makan bersama Prabowo Subianto dengan Joko Widodo.

 

Dalam dialog imajiner apapun yang mereka bicarakan oleh Jin Qorin  yang menyerupai persis Jenderal Sudirman bisa didengar apapun yang sedang mereka bicarakan dan sangat mengenal sifat dan karakter mereka masing-masing.

 

Mendengar apa yang mereka bicarakan Pangsar Jenderal Soedirman tiba tiba marah besar, dengan sangat keras mengingatkan Jenderal Prabowo Subianto:

 

1. Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan  kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang dan siapapun juga. (Jogjakarta, 12 November 1945).

 

2. Hendaknya perjuangan kita harus didasarkan atas kesucian, dengan demikian perjuangan kita selalu merupakan perjuangan antara jahat melawan suci dan kami percaya bahwa perjuangan suci  itu senantiasa  mendapatkan pertolongan dari Tahun. (Jogyakarta, 18 Desember 1945).

 

3. Tentara akan hidup sampai akhir zaman, jangan menjadi alat oleh suatu badan atau orang. (Jogyakarta, 27 Mei 1946).

 

4. Tentara kita jangan sekali kali mengenal sifat dan perbuatan menyerah pada siapapun juga yang akan menjajah dan menindas kita kembali. (Jogjakarta, 9 April 1946).

 

5. Kami Tentara Republik Indonesia akan timbul dan tenggelam bersama negara. (Jogjakarta, 9 Februari 1946).

 

6. Jangan sekali kali di antara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat Nusa, Bangsa dan Agama. Tentara kita jangan sekali kali mengenal sifat dan perbuatan menyerah pada siapapun juga yang akan menjajah dan menindas kita kembali. (Jogjakarta, 9 April 1946).

 

7. Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai titik darah penghabisan. Sejengkal tanah pun tidak akan diserahkan kepada lawan, tapi akan kita pertahankan habis habisan.  (Jogjakarta 25 Mei 1946).

 

Kau ini tentara jaga Sumpahmu (Sumpah Perwira, Sumpah Prajurit dan Sapta Marga) sebagai  tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional.

 

Di depanmu komprador orang yang berbahaya bertindak sebagai agen  asing (penjajah) yang telah membentangkan karpet merah dan terlibat dalam   eksploitasi penindasan ekonomi atau politik di negera ini.

 

Kau seorang  Jenderal ambil tindakan cepat , tepat dan tegas ketika negara dalam bahaya, kalau tidak ambil tindakan tegas  menyelamatkan negara lepas (copot) foto saya dari dinding rumahmu.

 

Imajiner ini bersandar dari pesan pesan yang sangat jelas bagaimana Jenderal Besar Sudirman bersikap dan ambil keputusan tepat dan cepat untuk menyelamatkan negara dan menolak permintaan Sukarno untuk tetap tinggal di istana sekalipun dalam kondisi sakit yang parah. Dan harus ditandu dalam memimpin perang gerilya. (*)



 

Oleh : M Rizal Fadillah | Pemerharti Politik dan Kebangsaan

TENTU ini soal PIK-2 yang kontroversial dan menjadi sorotan publik. Dari PSN yang kolusif hingga dominasi etnis dan penjajahan oligarki. Program di akhir masa pemerintahan Jokowi ini mendapat perlawanan rakyat. Sukses PIK-1 membuat konglomerat atau pengusaha kuat percaya diri untuk merambah ke lahan-lahan berikut. Mencaplok dengan modus beli tanah murah. Rakyat setempat pun tergusur.

 

Program ruwet ini boleh disebut pak pik puk tidak membuat nyaman banyak pihak. Pantai Aguan Kapuk (PAK), Pantai Ilegal Kapuk (PIK) dan Pantai Uang Kapuk (PUK). Kapuk adalah nama pohon dan ada pula yang mengaitkan dengan kapok atau jera. Kapok berurusan dengan penguasa atau pengusaha sebab apapun selalu salah dan kalah. Pantai Indah Kapuk menjadi indah bagi pejabat, aparat atau konglomerat tetapi derita bagi rakyat.

 

PIK-1 yang berada di Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng Jakarta Utara adalah komplek perumahan elit seluas 1.160 hektar  mengubah ruang hijau, hutan mangrove dan rawa. Diantaranya pulau-pulau reklamasi baik timur (Golf Island) maupun barat (Ebony Island). Nuansa perumahan pecinan dan area wisata Pantjoran Chinatown PIK. Terkesan tertutup seperti "forbidden city" di Beijing RRC.

 

PIK-2 yang berada di Banten menjadi area perluasan dari PIK-1. Hebatnya dengan isu destinasi wisata seluas 1.775 hektar, PIK 2 mengklaim sebagai PSN dengan luasan yang jauh lebih besar dari area itu. Sebagai PSN maka perusahaan pengembang milik Aguan mendapat fasilitas istimewa. Harga tanah yang dipatok NJOP lebih murah termasuk untuk kawasan perumahan. PIK-2 terasa akan menjadi Chinatown dengan Naga besar sebagai icon.

 

PAK Proyek Aguan Kapuk merupakan proyek empuk untuk Sugianto Kusuma alias Aguan. Meski bukan Naga terkaya tetapi Aguan memiliki kedekatan istimewa dengan pejabat tinggi negara. Berperan seperti "koordinator" untuk para Naga. Property adalah core bisnis nya dan kini "berkoalisi" dengan Menteri Perumahan Maruarar Sirait (Ara). Program Kementrian soal pengadaan 3 juta rumah seenaknya diberikan oleh Ara kepada Aguan.

 

PIK Proyek Ilegal Kapuk. Pemalsuan sekurangnya manipulasi PSN dilakukan seolah-olah PIK-2 seluruhnya termasuk perumahan adalah PSN sehingga fasilitas PSN digunakan untuk PIK-2. Sesungguhnya PSN itu hanya 1.755 hektar kawasan wisata saja. Kawasan hutan lindung pun belum dialihkan menjadi hutan konservasi apalagi APR. PT PIK-2 (PANI) telah melanggar RTRW dan belum memiliki RDTR.

 

PUK Proyek Uang Kapuk. Wajar jika usaha itu mencari uang, akan tetapi menumpuk uang dengan cara menipu atau memanipulasi adalah kejahatan. PSN yang dimanipulasi untuk menurunkan NJOP merupakan perampokan dan perampasan tanah dengan modus jual beli. Dengan melipatkan harga tanah saja maka Aguan menurut Said Didu diprediksi akan mengeruk keuntungan hingga 20 ribu trilyun. Sungguh fantastis.

 

Pak Pik Puk menjadi kerja serampangan rezim Jokowi dengan memainkan hukum. PSN tidak jelas kriteria, jalan kolusi dan korupsi, sumber konflik sosial dan rebutan lahan, pintu masuk bagi oligarki sang pencuri reformasi dan penjajah negeri. PSN hanya proyek akal-akalan meminggirkan rakyat.

 

PIK-2 "Aguan, Ilegal, Uang" patut digugat dan diadili. Motif kejahatan masuk ranah penyidikan. PSN cabut, PIK-2 evaluasi dan batalkan. Kembalikan pada garis equilibrium. Proyek kotor jangan dilanjutkan. Kedaulatan rakyat harus tetap dijaga.

 

Aguan yang pernah diperiksa KPK untuk kasus suap Raperda Reklamasi harus dilanjutkan proses pemeriksaan dugaan kasus-kasus lain. Tangkap Aguan. Bumi ini milik rakyat dan bangsa Indonesia bukan untuk dijual murah kepada asing, aseng atau asiong. (*)


Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah 


OLEH: AHMADIE THAHA

DI DUNIA yang makin digital saat ini, tak ada yang lebih efektif dari kekuatan media sosial, termasuk dalam menegakkan keadilan. Kasus Miftah Maulana Habiburrahman dan Ivan Sugianto menjadi contoh baru tentang betapa dahsyat perlawanan medsos, membuat mereka "takluk."

 

Miftah, hanya karena berucap satu kata "goblok" kepada pedagang keliling di acara pengajian dan shalawatan, diguyur hujan hujatan dari seantero negeri. Presiden Prabowo Subianto dan PM Malaysia bahkan ikut berkomentar. Miftah akhirnya mundur dari jabatannya di Istana.

 

Hal serupa terjadi pada Ivan Sugianto. Kisah pengusaha hiburan yang memaksa seorang siswa bersujud dan menggonggong, ini menjadi bukti nyata betapa besarnya pengaruh media sosial dalam menggiring opini publik dan mendorong aparat hukum bertindak cepat.

 

Ironis memang, tetapi faktual: tanpa video viral, kasus Miftah dan Ivan ini mungkin hanya jadi bisik-bisik tetangga. Atau, kasus penggoblokan terhadap pedagang keliling dan keributan kecil di depan sekolah, yang menyangkut dugaan perundungan, itu cuma akan menjadi liputan kecil di media lokal mengingat magnitude-nya yang kurang untuk masuk kategori berita layak.

 

Kejadian-kejadian itu untungnya terekam kamera, dan menyebar di berbagai platform media sosial seperti api di padang kering. Publik marah, netizen mengecam, tagar menggema.

 

Dalam sehari, Miftah harus mundur. Dalam hitungan jam, polisi bertindak menangkap Ivan di bandara, menjebloskannya ke penjara, dan bersama itu publik memviralkan borok-borok lainnya dari mereka.

 

Hebatnya, reaksi ini muncul bukan karena berita di media arus utama, tetapi karena tekanan langsung dari publik yang terpicu oleh video viral. Ini memperlihatkan fenomena "tanpa viral, tiada keadilan" yang semakin mengakar. Maka, bagi anda, jangan ragu memanfaatkan kamera handphone anda.

 

Kekuatan media sosial tak hanya memaksa tindakan cepat aparat hukum, tetapi juga membuka borok-borok lain. Setelah kasus ini mencuat, terungkap sikap kasar Miftah lainnya, serta dugaan Ivan terlibat tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan memiliki belasan rekening yang diblokir PPATK. Mungkin juga, banyak lagi kasus lainnya.

 

Fakta ini memperlihatkan bahwa viralitas bukan sekadar alat untuk mengungkap kasus, tetapi juga medium untuk memperbesar eksposur masalah lain yang selama ini mungkin terkubur. Juga, mengungkap realitas watak otentik seseorang berdasarkan rekaman seketika, yang mungkin selama ini telah banyak membawa korban yang bungkam.

 

Dalam dunia nyata, dampak media sosial begitu nyata hingga sulit diabaikan. Miftah dan Ivan tak hanya dicaci-maki, tetapi juga mendapat hukuman sosial. Ketika masuk ke ruang tahanan, Ivan disambut dengan sorakan "Sujud! Gonggong!" oleh para tahanan lainnya. Inilah bentuk ironi keadilan sosial —sebuah "karma instan" yang muncul akibat penghakiman publik di dunia maya.

 

Namun, di sisi lain, ada pertanyaan yang perlu kita renungkan: apakah keadilan kini hanya bisa ditegakkan jika ada viralitas? Apakah aparat hukum membutuhkan dorongan dari publik untuk bertindak?

 

Dalam kasus ini, tindakan polisi baru terasa setelah muncul gelombang kemarahan di media sosial. Padahal, bukti dan saksi kasus tersebut sebenarnya sudah cukup kuat sejak awal.

 

Kasus ini menyoroti ketergantungan penegakan hukum pada media sosial. Di satu sisi, media sosial menjadi alat penting untuk membongkar kasus yang mungkin tidak tersentuh hukum.

 

Di sisi lain, ini juga memperlihatkan kelemahan sistem hukum kita, yang cenderung reaktif terhadap opini publik ketimbang bertindak secara proaktif berdasarkan fakta dan data.

 

Media sosial memang kuat, tetapi bukan tanpa risiko. Viralnya kasus seringkali membawa dampak negatif, seperti pengadilan massa yang bisa saja melampaui batas. Seseorang bisa dihukum secara sosial bahkan sebelum mendapatkan proses hukum yang adil. Namun, jika sistem hukum berjalan efektif, keadilan seharusnya tidak memerlukan tagar atau video viral untuk dijalankan.

 

Kasus Miftah dan Ivan menjadi pengingat pahit tentang betapa pentingnya media sosial dalam menyoroti keadilan dan rasa keadilan. Namun, ini juga menegaskan perlunya sistem hukum yang lebih kuat dan independen, yang tidak hanya bertindak ketika ada tekanan publik.

 

Media sosial mungkin pedang bermata dua: ia bisa menjadi pendorong keadilan, tetapi juga bisa menjadi alat penghakiman tanpa batas. Kini, tantangannya, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan ini tanpa kehilangan esensi keadilan dan rasa keadilan yang sejati —adil bukan karena viral, tapi karena sistem hukum yang benar-benar bekerja. (*)


Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.