Oleh : Buni Yani
SETELAH bertahun-tahun nasib gugatan atas kepalsuan ijazah
Jokowi semakin redup dan mulai dilupakan orang, tiba-tiba dalam beberapa pekan
terakhir isu ini kembali meledak dan menjadi perbincangan para pengguna media
sosial. Seperti biasa, Jokowi tetap bertahan dan menuduh orang-orang yang
mempermasalahkan ijazahnya sebagai pemfitnah yang harus diproses hukum.
Pengacara Jokowi yang mendatangi kediamannya di Solo
mengancam publik—publik anonim yang luas yang sedang menguji kesahihan klaim
Jokowi secara sepihak tanpa menunjukkan ijazah asli yang dia punya. Publik
menertawakan ancaman ini karena dianggap konyol dan tidak masuk akal. Karena
bukankah masalah ini sangat sederhana dan tidak perlu harus menyewa pengacara
segala. Jokowi cukup menunjukkan ijazahnya di hadapan wartawan dan para penuduh
maka kasus ini langsung selesai.
Dua orang telah menjadi korban keengganan Jokowi menunjukkan
ijazahnya. Korban pertama adalah Bambang Tri yang sangat yakin Jokowi tidak
punya ijazah SMA. Korban kedua adalah Gus Nur dengan kasus yang kurang lebih
sama dengan Bambang Tri. Para pengacara yang membela Bambang Tri dan Gus Nur
mengatakan selama persidangan kedua terdakwa tersebut Jokowi sama sekali gagal
menunjukkan ijazahnya.
Logisnya memang karena Bambang Tri menuduh Jokowi tidak punya
ijazah SMA yang asli, maka Jokowi seharusnya menunjukkan ijazahnya. Namun ini
tidak pernah terjadi di pengadilan. Bambang Tri malah dituntut dengan perkara
lain yang tidak ada kaitannya dengan ijazah palsu yang dia tuduhkan ke Jokowi.
Inilah yang membuat perkara ini menjadi aneh dan mengundang kecurigaan bahwa
Jokowi memang tidak punya ijazah SMA.
Gugatan sejumlah aktivis di pengadilan Jakarta juga menemui
jalan buntu. Para penggugat dan pengacara penggugat sangat kecewa karena hakim
yang menyidangkan perkara kelihatan tidak netral dan melindungi Jokowi agar
lolos dari jerat hukum. Jokowi yang menjadi obyek gugatan tidak pernah hadir
dalam persidangan. Jokowi mengutus seseorang untuk mewakilinya namun sama
sekali tidak membawa surat kuasa. Jokowi tidak hadir, dan ijazah yang menjadi
obyek perkara tidak pernah ditunjukkan.
Para aktivis yang melakukan gugatan memang sadar bahwa usaha
mereka akan sangat susah waktu itu karena Jokowi masih sangat kuat. Jokowi
masih menjadi presiden. Sudah menjadi pengetahuan umum selama 10 tahun berkuasa
secara zalim, Jokowi menekuk hukum sedemikian rupa untuk kepentingan politik
sempitnya.
Semua perangkat dan institusi hukum dia kuasai. Kelompok yang
mendukungnya—seperti para begundal dan buzzer—kebal hukum meskipun nyata-nyata
melanggar hukum. Sementara kelompok yang dianggap lawan politik, tidak punya
salah pun dicari-cari salahnya—dan harus salah—meskipun sesungguhnya sama
sekali tidak bersalah. UU ITE dijadikan senjata oleh Jokowi untuk menggasak
para aktivis dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.
Keculasan Jokowi dalam bidang hukum ini sudah menjadi
pengetahuan umum. Jokowi sama sekali tidak mempunyai niat—apa lagi visi
besar—untuk menjadikan hukum sebagai alat penegakan hukum dan keadilan.
Sebaliknya, Jokowi menjadikan hukum sebagai instrumen politik untuk agenda
sempit dia yang penuh kezaliman.
Karena kuatnya Jokowi inilah maka perlawanan para aktivis
hampir tak punya efek. Jokowi terus melaju dengan kezalimannya mengangkangi
hukum. Jangankan kasus ijazah palsu yang langsung menyasar dirinya, kasus-kasus
umum lainnya bila menyangkut kepentingan gerombolannya akan langsung dibuat
kandas dengan segala rekayasa. Kondisi ini berlangsung sampai dia turun
jabatan.
Namun sekian minggu terakhir ini dunia media sosial kembali
digemparkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang forensik
digital. Dia mampu menelusuri file video dan gambar dan bisa menentukan apakah
sebuah video atau gambar sudah diubah atau masih asli. Dia mampu menemukan
bahwa ijazah Jokowi 100 persen palsu.
Dia mendapatkan akses ke skripsi S1 Jokowi di Fakultas
Kehutanan UGM. Dia menemukan bahwa lembar pengesahan skripsi aneh. Halaman ini
dicetak menggunakan font Times New Roman. Skripsi Jokowi selesai dibuat tahun
1985, padahal font Times New Roman baru masuk Microsoft Word pada tahun 1992.
Ini tentu aneh dan janggal—yang menghasilkan kesimpulan pasti skripsi Jokowi
dibuat pada tahun 1992 atau setelahnya.
Tidak cuma itu, pada lembar pengesahan ini dosen pembimbing
dan penguji tidak membubuhkan tanda tangan—hal yang tidak mungkin terjadi di
UGM. Foto Jokowi di ijazah mengenakan kacamata, padahal UGM mempunyai peraturan
melarang calon wisudawan mengenakan kacamata. Alhasil kejanggalan-kejanggalan
ini menimbulkan kecurigaan bahwa ijazah S1 Jokowi memang palsu.
Hal-hal aneh dan janggal ini membuat banyak orang
mengaitkannya dengan usaha Jokowi membuat Omnibus Law—salah satu produk UU
paling zalim yang dibuatnya—yang berusaha menghapuskan pidana terhadap pemalsu
ijazah. Jadi, kata banyak orang dengan penuh curiga, usaha Jokowi untuk
melindungi dirinya dari jerat pidana ijazah palsu dia antisipasi dengan
perubahan UU.
Publik semakin yakin ijazah Jokowi memang palsu karena ahli
forensik digital tersebut mendapatkan teror yang tidak ringan. Kaca mobilnya
dipecahkan dan ban disayat sampai kempes sehingga mobil tersebut tidak bisa
dipakai. Publik sangat yakin bahwa teror pengecut ini ada kaitannya dengan
gencarnya si ahli forensik digital dalam mengungkapkan palsunya ijazah
Jokowi—meskipun sejauh ini publik belum punya bukti nyata.
Saya dari dulu sama sekali tidak pernah tertarik dengan
urusan ijazah palsu Jokowi. Karena tidak saja isu ini tidak bermutu dan
memalukan bila ternyata benar, tetapi juga karena beberapa orang alumni UGM di
Fakultas Kehutanan mengatakan Jokowi memang pernah terlihat kuliah di sana.
Satu orang pengusaha bidang perkayuan mengatakannya secara langsung kepada
saya, sementara dua orang lainnya disampaikan lewat sumber yang bisa dipercaya.
Karena alasan inilah maka saya berpikir kemungkinan besar Jokowi memang tamat
dari Fakultas Kehutanan UGM.
Namun derasnya informasi dalam beberapa pekan terakhir ini,
terutama yang berkaitan dengan pengujian foto ijazah Jokowi menggunakan
aplikasi tertentu yang hasilnya foto itu ternyata bukan foto Jokowi tetapi foto
orang lain, membuat saya berubah pikiran. Karena dari orang-orang yang bersaksi
bahwa Jokowi memang sempat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, tidak ada yang
secara sepesifik mengetahui dan berani menjamin Jokowi memang tamat kuliah.
Pernah kuliah dan wara-wiri di kampus tidak menjamin seseorang pasti tamat dan
punya ijazah.
Jokowi seharusnya membuat masalah jadi sederhana untuk
menghentikan ribut-ribut tidak bermutu ini. Yaitu tunjukkan ijazah asli dengan
mengundang para penuduh dan wartawan. Sesederhana itu. Semakin Jokowi mengelak,
apa lagi dengan menyewa pengacara untuk menggertak publik, maka semakin
yakinlah masyarakat memang ijazah Jokowi palsu adanya.
Jokowi harus berani menerima rombongan aktivis yang akan
bertandang ke rumahnya di Solo dalam waktu dekat. Mumpung hari baik bulan
Syawal, Jokowi harus membuka rumahnya untuk kelompok ini, sama seperti dia
sangat bangga menerima ratusan bahkan ribuan warga yang mengunjunginya setiap
hari. Jokowi tidak perlu takut kalau memang benar. Kenapa harus menolak tamu
yang datang baik-baik untuk klarifikasi ijazah.
Hal yang sama juga berlaku untuk UGM. UGM harus menerima
rombongan aktivis yang akan mengklarifikasi ijazah Jokowi. Bila ijazah Jokowi
memang palsu, UGM harus bertanggung jawab. UGM harus melaporkan dan memproses
hukum semua pihak yang terlibat dalam kejahatan pemalsuan ijazah.
Kebenaran harus diungkap apa pun risikonya. Kita adalah bangsa besar yang tidak tunduk pada kejahatan dan kezaliman terorganisir. Apa lagi cuma teror receh. (*)