Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Lembong (tengah) menghadiri sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (6/3/2025) 

 

JAKARTA — Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong terus bergulir di pengadilan. Meski telah diproses di pengadilan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar penetapan kerugian negara, belum juga diserahkan jaksa kepada terdakwa maupun pihak terkait lainnya.

 

Padahal, tim kuasa hukum Tom Lembong telah meminta salinan hasil audit BPKP yang menjadi dasar proses hukum dalam perkara ini. Pakar Hukum Keuangan Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji Nugraha Simatupang menilai, tidak diserahkannya laporan hasil audit BPKP kepada pihak terkait merupakan langkah yang keliru.

 

Menurut Dian, hasil audit itu sangat krusial karena menjadi dasar untuk menentukan seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas kerugian keuangan negara.

 

“Apalagi unsur merugikan keuangan negara kan merupakan unsur penting dalam tindak pidana korupsi (tipikor),” kata Dian, Kamis (13/3).

 

Dian menekankan pentingnya audit BPKP yang harus dihitung dan dinilai terlebih dahulu sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

 

“Jika hasil audit belum diserahkan, publik berhak mempertanyakan kualitas dan substansi audit tersebut,” tambahnya.

 

Dia juga mengingatkan transparansi dan objektivitas harus menjadi prinsip utama dalam proses hukum.

 

Dian mendesak majelis hakim memerintahkan agar hasil audit BPKP diserahkan kepada semua pihak yang terlibat untuk memastikan keadilan.

 

“Tidak boleh juga mengadili seseorang tetapi hasil audit tidak diberikan, karena justru agar terdapat objektivitas dan transparansi,” tegas Dian mengingatkan.

 

Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menganggap tidak disampaikannya laporan hasil audit BPKP sebagai bentuk 'Contempt of Court', dan 'Obstruction of Justice'.

 

Romli menekankan audit BPKP adalah salah satu alat bukti utama dalam kasus tipikor yang menjerat Tom Lembong. Menurut Romli, kegagalan untuk menyampaikan hasil audit BPKP dapat menyebabkan proses hukum yang tidak adil dan berpotensi menjadi peradilan sesat. “Jika dipaksa sidang dilanjutkan merupakan peradilan sesat (miscarriage of justice),” ucapnya.

 

Sementara itu, pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir menegaskan pihaknya telah mengajukan permintaan agar salinan audit BPKP diserahkan kepada jaksa dan majelis hakim.

 

Menurut Ari, ini merupakan hak terdakwa berdasarkan sejumlah pasal dalam hukum Indonesia, di antaranya Pasal 1 angka 9 KUHAP juncto Pasal 4 Ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 72 KUHAP yang menjamin hak terdakwa dan penasihat hukum untuk mengakses dokumen yang relevan dalam pembelaan.

 

Serta, Pasal 39 Ayat 2 UU BPK juncto putusan MK Nomor 31/2012 yang menyatakan hasil audit perhitungan keuangan negara harus dibuka kepada terdakwa agar dapat diuji dalam persidangan dan diakses oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.

 

“Ini adalah hak terdakwa yang kami permasalahkan sejak awal sidang. Kami membutuhkan salinan audit BPKP untuk menguji apakah benar ada kerugian negara dan bagaimana perhitungannya,” tegas Ari usai sidang putusan sela, Kamis (13/3).

 

Dia juga mengungkapkan hasil audit BPKP baru muncul setelah Tom Lembong ditahan, meski penahanan tersebut terjadi pada Oktober, sedangkan klarifikasi BPKP baru dilakukan pada Januari. Permintaan ini, menurut Ari, juga berkaitan dengan keadilan yang harus dijunjung dalam sidang yang menarik perhatian publik ini.

 

"Jika dalam proses ini ada yang keliru, baik dari jaksa maupun hakim, maka akan dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia dan berpengaruh pada penegakan hukum," ujarnya. (fajar)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.